RANAH MINANG

Mounting created Bloggif Mounting created Bloggif

Senin, 30 September 2013

MANFAAT ILMU MEMBACA TULISAN TANGAN

ANALISA TULISAN TANGAN ADALAH SALAH SATU ILMU LINTAS ZAMAN YANG MEMPUNYAI BANYAK SEKALI MANFAATNYA DI BERBAGAI BIDANG.

1. Bidang pendidikan : untuk membantu dalam penempatan kelas siswa (IPA/IPS/Bahasa) dan membantu untuk penempatan jurusan setelah lulus kuliah, mengenal bakat, minat siswa dan Kecendrungan profesi, Tes Kelayakan Guru/ Pendidik.

2. bidang industri : untuk membantu mengetahui kepribadian/karakter, termasuk di dalamnya dishonestynya, membantu pada proses recruitment dan penempatan karyawan.

3. Bidang kemiliteran (TNI & POLRI) : sebagai alat untuk membantu mengungkap kebohongan tersangka kejahatan dan proses ijin kepemilikan senjata api. Di Australia Analisi Tuisan Tangan lebih dipercaya keakuratannya daripada mengguanakan Lie detector, sehingga di sana grafologi sangat penting sekali di gunakan.

4. Bidang psikologi : membantu menginterpretasikan data, membantu untuk mendeteksi kecenderungan abnormalitas pada klien.

5. untuk lingkungan keluarga, untuk membantu lebih saling memahami karakter pasangan masing – masing, sehingga terjadinya kesaling pengertian satu sama lain, untuk mengetahui kepribadian anak, apakah anak memilki kecenderungan abnormalitas pada seksualitasnya, psikologisnya, ataupun emosi, kcenderungan berbohong, bahkan mengetahui kecenderungan bakat si anak. Dan tentunya untuk diri kita atau individu grafologi ini bermanfaat untuk membantu lebih memahami kelebihan dan kekurangan kita sendiri.Grafologi juga dapat digunakan untuk mengetahui watak calon pasangan kita.

Koleksi Sampul Ayat Al-qur'an


--MEMBANGUN KEPRIBADIAN MANUSIA LEBIH PENTING--

Membangun kepribadian seseorang itu sangat penting skali..
Apalagi membangun kepribadian para pemimpin-para wakil kita yg tlah kita percayai utk pembangun sbuah negara yg damai N sejahtera ini..

Manusia pabila menyimpang dari qodrat-nya,,maka trjadilah
kesalah pahaman,,yg seharusnya bobot manusianya bermutu
akhirnya manusia itu menjadi buas,,ganas..Subhannallah

Coba lihatlah..!!apa yg terjadi d skitar kita,,perhatikanlah..!!
Disaat kita melihat ketidak adilan,,kejahatan yg merajalela dsb-nya..
Sungguh sangat menyedihkan skali,,masih bnyak yg perlu diperbaiki.!!
Dari segi sosial,,ekonomi,,agama,,budaya,,semuanya mementingkan keinginan dan hawa nafsu mereka saja..
Tak bisakah mereka membedakan kebutuhan dan keinginan..?
Mereka org pinter,,cerdas,,enerjik,,tpi kepribadiannya Allahu wa'lam.

Tengoklah khidupan N keselamatan para golongan bawah..!!
MEMANG,,membangun jalan,,jembatan,,,gedung-gedung para org-org pintar dan sbagainya sangat perlu..
Tapi masih ada yg lebih penting,,yaitu MEMBANGUN KEpribadian para MANUSIA-nya dulu..!!!!
Sbab,,kalau tidak di bangun diri manusia-nya dulu,,takutnya yang akan mereka bangun itu habis ditelan duluan...
JADI,,,yang sangat penting itu MEMBANGUN KEPRIBADIAN para manusia-nya dulu....jika kepribadiannya mantap,,maka apapun yang akan mereka bangun smuanya brjalan lancar,,tak ada permasahan yang akan mengikut setelah itu..
AYOO..!!Muda-mudi mulai dari kepribadian kita sendiri,,agar bangsa ini lebih baik lagi kedepan-nya..AAmin Insya ALLAH

Beramal untuk Akhirat

Sesorang harus selalu waspada dengan dirinya saat ia beramal ibadah dan ketaatan kepada Allah -Azza wa Jalla-. Sebab, sebagian orang, atau bahkan diantara manusia ada yang tertipu dengan amal sholih yang ia kerjakan. Dia pun berbangga dan sombong dengan amal sholih yang telah ia tunaikan. Ia tidak punya usaha untuk mengecek dan menimbang amal sholihnya; apakah diterima di sisi Allah atau tidak. Jika amalnya diterima dan diberi ganjaran pahala dan surga, maka itulah kebaikan besar yang harus ia syukuri. Namun jika amal sholihnya ternyata tidak diterima, maka ini adalah dua kerugian: kerugian dunia dan akhirat!!

Di akhirat nanti, ada orang-orang Islam yang mengalami nasib seperti nasibnya orang-orang kafir. Di dunia, ia melihat banyak amal sholih yang telah ia kerjakan, namun di akhirat pahala dan kebaikannya dihancurkan oleh Allah, akibat ulahnya sendiri.

Orang seperti ini bagaikan orang yang melihat fatamorgana yang ia sangka air. Namun di saat ia mendekat, ternyata hilang dan hanya sekedar bayangan yang tidak berguna !!

Allah -Ta’ala- berfirman,

“Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya; atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun”. (QS. An-Nuur : 39-40)

Amalan sholih yang banyak tidak akan bermanfaat bagi orang-orang yang tidak beriman. Demikian pula bila ia beriman, namun amalannya bukan karena Allah dan pahala di negeri akhirat, maka ia juga mendapatkan kerugian dan penyesalan di akhirat.

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,

“Orang-orang yang kafir kepada Rabbnya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh”. (QS. Ibrahim : 18)

Amalan mereka manis (baca: baik), namun berbuah pahit (baca: buruk). Karena, amalan mereka menjadi sia-sia dan hancur serta menjadi sebab ia merugi di akhirat.

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata,

“Ini merupakan perumpamaan yang Allah -Ta’ala- berikan bagi amalan orang-orang kafir yang menyembah selain Allah bersama-Nya, mendustakan para rasul dan membangun amalan mereka di atas dasar yang tidak benar. Akhirnya, amalan mereka roboh dan mereka pun kehilangan sesuatu yang paling mereka butuhkan (berupa amal-amal sholih)”. [Lihat Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim (4/486-487), karya Ibnu Katsir, cet. Dar Thoibah, 1421 H]

Ketahuilah bahwa di hari kiamat akan melihat amal-amal sholih diberi ganjaran. Tapi dengan syarat ia beriman, ikhlas semata-mata karena Allah dan mengikuti sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.

Jika tidak memenuhi syarat-syarat ini, maka amalannya akan hancur tidak berguna. Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

“Dan Kami datang kepada segala amal yang mereka telah kerjakan (di dunia), lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”. (QS. Al-Furqon : 23)

Di hari-hari ini, hari tersebarnya kebodohan dan kejahilan tentang agama, seorang mukmin harus waspada dan lebih perhatian dengan kualitas amal sholihnya.

Sebab di hari ini banyak hal-hal yang merusak amal sholih kita dan setan juga memiliki bala tentara yang akan menipu dan memperdaya manusia agar mereka menjadi celaka.

Para pembaca yang budiman, salah satu diantara makar setan adalah ia mendorong manusia melakukan amal-amal sholih. Namun di balik amal-amal sholih itu mendapatkan tendensi duniawi yang merusak pahala dan niat seorang hamba.

Inilah yang diisyaratkan oleh Allah -Azza wa Jalla- dalam firman-Nya,

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka. Dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Huud : 15-16)

Syaikh Muhammad bin Sulaiman At-Tamimiy -rahimahullah- berkata,

“Telah disebutkan dari para salaf yang berilmu tentang ayat ini, beberapa jenis perkara yang dilakukan oleh manusia pada hari ini, sedang mereka tidak mengerti maknanya.

Jenis Pertama, diantara hal itu, amal sholih yang dikerjakan oleh kebanyakan orang demi mencari wajah Allah berupa sedekah, silaturahim, berbuat baik kepada manusia dan semisalnya. Demikian pula meninggalkan kezhaliman, atau tidak berbicara tentang kehormatan orang lain dan semisal itu diantara perkara yang biasa dilakukan oleh manusia atau ia tinggalkan semata-mata karena Allah. Hanya saja ia tidak menginginkan pahalanya di akhirat. Dia hanya ingin agar Allah membalasinya dengan menjaga dan mengembangkan hartanya, memelihara anaknya dan keluarganya serta senantiasa memberikan nikmat kepada mereka dan semisal ini. tidak ada semangatnya dalam mencari surga dan lari dari neraka. Orang seperti ini akan diberikan balasan amalannya di dunia, sedang di akhirat ia tidak mendapatkan bagian (pahala).

Jenis ini telah disebutkan dari Ibnu Abbas saat menafsirkan ayat ini. Sebagian guru kami telah keliru, akibat ungkapan dalam Syarah Al-Iqna’, di awal bab tentang niat. Tatkala beliau (guru kami) membagi keikhlasan menjadi beberapa tingkatan. Beliau menyebutkan jenis ini termasuk diantaranya. Beliau menyangka bahwa pen-syarah Al-Iqna’ menyebutnya ikhlash sebagai pujian bagi jenis itu. Padahal bukan demikian halnya. Dia hanya memaksudkan bahwa amalan itu tidak riya’. Walaupun sebenarnya ia adalah amalan yang gugur di akhirat.

Jenis Kedua: Jenis ini lebih besar dan menakutkan dibandingkan jenis pertama, yaitu apa yang disebutkan oleh Mujahid bahwa ayat ini turun tentangnya, yakni seseorang melakukan amal-amal sholih, sedang niatnya untuk mencari-cari perhatian orang, bukan demi mencari pahala akhirat. Sementara itu ia menampakkan (di hadapan orang) bahwa ia ingin wajah Allah. Hanyalah ia mengerjakan sholat, puasa, bersedekah atau mencari ilmu, karena manusia akan memujinya dan mulia dalam pandangan mereka. Karena kedudukan termasuk jenis-jenis dunia yang paling besar.

Tatkala disebutkan kepada Mu’awiyah sebuah hadits dari Abu Hurairah tentang tiga orang yang pertama kali akan dinyalakan baginya neraka, yaitu orang mempelajari ilmu agar disebut “ulama” sehingga ia pun digelari demikian; orang yang bersedekah agar disebut sebagai “orang dermawan” dan orang yang berjihad agar disebut sebagai “pemberani”, maka Mu’awiyah menangis keras, lalu membaca ayat ini.

Jenis Ketiga: Seseorang beramal sholih, sedang tujuannya dalam amal sholih itu adalah harta benda, misalnya, ia berhaji demi harta yang ia akan ambil, bukan demi Allah; atau ia berhijrah demi dunia yang akan ia dapatkan, atau karena wanita yang akan ia nikahi; atau ia berjihad demi ghanimah (harta rampasan). Sungguh jenis ini juga disebutkan saat menafsirkan ayat ini sebagaimana di dalam Kitab Ash-Shohih bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,

“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamisah, celakalah hamba khamilah…” dan seterusnya[1].

Sebagaimana halnya ia mempelajari ilmu agama demi madrasah (sekolah atau pesantren) keluarganya, atau demi mata pencaharian mereka, atau demi kekuasaan mereka; atau ia mempelajari Al-Qur’an dan menjaga sholatnya demi jabatan di masjid, sebagaimana hal ini sering terjadi. Mereka ini lebih berakal dibandingkan orang-orang sebelumnya (dalam jenis kedua). Karena, mereka ini beramal untuk kepentingan yang mereka akan raih. Orang-orang yang sebelumnya beramal demi (mendapatkan) pujian dan kemuliaan dalam pandangan manusia dan mereka tidak mendapatkan harta benda.

Sedang jenis pertama lebih berakal dibandingkan mereka semua ini. Karena, mereka (jenis pertama) beramal karena Allah saja, tanpa sekutu bagi-Nya. Akan tetapi, mereka menghancurkan kebaikan yang besar dari Allah, yaitu surga dan tidak pula lari dari keburukan yang besar, yaitu siksaan di akhirat.

Jenis Keempat: Seseorang beramal ketaatan kepada Allah dalam kondisi ikhlash dalam hal itu kepada Allah saja, tanpa ada sekutu bagi-Nya. Akan tetapi ia berada dalam amalan yang membuatnya kafir sehingga ia keluar dari Islam, seperti kaum Yahudi dan Nashrani. Sebab, mereka menyembah Allah, bersedekah atau berpuasa demi mencari wajah Allah dan kampung akhirat.

Ini seperti kebanyakan orang dari kalangan umat ini, yaitu orang-orang yang padanya terdapat syirik besar atau kekafiran besar yang mengeluarkan mereka dari Islam secara total. Jika mereka taat kepada Allah dengan ketaatan yang ikhlash (murni), mereka menginginkan dengannya pahala Allah di kampung akhirat. Akan tetapi, mereka di atas amal-amal yang mengeluarkan mereka dari Islam dan mencegah diterimanya amal mereka. Jenis ini juga telah disebutkan saat menafsirkan ayat ini dari Anas bin Malik dan selainnya. Dahulu para salaf takut terhadap jenis ini.

Sebagian mereka (salaf) berkata, “Andaikan aku tahu bahwa Allah akan menerima dari sebuah sujud, maka aku akan ingin mati saja. Karena, Allah berfirman,

“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Maa’idah : 27)“.

[Lihat Ad-Duror As-Saniyyah fi Al-Ajwibah An-Najdiyyah (13/19-21)]

Apa yang dinyatakan oleh Syaikh Muhammad At-Tamimiy -rahimahullah- adalah perkara yang benar dan dibuktikan oleh realita, baik di zaman dahulu, apalagi di zaman sekarang.

Kita lihat ada sebagian orang di zaman ini yang suka melakukan amal-amal sholih, sedang niatnya untuk mencari-cari perhatian orang, bukan demi mencari pahala akhirat. Sementara itu ia menampakkan (di hadapan orang) bahwa ia ingin wajah Allah. Ini terlihat jelas dalam aktifitas para pegiat dakwah yang terjun dalam partai. Mereka menampakkan bahwa dengan berpartai ia akan memperjuangkan Islam. Padahal sebenarnya ia hanya memperjuang “kursi” (kekuasaan) dan sekedar mengenyangkan perut dari arah yang haram!!

Ada juga diantara manusia yang sibuk bersedekah –misalnya- kepada fakir-miskin dan anak-anak yatim. Dia tidak mengharapkan pahala di akhirat, dan tidak pula mencari pahala

Dia hanya ingin agar Allah membalasinya dengan menjaga dan mengembangkan hartanya, memelihara anaknya dan keluarganya serta senantiasa memberikan nikmat kepada mereka dan semisal ini.

Orang yang seperti ini akan bersemangat melakukan amal-amal sholih jika ia melihat akan ada hasil duniawinya. Jika ia tidak mendapatkannya, maka ia pun bermalas-malasan. Sehingga dari hal tersebut akan tampak bahwa ia sebenarnya bukan beramal karena Allah tapi karena hasil duniawi!!!

Disini kita akan tahu kesalahan sebagian da’i dan muballigh yang mengajak kaum muslimin untuk menggalakkan qiyamul lail atau sholat tahajjud dengan iming-iming supaya sehat. Mereka pun menyebarkan undangan dan pamflet, “Mari Menghidupkan Malam dengan Tahajjud demi Meraih Jasmani dan Rohani yang Sehat”. Jelas ini merupakan kesalahan, sebab para hamba dianjurkan sholat tahajjud, bukan demi meraih kesehatan jasmani. Seorang hamba sholat, tujuannya hanya satu, yaitu meraih pahala sebanyak-banyaknya di negeri akhirat, entah jasmaninya sehat atau tidak!!! Jadi seorang hamba hendaknya sholat, tanpa peduli apakah sholatnya menghasilkan kesehatan jasmani atau tidak. Sehat atau sakit, hamba tetap sholat. Ini yang benar!!

Pemandangan lain, ada sebagian diantara kaum muslimin yang melaksanakan ibadah haji -misalnya- tetapi ia sebenarnya tidak mengharapkan pahala. Tujuannya hanya dunia dan harta benda. Ini terlihat pada sebagian orang yang menghajikan orang lain dengan niat meraih harta benda, bukan menolong orang dan mengharapkan pahala. Lebih jahat lagi, sebagian diantara mereka berbuat curang dengan menghajikan banyak orang. Padahal sunnahnya, satu orang menghajikan untuk satu orang saja, bukan untuk beberapa orang!! Orang yang seperti ini melakukan dua pelanggaran: beramal karena dunia dan menipu Allah serta orang-orang beriman.

Warna lain dari orang-orang yang sia-sia amalannya yaitu orang-orang yang sibuk memperbanyak amal sholih, seperti sedekah, haji, membaca Al-Qur’an, jihad, dan lainnya. Akan tetapi di dalamnya ia juga melakukan amalan yang membuatnya kafir sehingga ia keluar dari Islam.

Ini terlihat pada sebagian orang-orang yang masih gandrung melakukan ritual kesyirikan dan kekafiran. Mereka masih senang mempertahankan adat dan kebiasaan syirik. Orang-orang seperti ini biasa melakukan rihlah (perjalanan dan tour) ke tempat-tempat keramat dan kuburan orang-orang yang anggap sholih, lalu disana ia berdoa dan bernadzar sambil mengharap kepada selain Allah -Azza wa Jalla-.

Catatan kaki:
[1] Selengkapnya berbunyi begini, “Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamisah, celakalah hamba khamilah. Jika diberi, maka dia senang. Tetapi jika tidak diberi, maka ia marah. Celakalah dia dan merugilah. Jika tertusuk duri, maka duri itu tidak akan tercabut” [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (no. 2730)]

Rabu, 13 Maret 2013

OLEH Buya Masoed Abidin

Perempuan (Kawi) menyimpan arti pemimpin (raja), orang pilihan, ahli, yang pandai, pintar dengan segala sifat keutamaan yang lain (lihat:KUBI).[1] Alquran menyebut perempuan dengan Annisa’ atau Ummahat sama dengan ibu, atau “Ikutan Bagi Umat” dan tiang suatu negeri.[2] Sunnah Nabi menyebutkan khair mata’iha al mar’ah shalihah artinya perhiasan paling indah adalah perempuan saleh (artinya perempuan yang tetap pada peran dan konsekwen dengan citranya). Tafsir Islam tentang kedudukan perempuan menjadi konsep utama keyakinan Muslim bermu’amalah. Alquran mendudukkan perempuan pada derajat sama dengan jenis laki‑laki di posisi azwajan atau pasangan hidup (lihat Q.S.16:72, 30:21, 42:11).
Budaya Minangkabau dalam adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” menempatkan perempuan pada posisi peran. Kadangkala dijuluki dengan sebutan;  orang rumah  (hiduik batampek,  mati bakubua, kuburan hiduik dirumah gadang,  kuburan mati   ditangah padang),  induak bareh  (nan lamah di tueh, nan condong di tungkek,    ayam barinduak, siriah bajunjuang),  pemimpin  (tahu di mudharat jomanfaat,  mangana labo jo rugi,  mangatahui sumbang jo salah, tahu di unak kamanyangkuik, tahu di rantiang ka mancucuak, ingek di dahan ka mahimpok, tahu di angin nan basiruik, arih di ombak nan basabuang, tahu di alamat kato sampai), 
Pemahamannya berarti perempuan minang sangat arif, mengerti dan tahu dengan yang pantas dan patut, menjadi asas utama kepemipinan ditengah masyarakat. Anak Minangkabau memanggil ibunya dengan bundo karena perempuan Minangkabau umumnya menjaga martabat,

(1). Hati-hati (watak Islam khauf), ingek dan jago pado adat, ingek di adat nan ka rusak, jago limbago nan kasumbiang,

(2). Yakin kepada Allah (iman bertauhid), jantaruah bak katidiang,  jan baserak bak amjalai, kok ado rundiang ba nan batin, patuik baduo jan batigo,  nak jan lahie di danga urang

(3). Perangai berpatutan (uswah istiqamah), maha tak dapek di bali, murah tak dapek dimintak, takuik di paham ka tagadai, takuik di budi katajua, 

(4). Kaya hati (Ghinaun nafs), sopan santun hemat dan khidmat, 

(5). Tabah (redha), haniang ulu bicaro, naniang saribu aka, dek saba bana mandatang,

(6). Jimek (hemat tidak mubazir), dikana labo jo rugi, dalam awal akia membayang, ingek di paham katagadai, ingek di budi katajua,  mamakai malu dengan sopan.         

Dalam ungkapan sehari-hari, perempuan Minang disebut pula padusi artinya padu isi dengan lima sifat utama;
(a). benar,
(b).jujur lahir batin,
(c). cerdik pandai,
(d). fasih mendidik dan terdidik,
(e). bersifat malu

(Rarak Kalikih dek mindalu,
tumbuah sarumpun jo sikasek,
kok hilang raso jo malu,
bak kayu lungga pangabek. 


Selanjutnya

anak urang Koto Hilalang,
Handak lalu ka Pakan Baso,                         
malu jo sopan kalau lah hilang,
habihlah raso jo pareso), 


artinya didalam kebenaran Islam,  al hayak nisful iman = malu adalah paruhan dari Iman.         

Falsafah hidup beradat mendudukkan perempuan Minang pada sebutan bundo kandung menjadi limpapeh rumah nan gadang, umbun puro pegangan kunci, umbun puruak aluang bunian, hiasan di dalam kampuang, sumarak dalam nagari, nan gadang Basa batauah, kok hiduik tampek ba nasa, kalau mati tampek ba niaik, ka unduang-unduang ka madinah, ka payuang panji ka sarugo.        

Ungkapan ini sesungguhnya amat jelas mendudukkan betapa kokohnya perempuan Minang pada posisi sentral, menjadi pemilik seluruh kekayaan, rumah, anak, suku bahkan kaum, dan kalangan awam di nagari dan taratak menggelarinya dengan “biai, mandeh”, menempatkan laki-laki pada peran pelindung, pemelihara dan penjaga harta dari perempuan-nya dan anak turunannya.
Dalam siklus ini generasi Minangkabau  lahir bernasab ayah (laki-laki), bersuku ibu (perempuan), bergelar mamak (garis matrilineal), memperlihatkan egaliternya suatu persenyawaan budaya dan syarak yang indah.(2) Kebenaran Agama Islam menempatkan perempuan (ibu) mitra setara (partisipatif) dan lelaki menjadi pelindung wanita (qawwamuuna ‘alan‑nisaa’), karena kelebihan pada kekuatan, badan, fikiran, keluasaan, penalaran, kemampuan, ekonomi, kecerdasan, ketabahan, kesigapan dan anugerah (QS. An Nisa’ 34).
Wanita dibina menjadi mar’ah shalihah (= perempuan shaleh yang ceria (hangat/warm) dan lembut, menjaga diri, memelihara kehormatan, patuh (qanitaat) kepada Allah, hafidzaatun lil ghaibi bimaa hafidzallahu (= memelihara kesucian faraj di belakang pasangannya, karena Allah menempatkan faraj dan rahim perempuan terjaga, maka tidak ada keindahan yang bisa melebihi perhiasan atau tampilan “indahnya wanita shaleh” (Al Hadist). 
Kodrat wanita memiliki peran ganda; penyejuk hati dan pendidik utama,  menempatkan sorga terhampar dibawah telapak kaki perempuan (ibu, ummahat). Dibawah naungan konsep Islam, perempuan berkepribadian sempurna, bergaul ma’ruf dan ihsan, kasih sayang dan cinta, lembut dan lindung, berkehormatan, berpadu hak dan kewajiban. Terpatri pada tidak punya arti sesuatu kalau pasangannya tidak ada dan tidak jelas eksistensi sesuatu kalau tidak ada yang setara di sampingnya, inilah kata yang lebih tepat untuk azwajan itu.[3]
Secara moral, perempuan punya hak utuh menjadi Ikutan Bagi Umat. Masyarakat baik lahir dari relasi kemasyarakatan pemelihara tetangga, perekat silaturrahim dan tumbuh dengan pribadi kokoh (exist), karakter teguh (istiqamah, konsisten) dan tegar (shabar, optimis) menapak hidup. Rohaninya (rasa, fikiran, dan kemauan) dibimbing keyakinan hidayah iman. Jasmaninya (gerak, amal perbuatan) dibina oleh aturan syari’at Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.

شَرَعَ لَكُمْ مِنْ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِه إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ِأَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهَِ  “

Allah telah menyari’atkan dasar hidup “ad-din” bagi kamu seperti telah diwasiatkanNya kepada Nuh, dan telah dipesankan kepadamu (Muhammad). Agama yang telah dipesankan kepada Ibrahim, Musa, Isa dengan perintah agar kalian semua mendaulatkan agama ini dan jangan kalian berpecah dari mengikutinya…” (QS.Syura : 13).
Perilaku kehidupan menurut mabda’ (konsep) Alquran, bahwa makhluk diciptakan dalam rangka pengabdian kepada Khaliq (QS. 51, Adz Dzariyaat : 56), memberi warning peringatan agar tidak terperangkap kebodohan dan kelalaian sepanjang masa. Manusia adalah makhluk pelupa (Al Hadist).[4] Tegasnya, seorang Muslim wajib menda’wahkan Islam, menerapkan amar ma’ruf dan nahi munkar (QS. Ali ‘Imran :104), dimulai dari diri sendiri, agar terhindar dari celaan (QS. Al Baqarah :44 dan QS. Ash‑Shaf :3). Amar ma’ruf nahi munkar adalah tiang kemashlahatan hidup umat manusia, di dasari dengan Iman billah (QS. Ali ‘Imran :110) agar tercipta satu bangunan umat yang berkualitas (khaira ummah). Maka posisi perempuan didalam Islam ada dalam bingkai (frame) ini.   Busana Adalah Pelindung Dan Sarana Pendidikan Utama         

Perubahan zaman disertai penetrasi budaya seringkali menampilkan ketimpangan didalam meraih kesempatan yang sangat menyolok pada fasilitas pendidikan, lapangan kerja, hiburan, penyiaran mass‑media, antara di kota dan kampung, akhirnya mengganggu pertumbuhan masyarakat. Apabila kearifan dan keseimbangan peranan memelihara budaya dan generasi tercerabut pula, maka tidak dapat tidak akan ikut menyum­bang lahirnya “Generasi Rapuh Budaya”.[5]

Generasi berbudaya memiliki prinsip teguh, elastis dan toleran bergaul, lemah lembut bertutur kata, tegas dan keras melawan kejahatan, kokoh menghadapi setiap percabaran budaya, tegar menghadapi percaturan kehidupan, sanggup menghindari ekses buruk, membuat lingkungan sehat, bijak menata pergaulan baik, penuh kenyamanan, tahu diri, hemat, dan tidak malas, akan terbentuk dengan keteladanan. Konsepsi Rasulullah SAW;”Jauhilah hidup ber-senang-senang (foya-foya), karena hamba-hamba Allah bukanlah orang yang hidup bermewah-mewah (malas dan lalai)” (HR.Ahmad). Tidak dapat dimungkiri bahwa kaum perempuan harus memaksimalkan perannya menjadi pendidik di tengah bangsa menampilkan citra perempuan mandiri, memastikan terpenuhi hak dan terlaksananya kewajiban, salah satunya melalui cara berbusana.         

Dari pandangan agama Islam ini, bisa disimpulkan bahwa yang tidak mau mengindahkan hak-hak perempuan, sebenarnya adalah mereka yang tidak beriman atau kurang mengamalkan ajaran agama Islam. Di Minangkabau perempuan berada pada lini materilineal akan hilang marwahnya tersebab menipisnya kepatuhan orang beradat, karena hakikat adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah adalah aplikatif, bukan simbolis.                

Padang, 25 Agustus  2001.  

[1] Pada masa dahulu memang sangat banyak penulisan cerita (dongeng) tentang wanita yang melahirkan anggapan bahwa perempuan hanya seje­nis komoditi penggembira, penghibur, teman bercanda, pengisi harem, peramaikan istana dan pesta, sehingga peran perempuan disepelekan seakan segelas air pelepas dahaga. Akan tetapi, kehadiran Islam memberikan kepada perempuan kedudukan mulia.   

[2] Bila Annisa’‑nya baik, baiklah negeri itu, dan kalau sudah rusak, celakalah negeri itu (Al Hadits). Kaidah Alqurani menyebutkan, Nisa’‑nisa’ kamu adalah perladangan (persemaian) untukmu, kamupun (para lelaki) menjadi benih bagi Nisa’‑nisa’ kamu. Kamu dapat mendatan­gi ladang‑ladangmu darimana (kapan saja). Karena itu kamu berkew­ajiban menjaga anfus (diri, eksistensi dan identitas) sesuai perintah Qaddimu li anfusikum, dengan selalu bertaqwa kepada Allah (Q.S.2:23).

[3] Dalam Ajaran Islam, penghormatan kepada Ibu menempati urutan kedua sesudah iman kepada Allah (konsep tauhidullah). Bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada Ibu, diwasiatkan sejalan untuk seluruh manusia. Penghormatan kepada Ibu (perempuan) menjadi disiplin hidup yang tidak boleh diabaikan. Disiplin ini tidak dibatas oleh adanya perbedaan anutan keyakinan. Hubungan hidup duniawi wajib dipelihara baik dengan jalinan ihsan (lihat QS. 31, Luqman : 14-15). Universalitas (syumuliyah) Alquran menjawab  tantangan zaman (QS. Al Baqarah, 2 dan 23) dengan menerima petunjuk berasas taqwa (memelihara diri), tidak ragu kepada Alquran menjiwai hidayah, karena Allahul Khaliqul ‘alam telah menciptakan alam semesta amat sempurna, tidak ditemui mislijk kesiasiaan (QS. 3, Ali ‘Imran, ayat 191), diatur dengan lurus (hanif) sesuai fithrah  yang tetap (QS. 30, Ar Rum, ayat 30) dalam perangkat natuur‑wet atau sunnatullah yang tidak berjalan sendiri, saling terkait agar satu sama lain tidak berbenturan. Kandungan nilai pendidikan dan filosofi ini terikat kokoh kasih sayang, hakikinya semua datang dan terjadi karena Rahman dan RahimNya dan akan berakhir dengan menghadapNya, maka kewajiban asasi insani menjaga diri dan keluarga dari bencana (QS. At Tahrim :6) dengan memakai hidayah religi Alqurani. 

Dr. H. Mohammad Natsir 1908

Bumi Minangkabau, tepatnya Kampung Jambatan Baukia Alahan Pan¬jang, negeri dingin di balik Gunung Talang Solok menjadi saksi kelahiran Pembawa Hati Nurani Ummat, tokoh yang kemudian mendu¬nia, pemikir dan pemimpin politik , Mohammad Natsir, pada 17 Juli 1908. Putra Sutan Sari Pado dan Khadijah yang kemudian menjadi tokoh nasional bahkan aset internasional dari berbagai segi: agama, politik, sosial budaya, ilmu pengetahuan, ketelada¬nan, pemikiran, bahkan menjadi mata air kajian ilmiah dalam berbagai seminar, simposium, untuk skripsi, thesis serta diserta¬si para doktor berbagai disiplin ilmu.
Masa kanak kanak beliau lalui di tengah pergolakan pemikiran para tokoh besar pembaharu dari Ranah Minang. Belajar di pendidikan dasar Sekolah Belanda, Natsir kecil dengan tekun mengikuti gebra¬kan para tokoh besar di negerinya. Dari usia delapan tahun (1916) sampai 15 tahun (1923) Natsir remaja menggali kekayaan para ulama itu di HIS Adabiyah Padang dan Madrasah Diniyah Solok.
Natsir aktif dalam Jong Islamiten Bond Padang sewaktu melanjutkan pendidikan ke MULO Padang tahun 1923. Masih dalam jalur pendidi¬kan Belanda, beliau melanjutkan pendidikan ke AMS (A2) di Ban¬dung. Kesempatan tersebut membawa beliau berkenalan dengan ustaz A. Hassan, tokoh PERSIS (Persatuan Islam) garis keras, yang membimbing beliau melakukan studi tentang Islam. Dengan ustaz ini beliau mengelola majalah “Pembela Islam” sampai tahun 1932.
Natsir secara formal mengikuti pendidikan barat di sekolah sekolah Belanda. Beliau selesaikan pendidikan Al Gemene Middel School di Bandung dalam kajian Kesusastraan Barat Klasik.
Sebenarnya beliau punya kesempatan memperoleh besiswa untuk melanjutkan sekolahnya ke Leiden pada pendidikan yang lebih ting¬gi. Namun beliau memilih mendalami kajian keagamaan melalui ustaz A. Hassan yang dikenal dengan ulama yang berpaham radikal dan jadi sesepuh organisasi sosial keagamaan. Beliaupun menolak tawaran bekerja sebagai pegawai negeri pemerintah Hindia Belanda dan lebih tertarik menekuni dunia pendidikan. Obsesi itu membuat ia mendirikan Yayasan Pendidikan Islam di Bandung sekaligus menjabat Direktur dari tahun 1932 1942.
Keluasan wawasannya mencuat kepermukaan setelah dapat menguasai beberapa bahasa asing sebagai alat untuk menggali buku buku tokoh kelas dunia. M. Natsir mulai berkecimpung dalam dunia politik setelah beliau menjadi anggota PII (Partai Islam Indonesia) pada awal tahun 40 an, memimpin organisasi yang terkenal radikal untuk bumi pancasila. Majelis Al Islam A’la Indunisiya (MIAI) semakin berkiprah setelah kepemimpinannya. Bahkan dalam masa penjajahan Jepang ( 1942 1945) sesepuh dari berbagai kalangan ini masih sempat jadi kepala bagian kodya Bandung sekaligus merangkap sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) Jakarta. Di samping itu dalam masa Pemerintah Jepang terbentuklah Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) di bawah kepemimpinannya. Kiprah politiknya semakin menanjak semenjak beliau tampil jadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tahun 1945 1946 dan menjabat anggota DPR sementara di tahun 1948 menjabat sebagai Menteri Penerangan. Karier politiknya sampai ke puncak ketika ia dilantik menjadi Menteri Penerangan Republik Indonesia. Peranan beliau amat menentukan dalam penyelamatan Republik Prok¬lamasi di tahun 50 an. Mosi Integrasinya adalah manuver politik yang mengantarkan dia menjadi Perdana Menteri pada usia 42 tahun.
Ibarat roda, kariernya sebagai politikus mengalami pasang surut setelah bergesekan dengan dinding kekuasaan yang waktu itu bera¬tribut Demokrasi Terpimpin yang menjadikan angin segar bagi Komunis untuk menyibakkan sayapnya di persada ini. Di tengah gelombang politik yang semakin mengempas ia terdampar di pantai oposan yang digerakkan oleh para Panglima militer di berbagai daerah dengan wujud PRRI ( Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Dengan hadirnya beliau di barisan oposisi ini, kom¬plik semakin merebak hingga agresi fisik dan bentrokan senjata tidak bisa dihindari.
Dengan tuduhan subversif, Natsir terpaksa meringkuk di belakang terali besi selama 7 tahun, tanpa proses peradilan. Setelah mengalami karantina politik di Batu Malang Jawa Timur, dengan perpanjangan tahanan politik berakhir tahun 1966 di Rumah Tahanan Militer (RTM), Jakarta. Natsir menghirup udara kebebasan setelah Presiden Soekarno jatuh dari kursi kepresidenannya.
Sebagai seorang da’i, panutan umat ini tampil meyuarakan nurani umat kendatipun kadang kadang dengan mempergunakan nama samaran.
A. Moechlis adalah nama samaran yang sangat produktif di majalah “Pembela Islam” awal tahun 1930 an. Ia tampil meneriakkan berba¬gai masalah umat dalam berbagai forum yang berkaitan dengan hubungan inter dan antara umat beragam, politik, kebudayaan, ekonomi dan berbagai dilema yang tersentuh oleh realitas yang kadang kadang sempat menyentuh hal hal sensitif sehingga ia harus berhadapan dengan pemegang kekuasaan.
Di samping sebagai Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) sejak tahun 1967 sampai akhir hayatnya, kepiawaiannya sebagai seorang pemikir dan aktivis dakwah tidak hanya di negeri tercinta ini akan tetapi cendikiawan kawakan ini juga mempunyai reputasi dalam harokah (pergerakan) Islam International. Aktif sebagai anggota Muslim League Makkah (1969 1993), berkiprah di Majlis A’la Al Alamy li Masjid di Makkah kemudian menjabat wakil presi¬den World Moeslim Congress (Muktamar Alam Islami) Karachi di Pakistan (1967 1993). Iapun ikut membidani The International Islam Charitable Foundation, Kuwait dan Oxford Center For Islamic Studies di Inggris.
Menyoroti pola pikirya yang multi dimensi menyebabkan ia harus dilihat dari perspektif yang setaraf dengan beberapa pemikir Islam terkemuka di abad ini seperti Hasan Al Banna, Said Hawa, Said Quth Al Maududi dan tokoh reformis lainnya.
Sebelum melambaikan tangan selamat tinggal pada 6 Februari 1993 di Jakarta, tokoh kawakan ini masih sempat meninggalkan jejak perjuangan berupa khazanah intlektual dan buku buku yang bernuan¬sa dakwah seperti Fiqhud Dakwah, Islam dan Akal Merdeka, Fungsi Dakwah Perjuangan, Tugas Ulama, Kapita Selecta dan masih banyak lainnya.
Di Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) beliau juga meninggalkan aset kekayaan ilmiah dan ruhiyah yaitu dengan hadirnya majalah Serial Media Dakwah, Suara Mesjid, Serial Khutbah Jum’at, majalah “Sahabat” untuk anak anak serta Bulletin Dakwah sebagai penyiram hati umat yang gersang dengan siraman rohani.
Tokoh yang tidak pernah absen dalam sejarah ini telah memberi warna tersendiri dalam dunia perpolitikan di negara iklim tropis ini sehingga ia jadi tempat bertanya dari berbagai kalangan. Pak Natsir memang punya peran khusus yang tidak bisa dilupakan oleh sejarah, umat Islam, bangsa dan negara. Selamat jalan Pak Natsir semoga sepak terjangmu mampu membangkitkan ghirah pemuda negeri ini hingga mampu berdiri menantang dan menyuarakan suara kebenar¬an. Di sini telah menunggu para natsir natsir muda untuk melan¬jutkan perjuanganmu yang harum semerbak.
Pesan Terakhir Mohd. Natsir Untuk Masyarakat Sumatera Barat.
MENINGKATKAN TARAF HIDUP MEMULAI DARI BAWAH
Tanggal 19 September 1992 di Simpang Empat Pasaman di resmikan pemakaian gedung RSI Ibnu Sina dan Masjid Assyifa’. Bapak M. Natsir selaku Ketua Dewan Dakwah Pusat memberikan kata sambutan yang tidak bisa disampaikan beliau secara langsung karena beliau tengah dirawat di RSCM Jakarta. Dan pidato tersebut dibacakan oleh: Bapak H. Buchari Tamam Sekjend DDII Pusat. Mengingat sangat relevannya pidato dimaksud dalam menghadapi kesiapan generasi muda untuk menatap masa depan yang penuh tantangan dan persain¬gan di Era Globalisasi, redaksi mengganggap penting mengetengah¬kan kembali pokok pokok pikiran Pak Natsir yang selengkapnya sebagai berikut (Redaksi):
Tadinya saya berharap akan dapat turut hadir dalam pertemuan yang berbahagia ini, tetapi kesehatan saya jualah yang menghalan¬ginya.Tiga setengah dasawarsa yang lalu, saya mendapat kesempatan menjelajahi daerah Pasaman ini dari timur sampai ke barat, dari selatan ke utara, memasuki desa desa.
Saya sempat melihat secara langsung bagaimana potensialnya daerah ini. Tanahnya yang subur, lautnya yang kaya ikan dan padang rumputnya yang luas untuk peternakan. Begitu juga perut buminya yang kabarnya juga mengandung bahan bahan tambang berharga.
Dalam pembicaraan waktu itu demngan pemuka pemuka masyarakatnya yang ramah tamah, saya mendapat kesan, bahwa mereka walaupun mengetahui kekayaan alamnya yang demikian, belum melihat bagaima¬na jalan memanfaatkannya untuk meningkatkan taraf hidup mereka dari kehidupan yang masih serba tradisional selama ini, yang pada hakikatnya masih dalam taraf dibawah garis kemiskinan.
Hal ini terbayang dalam ungkapan rasa hati mereka yang dirangkum dalam seuntai pantum populer yang pernah saya dengar di daerah ini. Kalau saya tak salah, berbunyi: “Simpang Ampek kampuang sabalah sasimpang jalan ka Kinali Buah labek tangkoinyo lamah dijambo ta’ sampai jari”. Memang begitulah.
Buah lambek tangkainyo lamah, gambaran dari kekayaan alam Pasa¬man. Sedangkan di jambo ta’ sampai jari, usaha dan upaya untuk meraih kekayaan itu, bukan tidak ada tapi kesanggupan dan alatnya belum mencukupi.
Upaya ini sebenarnya sudah terjawab.
Dari awal Dewan Dakwah sudah berkeinginan untuk ikut membekali masyarakat Pasaman dengan manusia yang berkualitas fisik dan mental, lahir dan batinnya.
Demikianlah, pada awal 1975, berangkatlah serombongan Dewan Dakwah Sumbar atas anjuran Dewan Dakwah Pusat, diantaranya almar¬hum Mazni Salam dan kawan kawan. Lalu merundingkan dengan yang Mulia Syekh Haji Mohammad Yunus Tuanku Sasak (almarhum), juga dengan pemuka pemuka masyarakat dan pemerintah setempat yang kesemuanya memberikan sambutan positif.
Waktu itu lah Inyiek Sasak beserta Ummi, mewakafkan langsung sebidang tanah beliau di Kampar yang terletak di samping sekolah PGA dan surau beliau sendiri, di tempat mana telah didirikan sebuah poliklinik Ibnu Sina. Dan sesudah itu menyusul pula didir¬ikan poliklinik Ibnu Sina di Panti. Seiring dengan pembangunan poliklinik poliklinik itu, beberapa masjid sebagai laboratorium dakwah telah pula dibangun di daerah daerah transmigrasi dan perkampungan penduduk asli seperti di Kinali, Rambah. Sungai Baramas dan lain lain.
Sekarang ini tujuh belas tahun pula telah berlalu pengalaman pengalaman yang di dapat dari perkembangan masyarakat selama ini, biar yang terjadi di daerah akibat pembauran penduduk asli dengan pendatang pendatang, atau pelajaran dan pengalaman yang didapat di luar daerah; agaknya telah lebih mematangkan kita untuk menya¬but era pembangunan bagi meningkatkan taraf hidup kita, terutama di desa desa.
Kita garap dari bawah. Pertama, mempersiapkan rakyat yang sehat fisik mentalnya, sebagai disabdakan Rasulullah yang artinya: Orang mukmin yang kuat, lebih baik dari pada orang mukmin yang lemah. (Hadist Riwayat Ibnu Majah). Kedua, membekali masyarakat, terutama generasi mudanya dengan ilmu dan keterampilan, sains dan teknologi, kata orang sekarang yang belajar dari bawah.
Selanjutnya, membangun masjid daan rumah sakit untuk pembinaan rohani dan fisik masyarakat dan merintiskan pendidikan keterampi¬lan bagi generasi muda.
Ini adalah kelanjutan dari rintisan rintisan sebelum ini sebagai¬mana dikatakan tadi.
Satu hal yang perlu kita ingat pula, bahwa setiap usaha usaha kemasyarakatan seperti yang kita lakukan ini, akan berjalan lancar dan berhasil baik dan merata kalau didukung seluruh rakyat bersama sama pemerintah di bawah bimbingan pemuka pemuka masyar¬akat yang di daerah ini disebut Tungku Tigo Sajarangan: ninik mamak, alim ulama dan cadiek pandai.
Kalaulah hal yang demikian dapat kita wujudkan, apa yang kita cita citakan berupa kemakmuran lahir bathin yang merata di daerah kita ini, akan cepat menjadi kenyataan.
Insya Allah.
Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh
Jakarta, 19 September 1992
Wassalam
ttd
Mohammad Natsir
Ket.
DR. Mohammad Natsir, putra Sumatera Barat, yang lahir di Alahan Panjang Jembatan Berukir, beliau adalah seorang pemikir, negara¬wan, ulama besar, dan tokoh Islam yang punya reputasi dunia, tokoh yang pernah memainkan peranan yang sangat penting dalam panggung politik Indonesia, berpulang kerahmatullah pada hari Sabtu 6 Februari 1993 pukul 12.10 Wib di RS Cipto Mangunkusumo, Jakar¬ta dalam usia 85 tahun.
Riwayat Hidup Ringkas
Dr Mohammad Natsir
17 Juli 1908, lahir di kampung Jambatan Baukia, Alahan Panjang, Sumatera Barat.
Pendidikan:
1916 1923 Holland Inlandsche School di Solok/Padang, Madrasah Di¬niyah di Solok
1923 1927 melanjutkan ke Mulo Padang
1927 1930 Algemene Middelbare School, Westers Klasieke Afdeling (AMS A2) Bandung
1927 1932 Meneruskan studi tentang Islam pada Persatuan Islam Bandung
1931 1932 Kursus guru diploma LO
Kemasyarakatan dan Pemerintahan:
1928 1932 Ketua Jong Islamiten Bond Bandung
1932 1942 Direktur Pendidikan Islam Bandung
1940 1942 Anggota Dewan Kabupaten Bandung
1942 1945 Kepala Biro Pendidikan Kotamadya Bandung (Bandung Syia¬kusyo)
1945 1946 Anggota KNIP
1946 1949 Menteri Penerangan RI
1949 1958 Ketua Umum Partai Masyumi, Selaku Ketua Fraksi Masyumi dalam DPR RIS. Pada waktu itu mengajukan mosi untuk kembali ke Negara Kesatuan RI yang kemudian dikenal dengan mosi Integral Natsir dan kawan kawan, yang diterima secara aklamasi oleh DPR RIS
1950 1951 Perdana Menteri RI
1950 1958 Anggota Parlemen RI
1956 1958 Anggota Konstituante RI
1958 1960 Anggota PRRI
1960 1962 Dikarantina di Batu (Jawa Timur)
1962 1966 Ditahan di RTM/Keagungan Jakarta
1967 Vice President World Muslim Congress (Markas di Kar¬achi)
1969 Ketua Yayasan Dewan Da’wah Islamiyah, Jakarta
1969 Anggota Muslim World League (Rabithah Alam Islamy) Mekkah
1976 Anggota Majlis A’la Al Alamy lil Masajid (Dewan Mesjid Sedunia) bermarkas di Mekkah
1980 Menerima Penghargaan di bidang pengkhidmatan kepada Islam dari “King Feisal Foundation”, Riyadh
5 5 1980 Menandatangani Petisi 50
1985 Anggota Dewan Pendiri The International Islamic Kharit¬able Foundation, Kuwait
1986 Anggota Dewan Pendiri The Oxford Center for Islamic Studies, London, Inggris, Anggota Majelis Umana’ International Islamic University Islamabad, Pakistan
17 8 1989 Bersama K H Masykur mendirikan Forum Ukhuwah Islamiyah
PEMIMPIN DUNIA TERKEJUT
erita wafatnya Bapak DR. Mohamad Natsir cukup mengejutkan. Tidak hanya dirasakan oleh para da’i di lapangan dakwah, juga oleh para politisi dan para pemimpin dunia. Takeo Fukuda, Mantan Perdana Menteri Jepang, beralamat di 4 – 4 – 3 Shimbashi Minato Ku Tokyo, mengirimkan ucapan belasungkawa dari Tokyo bertanggal 8 Pebruari 1993 sebagai berikut,
Kepada
Yang Mulia
Keluarga besar Dr. Muhamad Natsir
di Jakarta,
Kata Belasungkawa,
Dengan sedih kami menerima berita kehilangan besar dengan meninggal dunianya DR. MOHAMAD NATSIR.
Ketika menerima berita duka tersebut terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hiroshima, karena kita kehilangan pemimpin dunia, dan pemimpin besar dunia Islam.
Peranan beliau masih sangat diperlukan dalam mengkordinasikan dunia yang stabil.
Saya banyak belajar dari beliau ketika beliau berkunjung ke Jepang disaat saya menjabat Menteri Keuangan. Beliaulah yang meyakinkan kami di Jepang tentang perjuangan masa depan pemerintahan orde baru di Indonesia yang bersih dan sejahtera, bersamaan dengan cita-cita beliau untuk menciptakan dunia Islam yang stabil, adil sejahtera dengan kerjasama Jepang.
Kini beliau sudah tiada. Walaupun keberadaan beliau masih sangat kita perlukan, tetapi Tuhan telah mengambil kembali beliau untuk beristirahat.
Dengan penuh kesedihan izinkan saya atas nama kawan-kawan beliau di Jepang menyampaikan Kata Belasungkawa atas kepergian teman kami pemimpin dunia yang disegani, Doktor Muhamad Natsir.
Kami yakin kepergian beliau dengan ketenangan karena telah banyak murid-murid beliau yang setia diharapkan meneruskan perjuangan suci beliau.
Kami yang berduka cita,
Takeo Fukuda.
Bersama-sama tokoh ummat yang secita-cita Mohamad Natsir mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Pebruari 1967. Pengabdian di bidang dakwah ini bukan semata dalam makna simbol tetapi secara substantif dan komprehensif baik lisan, tulisan dan amaliah sosial bil hal dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Mohamad Natsir ditengah-tengah Ibu Badan Penyantun Rumah Sakit Ibnu Sina Yarsi Sumbar di Padang, ketika kunjungan ke Sumbar. Mohamad Natsir menyempatkan melihat perkembangan Rumah Yatim Budi Mulia di Ranah Padang. Beliau memang menjadi pemimpin tempat bertanya dari berbagai kalangan.
Memang Dewan Da’wah banyak menghidupkan dakwah Islam pada masyarakat suku terasing dan daerah terisolir serta di pemukiman transmigrasi. Untuk keperluan pergerakan dakwah ini, Mohamad Natsir tidak pernah lelah untuk menggembeleng kader-kader Islam dengan sangat ikhlas, agar selalu berjuang untuk kemulian dan ketinggian Islam.
Mohamad Natsir mengganggap kader pemimpim tak bisa dicetak hanya dalam satu malam.
Pemimpin tidak bisa dicetak oleh kursus, tidak ada universitas pemimpin, dan tidak pula ada ijazah pemimpin. Pemimpin tidak bisa di SK kan. Pemimpin tumbuh di lapangan, setelah berinteraksi dengan tantangan di dalam masyarakat. Pemimpin harus lahir dari kandungan ummat itu sendiri. Lahir dari lapangan. Mohamad Natsir percaya bahwa kader ummat dalam jumlah yang terbatas tetap ada. Para pemimpin umat lebih banyak hadir tanpa dibesar-besarkan dan gembar gembor. Pemimpin itu harus berakar ke bawah dan berpucuk ke atas. Inilah pemimpin yang diidamkan masyarakat. Proses itu lahir sendiri dalam suatu perjalanan sejarah.
Mohamad Natsir dengan para du’at yang melanjutkan gerakan dakwah di bidang kesehatan dan pendidikan di Sumbar dan Riau
Calon-calon pemimpin diuji oleh keadaan dan tantangan dalam masyarakatnya. Ujian itu ada yang baik dan ada yang buruk. Ujian atas kebaikan misalnya mendapat kesenangan harta dan pangkat. Bila seorang pemimpin lulus dari berbagai ujian kehidupan akan punya berlipat kekuatan dan berdampak poisitif yang tinggi. Sebaliknya bila gagal, maka yang menanggung derita adalah diri, keluarga dan masyarakat. Inilah arti sebuah ujian, bertalian keistiqahaman seorang pemimpin atau pendakwah di medan dakwah.
Sebaliknya, ketika ada ujian terhadap keburukan misalnya penderitaan atau kekurangan harta, mesti harus dapat dihadapi dengan keteguhan hati dan tidak pernah sesaatpun lepas dari naungan dan ma’unah dari Allah SWT.
Maka, yang akan beruntung adalah diri sendiri, disamping itu keluarga dan juga umat ikut berbahagia. Bila seorang pemimpin gagal menghadapi segala penderitaan, dan sempat menggadaikan diri demi secuil kesenangan, maka yang akan menderita pertama sekali adalah diri yang akan ditinggalkan umatnya dan tidak terlalu mengganggu keluarga dan lingkungan. Hal itu disampaikannya pada acara syukuran 80 tahun Natsir yang dilaksanakan rekan dan sahabat pada 17 Juli 1988.
Mohamad Natsir yang pernah diberi gelar penghormatan Doktor Kehormatan oleh salah satu Univeristas di Malaysia tak pernah sepi dari perjuangan kepentingan bangsa Indonesia dan izzul Islam wal Muslimuun diseluruh dunia. Beliau mendapat julukan dari umat sebagai, «hati nurani dan pemandu ummat».
Sepanjang hanyatnya Mohamad Natsir telah menghasilkan karya tulis di dalam berbagai aspek pemikiran. Karya tulisnya yang sudah diterbitkan sebanyak 60 buah, diantaranya ;
1. Fiqhud Dakwah, (Jakarta: DDII, t.t.) Cet. IV.
2. Surat-surat Mohamad Natsir dari tanggal 17 Juli-15 Agustus 1958. (T.T. : T.P., t.t.)
3. Bahaya Takut, Jakarta : Media Dakwah, 1991.
4. Capita Selecta I, dihimpunkan oleh D.P. Sati Alimin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), Cet. III.
5. Capita Selecta II, dihimpunkan oleh D.P. Sati Alimin, (Jakarta: Pustaka Pendis, 1957).
6. Capita Selecta III, (Naskah Belum Diterbitkan).
7. Fiqhud Dakwah, Djedjak Risalah dan Dasar-Dasar Dakwah, Malaysia : Polygraphic Press, 1981.
8. Selamatkan Demokrasi Berdasarkan Jiwa Proklamasi dan UUD 1945, (T.T.: Forum Silaturrahmi 45, 1984).
9. Islam dan Akal Merdeka, (Jakarta: Media Dakwah, 1988), Cet. III.
10. Azaz Keyakinan Kami. (T.T.).
11. Islam sebagai Dasar Negara, (T.T. : Pimpinan Fraksi Masyumi dalam Konstituante, 1957).
12. Revolusi Indonesia, (Bandung: Pustaka Jihad, T.T.). 13. Demokrasi di Bawah Hukum, (Jakarta: Media Dakwah, 1407/1987), Cet. I.
13. Pendidikan, Pengorbanan Kepemimpinan, Primordialisme, dan Nostalgia, (Jakarta: Media Dakwah, 1987), Cet. I.
14. Normalisasi Konstitusional, (Jakarta: Yayasan Kesadaran Berkonstitusi, 1990).
15. Islam di Persimpangan Jalan, T.T.
16. Tempatkan Kembali Pancasila pada Kedudukannya yang Konstitusioanl, T.T.
17. Mempersatukan Umat, (Jakarta: CV Samudra, 1983), Cet. III.
18. Dunia Islam dari Masa ke Masa, (Jakrta: Panji Masyara¬kat, 1982).
19. Islam sebagai Ideologi, (Jakarta: Penyiaran Ilmu, T.T.).
20. Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Girimukti Pusaka, 1988).
21. Percakapan antara Generasi, Pesanan Perjuangan Seorang Bapak, (Malaysia: Dewan Pustaka Islam, 1991).
22. Agama dan Negara, Falsafah Perjuangan Islam, (Medan:T. P, 1951).
23. Some Observations Concerning the Role of Islam in National and International Affairs, (Ithaca New York : Departement of Far Eastern Studies, Cornell University, 1954), Penerbitan XVI.
24. The Role of Islam in the Promotion of National Resil¬ience, (Jakarta: T.P., 1976).
25. Membangun di Antara Tumpukan Puing dan Pertumbuhan, (Djakarta : Kementerian Penerangan RI, 1951).
26. Marilah Shalat, Jakarta : Media Dakwah, 1981.
27. Mencari Modus Vivendi antara Umat Beragama di Indonesia, (Jarta: Media Dakwah, 1983).
28. Asas Keyakinan Agama Kami,(Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah, 1984).
29. Bahaya Takut, (Jakarta: Media Dakwah, 1991).
30. Kumpulan Khutbah Idul Fithri/Adhha, (Jakarta: Media Dakwah,1978).
31. Kumpulan Khutbah Hari Raya, (Jakarta : Media Dakwah, 1975).
32. The New Morality, (Surabaya: Perwakilan DDII, 1969).
33. Tinjauan Hidup, Widjaja, Djakarta, 1957.
34. Kom Tot Het Gebed (Marilah Shalat), (Jakarta: Media Dakwah, 1981).
35. Keragaman Hidup Antar Agama, Djakarta : Hudaya, 1970.
36. Hidupkan Kembali Idealisme dan Semangat Pengorbanan, Djakarta : Bulan Bintang, 1970.
37. Gubahlah Dunia dengan Amalmu, Sinarilah Zaman dengan Imanmu, Djakarta : Hudaya, 1970.
38. Kubu Pertahanan Mental dari Abad ke Abad,(Surabaya: T.P., 1969).
39. Tauhid untuk Persaudaraan Universal, (Jakarta: Suara Masjid, 1991).
40. Hendak ke mana Anak-anak Kita Dibawa oleh PMP,(Jakarta: Panji Masyarakat, 1402 H.).
41. Islam dan Akal Merdeka,(Tasikmalaja: Persatoen Islam bg. Penjiaran, 1947).
42. Islam Mempunyai Sifat-sifat yang Sempurna untuk Dasar Nega ra, (Jakarta: T.P., 1957).
43. Pandai-pandailah Bersyukur Nikmat, (Jakarta: Bulan bintang, 1980).
44. Dakwah dan Pembangunan,(Bangil: Al-Muslimun, 1974).
45. Tolong Dengarkan Pula Suara Kami,(Jakarta: Panji Ma¬syarakat, 1982).
46. Buku PMP dan Mutiara yang Hilang,(Jakrta: Panji Masyar¬akat, 1982).
47. Di Bawah Naungan Risalah, (Jakarta: Sinar Hudaya, 1971).
48. Ikhtaru Ihdas Sabilain, Addinu wa la al-Dinu, (Jeddah: Al-dar al-Saudiyah, 1392 H.).
49. Islam sebagai Ideologi, ( Jakarta : Penyiaran Ilmu, t.t.).
50. Islam dan Kristen di Indonesia, (Bandung: Pelajar Bulan Sabit, 1969).
51. Pancasila akan Hidup Subur Sekali dalam Pangkuan Islam, (Bangil: T.P., 1982).
52. Cultur Islam, (Bandung: T.P., 1936).
53. Dari Masa ke Masa,(Jakarta: Yayasan Fajar Shadiq, 1975).
54. Pandai-pandailah Bersyukur Nikmat,(Jakarta: Bulan Bintang, 1980).
55. Bersama H.A.M.K. Amarullah, Islam Sumbergia Bahagia, (Bandung: Jajasan Djaja, 1953).
56. Dengan nama samaran A. Moechlis, Dengan Islam ke Indonesia Moelia, (Bandung: Persatuan Islam, Madjlis Penjiaran, 1940).
57. Agama dan Negara dalam Persfektif Islam (Kumpulan Karangan), Penyunting, H. Endang Saifuddin Anshari dan LIPPM (Jakarta: 1409-1989, belum diterbitkan /masih monograph).
58. Asas Keyakinan Agama Kami, (Jakarta: DDII, 1982).
59. Tempatkan Kembali Pancasila pada Kedudukannya yang Konstitusional, (Jakarta: TP, 1985).
60. World of Islam Festival dalam Persepektif sejarah (Jakarta : Yayasan Idayu, 1976).
Bertimbang terima dengan generasi yang akan menerima tongkat patah tumbuh hilang berganti, untuk melanjutkan usaha pembangunan Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Yarsi Sumbar dalam Musyawarah di Padang.
Di Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Mohamad Natsir juga meninggalkan asset kekayaan ilmiah dengan hadirnya majalah Serial Media Dakwah, Suara Mesjid, Serial Khutbah Jum’at, majalah Sahabat untuk anak-anak serta Bulletin Dakwah sebagai penyiram hati umat yang sedang gersang rohani.
Pemikiran beliau masih tetap hidup ditengah umat, dibaca dan ditelaah oleh setiap generasi secara sambung bersambung. Bapak Mohamad Natsir telah meninggalkan pesan-pesan dakwah yang tidak akan kering menyirami setiap insan pendakwah di medan dakwah sepanjang masa. Berpuluh khazanah intelektual dan ratusan artikel yang bernuansa dakwah telah ditulis beliau. Belum sempat diterbitkan. Sungguhpun kini beliau telah dipanggil kehadirat Allah, namun pemikiran beliau masih tetap hidup ditengah umat, dibaca dan ditela’ah oleh setiap generasi secara sambung bersambung “Harimau mati meninggalkan belang, manusia pergi meninggalkan amal yang baik juga”.
Sebagai insan beliau telah dipanggil kehadirat Allah, pada hari Sabtu tanggal 6 Pebruari 1993 pukul 12.10 WIB bertepatan dengan 14 Sya’ban 1413 H di Ruang ICCU RSCM Jakarta. Dimakamkan di TPU Karet 7 Pebruari 1993 siang, dibawah deraian air mata dan siraman air hujan.
GSelamat jalan Bapak Mohamad Natsir. Dibelakang bapak telah menunggu Natsir muda melanjutkan perjuanganmu yang harum semerbak. “Harimau mati meninggalkan belang, manusia pergi meninggalkan amal yang baik juga”.
Beberapa Rangkuman
Bila kita mengamati dari perkembangan budaya di Minangkabau, sesungguhnya gerakan pembaruan pemikiran syarak dan adat di ranah Minang, terlihat bahwa peredaran masa sejarah social budaya Minangkabau, selalu mengalami perubahan dalam kurun waktu 50 hingga 100 tahun, dengan orientasi membangun nagari, dan ranah.
1. Setiap muncul perubahan atau gerakan reformasi, sering sekali berakibat kepada makin berkurangnya peran penghulu adat, dan melemahnya pagar-pagar adat, termasuk ulama zuama, alim ulama cerdik pandai suluh bendang di nagari.
2. Sampai akhir penjajah Belanda, masyarakat adat tampaknya berorientasi pada tiga pola sosial budaya. Tradisional adat, Islam dan barat. Namun traidisi adat kian menciut sehubungan golongan Islam modernis lebih menyesuaikan diri pada pola budaya barat seperti yang telah berlaku pada beberapa daerah belahan dunia, seperti di Mesir dan Timur Tengah saat ini.
3. Mulai pendudukan Jepang golongan orientasi barat mulai kehilangan arah ketika mereka melihat bahwa bangsa timur ternyata tidak kalah hebat dari barat. Sebagai bangsa mereka kembali menoleh ke pusaka nenek moyangnya, adat kebiasaan dan kekuatan nilai-nilai luhur yang ditinggalkan.
4. Pada awal kemerdekaan, dan bahkan pada masa reformasi kini, ada kecenderungan untuk tugas dan kewajiban penjagaan dan pengamalan syarak (agama Islam) kepada umumnya dikembalikan kepada pemerintahan negara melalui penerbitan perda-perda tentang adat, sehingga kelihatan bahwa masyarakat adat kehilangan kearifan dan kewenangan di dalam menetapkan tindakan sesuai dengan hak konstutusional adat mereka. Dengan demikian berakibat pada peran elit golongan ulama dan pemuka adat yang selama ini sangat penting mengangkat harkat bangsa mulai mengendor.
5. Reaksi terhadap kebijaksaan pemerintah pusat yang sentralistik, sungguh telah menyadarkan seluruh komponen elit politik Minangkabau di kampung dan di rantau untuk menampilkan identis dirinya yang Minangkabau, dengan melahirkan pemikiran-pemikiran baru, pentingnya kompilasi adat dan syarak di Minangkabau, di masa ini dan masa datang.
Padang, 5 Pebruari 2008 M/ 27 Muharram 1429 H
DAFTAR BACAAN DAN SUMBER INFORMASI
1. AA Navis. “Bukit Marapalam”. Padang: Universitas Andalas, 1991.
2. Andi Asoka. “Sumpah Satie Bukit Marapalam, Antara Mitos dan Realitas” (merupakan bab IV dari laporan Penelitian “Sejarah Perpaduan Antara Adat dan Syarak di Sumatera Barat, kerjasama Fakultas Sastra Unand dengan Pemda Tingkat I Sumatera Barat, 1991).
3. Andi Asoka, Zulqaiyim, Sabar. “Stratifikasi Sosial Minangkabau Pra Kolonial”. Padang: Pusat Penelitian Universitas Andalas, 1991/1992.
4. Azwar Datuk Mangiang. “Piagam sumpah satie Bukik Marapalam”. Makalah Seminar. Arsip pribadi tertanggal 16 Juli 1991.
5. Christine Dobbin. Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah 1784-1847. Jakarta: INIS, 1992.
6. Damsar. “Implementasi Kritis Adat Basandi Syara`, Syara` Basandi Kitabullah di Tengah Masyarakat Majemuk di Sumatera Barat: Suatu Tinjauan Sosiologis”.
7. Hamka. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
8. H.B.M. Letter. “Proses Bersenyawanya Adat dan Syarak di Minangkabau”. Padang, Universitas Andalas, 1991.
9. Mochtar Naim. Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984.
10. Muhammad Radjab. Sistem Kekerabatan di Minangkabau. Padang: Center for Minangkabau Studies Press, 1969.
11. Ratno Lukito. Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Jakarta: INIS, 1998.
12. Syafnir Abu Nain. “Sumpah Satie di Bukit Marapalam, Perpaduan Antara Adat dengan Syarak”. Padang: Universitas Andalas, 1991.
13. Syaifullah SA.”Implementasi Kritis Adat Basandi Syara`, Syara` Basandi Kitabullah di Tengah Masyarakat Majemuk di Sumatera Barat (Tinjauan Sosial Budaya)”.
14. Makalah Seminar dan Lokakarya Agama dan Civil Society oleh PUSAKA Padang tanggal 21 Juni 2003.
15. Zaiyardam Zubir. “Sumpah Satie Bukit Marapalam: Tinjauan Terhadap Pengetahuan Sejarah Masyarakat”, Makalah pada Seminar Sehari Sumpah Satie Bukit Marapalam dan Perpaduan Adat dengan Agama di Minangkabau. Padang: Universitas Andalas, 31 Juli 1991.
DI MANA TERSIMPANNYA ASLI NASKAH TIB
Oleh, Suryadi
Raba’a, 04 Oktober 2006 / Al-Arba’a, 11 Ramadan 1427 H
Sampai sekarang sudah banyak publikasi ilmiah mengenai Perang Paderi, misalnya studi Muhammad Radjab (1958), Christine Dobbin (1983), dan Rusli Amran (1981, 1985), belum lagi puluhan artikel yang terbit di berbagai jurnal ilmiah terbitan dalam dan luar negeri. Studi-studi tersebut banyak merujuk kepada sumber-sumber primer yang kebanyakan ditulis oleh pemimpin-pemimpin militer, komandan-komandan lapangan, dan juga pegawai swasta kolonial Belanda yang, langsung atau tidak, pernah terlibat dalam Perang Paderi. Ini dapat dikesan, misalnya, dalam publikasi terbaru mengenai Perang Paderi oleh sejarawan militer G. Teitler dalam bukunya Het Einde van de Padrie-oorlog Het beleg en de vermeestering van Bonjol, 1834-1837; Een Bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi. Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; sebuah publikasi sumber] (Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 2004) yang mengungkapkan 4 sumber primer mengenai perang tersebut, yaitu: “De Luitenant Generaal, Kommissaris Generaal van Nederlandsche-Indië J. van den Bosch aan den Luitentant Kolonel Adjudant J.H.C. Bauer bij aankomst te Padang, den 13 October 1833, no.354″ (hlm.23-25); “Over het attaqueren van versterkte linien en kampongs” (hlm.27-39); “Rapport omtrent den staat van zaken ter Westkust van Sumatra in Januari 1836 ingediend door de 1e Luitenant Adjudant Steinmetz, hem opgedragen bij besluit van den kommandant van het leger, 13 november 1835 no.4″ (hlm.41-56), dan; “Journaal van de expeditie naar Padang onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden door de Majoor Sous-Chief van den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis” (hlm.59-183).
Minggu, 24 Juni 2007
Tuanku Imam Bonjol
Nama aslinya adalah Muhammad Sahab yang dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol. Ia lahir di Tanjung Bunga Sumatera Barat di tahun 1772.
Ia banyak belajar soal agama dari orang-orang ulama di Sumatera Barat dan akhirnya ia menjadi seorang guru agama di Bonjol. Sebagai tokoh ia cukup disegani. Disini ia menyebarkan paham Paderi.
Di tahun 1821 Belanda dengan bala bantuannya menyerang kaum Paderi untuk menguasa daerah Sumatera Barat. Tuanku Imam Bonjol memimpin pertarungan ini dan akhirnya Belanda kewalahan dan terpaksa mengadakan perjanjian Masang tahun 1824 yang mengakui bahwa Tuanku Imam Bonjol sebagai penguasa daerah Alahan Panjang. Namun perjanjian ini dilanggar oleh Belanda dan peperangan kembali berkobar.
Sebagian demi bagian daerah tersebut jatuh ke tangan Belanda. Daeran Tuanku Imam Bonjol bertambah sempit dan terkurung oleh daerah-daerah Belanda. Tahun 1832 Bonjol berhasil diduduki oleh Belanda, tetapi beberapa bulan kemudian Paderi direbut kembali. Belanda menyerang Tuanku Imam Bonjol berkali-kali tapi selalu gagal. Lalu Belanda mengadakan perdamaian namun Tuanku Imam Bonjol mencurigainya.
Kurang lebih tiga tahun kemudian Belanda mengepung dan Bonjol kembali direbut tangan Belanda. Tanggal 16 Agustus 1837. Tuanku Imam Bonjol berhasil meloloskan diri dan berjuang ditempat lain.
Tahun 1837 Tuanku Imam Bonjol diundang untuk perundingan, namun taktik licik Belanda ini berhasil menangkap Tuanku Imam Bonjol dan dibuang ke Cianjur Jawa Barat, lalu ke Ambon dan berakhir di Lotan dekat Manado. Ditempat inilah Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 8 Nopember 1864 dan dimakamkan disana. (jag)
TUANKU TAMBUSAI PEJUANG MELAYU RIAU
NAMA beliau turut disentuh dalam kertas kerja saya pada seminar oleh keluarga Rao atau Rawa di Raub, Pahang dan artikel Syeikh Muhammad Murid Rawa, disiarkan Utusan Malaysia, bertarikh 19 Mac 2007.
Tidak ramai memahami bahawa ulama dan pahlawan ini telah menyemaikan benih anti penjajah. Beliau ikut dalam peperangan Imam Bonjol di Sumatera Barat. Akhirnya terpaksa hijrah ke Negeri Sembilan dan meninggal dunia di situ. Wujud persamaan dengan Raja Haji berperang melawan Belanda bermula di Riau melalui Linggi, Rembau dan lain-lain di beberapa tempat dalam Negeri Sembilan akhirnya tewas di Melaka sebagai seorang syahid fi sabilillah. Oleh kerana Tuanku Tambusai meninggal dunia di Negeri Sembilan sedikit sebanyak tentu beliau telah menyemaikan benih berjuang kepada bangsa Melayu di Negeri Sembilan khususnya dan Semenanjung umumnya yang dijajah oleh Inggeris pada zaman itu.
Sejarah adalah penting perlu kita kaji dan perkenalkan kepada masyarakat luas. Ketika saya menghadiri seminar yang diadakan oleh keluarga Rao atau Rawa di Raub, Pahang, Ahad, 18 Mac 2007 M/28 Safar 1428 H yang lalu, di luar acara rasmi Tuan Mohd. Said bin Haji Mohd. Razi, Pengerusi dan Ketua Projek, Persatuan Sejarah Malaysia Cawangan Selangor menghadiahkan kepada saya sebuah buku berjudul, Sejarah Negeri Selangor, Dari Zaman Prasejarah Hingga Kemerdekaan, diterbitkan tahun 2005.
Manakala saya baca Perutusan Menteri Besar Selangor dan Kata Pengantar Persatuan Sejarah Malaysia Cawangan Selangor, saya simpulkan bahawa Kerajaan Negeri Selangor telah mengeluarkan dana yang besar untuk melakukan penyelidikan. Termasuk beberapa orang panel penulis ke tempat-tempat di Indonesia yang ada hubungan dengan Selangor. Saya berkesimpulan bahawa hampir semua tokoh, sama ada di Malaysia atau sebaliknya Indonesia termasuk Tuanku Tambusai, dan lain-lain mempunyai hubungan yang sangat erat.
Bahkan sejak lama serumpun Melayu sejagat selalu bekerjasama dalam gerakan dakwah Islam, politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Jadi tidak hairanlah Tuanku Tambusai berkemungkinan sebab-sebab tertentu terpaksa berpindah dari Sumatera (beliau beroperasi di Minangkabau dan Riau) ke Negeri Sembilan.
PENDIDIKAN
Bermacam-macam ramalan sewaktu anaknya yang dinamakan Muhammad Shalih dilahirkan kerana pada waktu itu terjadi hujan ribut disambut kilat, guruh-petir sabung-menyabung. Tetapi kerana Imam Maulana Qadhi seorang alim yang terpelajar, yang faham akidah Islam beliau tolak sekalian ramalan yang bercorak khurafat secara bijaksana.
Bayi tersebut dipersembahkan kepada Duli Yang Dipertuan Besar Raja, Permaisuri Duli Yang Dipertuan Besar Raja berkata, “Kita doakan apabila dia alim nanti menjadi suluh dalam negeri. Kalau dia seorang berani menjadi pahlawan. Sekiranya dia kaya menjadi penutup malu. Sekiranya dia menjadi cerdik bijaksana adalah penyambung lidah untuk kebenaran dan keadilan.” (Rokan Tuanku Tambusai Berjuang, H. Mahidin Said, cetakan kedua, hlm. 30).
Oleh sebab ayahnya seorang Imam Tambusai dan seorang alim sudah pasti Muhammad Shalih mendapat pendidikan awal dan asas daripada ayahnya sendiri. Sungguhpun ketika Muhammad Shalih meningkat dewasa beliau dihantar keRao yang lokasinya berdekatan dengan Tambusai. Setelah mendapat pendidikan Islam di Rao dan Bonjol beliau lebih dikenali dengan nama “Faqih Shalih”.
Menurut tradisi di daerah, apabila seseorang itu menguasai ilmu fikah maka dia digelar dengan “Faqih”. Ini bererti Muhammad Shalih sejak muda lagi telah diakui oleh masyarakat sebagai seorang yang alim dalam bidang ilmu fikah. Sudah menjadi lumrah dalam dunia dari dulu hingga kini ada saja raja atau umara (pemerintah) yang sepakat dengan ulama. Yang inilah yang dianjurkan oleh Rasulullah s.a.w. Ada pula antara umara yang tidak sepakat dengan ulama. Ulama yang masih muda bernama Faqih Shalih yang tersebut diriwayat memang bertentang dengan raja yang memerintah ketika itu.
Walau bagaimanapun Faqih Shalih meminta nasihat kepada dua orang ulama. Yang pertama ialah Tuanku Imam Bonjol (nama yang sebenarnya ialah Peto Syarif). Yang kedua ialah Tuanku Rao (nama yang sebenarnya dipertikai pendapat). Kedua-duanya menasihatkan supaya Faqih Shalih pergi haji ke Mekah. Sewaktu di Mekah, Faqih Shalih sempat memdalami ilmu di sana. Di antara ulama yang sedaerah dengannya (yang saya maksudkan berasal dari persekitaran Minangkabau, Tapanuli dan Riau) di antaranya ialah Syeikh Ismail bin Abdullah al-Khalidi an-Naqsyabandi dan lain-lain. Beliau ini termasuk murid Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Dipercayai Faqih Shalih selama berada di Mekah sempat belajar kepada ulama yang berasal dari Patani itu.
Sebagaimana tulisan saya dalam kertas kerja seminar di Raub, Pahang bahawa sukar menjejaki yang bernama Muhammad Shalih itu, dalam zaman yang sama ada Muhammad Shalih bin Muhammad Murid Rawa dan ada pula Faqih Shalih sedang Tuanku Rao tidak diketahui nama sebenarnya. Ada pendapat bahawa Tuanku Rao seorang guru pada Faqih Shalih. Ada kemungkinan Tuanku Rao adalah orang tua (ayah Faqih Shalih).
Setelah kembali dari Mekah, Faqih Shalih lebih dikenali “Haji Muhammad Shalih”. Dan selanjutnya dalam Perang Imam Bonjol atau Perang Paderi, beliau lebih dikenali sebagai “Tuanku Tambusai” selanjutnya digunakan nama ini. Sudah menjadi sejarah perkembangan dunia bahawa sama ada disukai atau pun tidak, peperangan bila-bila masa boleh terjadi. Agama Islam bukanlah agama yang menganjurkan peperangan tetapi jika ada usaha-usaha agama selainnya menodai Islam maka konsep jihad memang sudah menjiwai hampir seluruh individu Muslim. Hal ini adalah hampir sama dengan jiwa kebangsaan individu sesuatu negara atau sesuatu bangsa bahawa hampir setiap individu dalam sesuatu negara adalah tidak suka negaranya dijajah.
Memperjuangkan sesuatu negara atau bangsa telah menjiwai setiap penduduk dunia sama ada yang beragama Islam dan agama-agama lainnya termasuk orang yang tidak beragama sekalipun. Oleh sebab Belanda telah menjajah Minangkabau, Sumatera Barat, maka adalah wajar rakyat bertindak melawan penjajah itu apatah lagi yang datang menjajah itu tidak seagama pula.
Tuanku Tambusai dan kawan-kawan bersamanya bergabung dalam satu wadah yang dinamakan “Kaum Paderi” yang dipimpin oleh Peto Syarif yang kemudian terkenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol. Menurut buku, 101 Pahlawan Nasional, Departemen Sosial Republik Indonesia bahawa “Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai bekerjasama dalam perjuangan tetapi tidak bererti yang satu membawahi yang lain kerana mereka merupakan tokoh-tokoh yang otonom.” (hlm. 517).
PERANG PADERI
Bunga api Perang Paderi mulai bertaburan pada tahun 1803 yang dihidupkan oleh Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Tiga Belas Koto dan Haji Piobang dari Tanah Datar. Kemunculan Tuanku Tambusai dengan pasukannya di bahagian utara terutama sekitar daerah Hulu Sungai Rokan menyebabkan Tuanku Imam Bonjol dapat bertahan dari serangan Belanda lebih lama kerana pasukan Tuanku Imam Bonjol posisinya di bahagian tengah. Taktik dan strategi perang diatur dua bahagian oleh Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai. Tuanku Rao melalui Padangsidempana dan Tuanku Tambusai melalui Padanglawas, Gunung Tua, bilahPanai berhimpun di Sipiruk. Pada mulanya Belanda telah menguasai Bonjol pada bulan September 1832 akhirnya terpaksa keluar pada Januari 1833 akibat serangan Kaum Paderi yang diperanani oleh Tuanku Tambusai.
Dalam perang melawan penjajah Belanda itu di antara jasa besar Tuanku Tambusai, beliau dapat menyatupadukan tiga etnik iaitu Minangkabau/Rao, Melayu dan Mandailing. Bahawa mereka bersatu tekad dan semangat bumi pusaka bukan milik bangsa penjajah. Bumi ini adalah kepunyaan bangsa kita yang beragama Islam. Membela agama Islam dan tanahair adalah wajib. Menang dalam peperangan bererti mencapai kemerdekaan. Jika mati dalam perjuangan adalah mati syahid. Menang bererti beruntung. Jika mati pun beruntung juga. Orang yang tidak mengenal bangsa, tanahair dan Islam agamanya, yang tiada perjuangan itulah yang sebenar-benar rugi pada hakikatnya. Apabila kita menoleh zaman lampau etnik yang tersebut mendiami daerah yang sangat luas, yang pada masa ini terbahagi dalam tiga daerah iaitu; daerah Sumatera Barat majoriti penduduknya ialah Minangkabau, daerah Riau Daratan majoriti penduduknya ialah Melayu dan daerah Sumatera Utara majoriti penduduknya ialah Batak dan yang beragama Islam mempunyai nama tersendiri iaitu Mandailing.
Daripada rakaman ini kita dapat membayangkan bahawa Tuanku Tambusai mempunyai kehebatan atau kekuatan yang tersendiri sehingga beliau dapat menyatupadukan etnik dalam bumi yang demikian luas itu. Setelah banyak mengapai kemenangan dan keberhasilan perjuangan, Tuanku Tambusai menjadikan pusat perjuangan, pentadbiran dan pertahanan di Dalu-Dalu (sekarang dalam daerah Riau Daratan). Bertahan sampai tahun 1838 Tuanku Tambusai masih tetap bertahan sehingga Belanda tidak dapat masuk ke Inderagiri Hulu (Riau Daratan). Tuanku Tambusai adalah seorang ulama dan pahlawan yang berpendirian keras tidak mahu berunding dengan pihak penjajah Belanda. Beliau faham benar bahawa berunding dengan pihak penjajah Belanda bererti menyerah diri atau terperangkap dengan umpan lazat yang disediakan pemburu.
Sudah banyak contoh yang beliau bandingkan seumpama Tuanku Imam Bonjol sendiri terkorban bukan sebagai syahid di medan peperangan tetapi adalah tertipu kelicikan pihak penjajah Belanda. Tuanku Tambusai berpendirian terus berjuang sekiranya tidak berhasil hijrah ke Negeri Sembilan beliau memilih jalan terakhir iaitu mati sebagi syahid lebih utama daripada berunding apatah lagi menyerah kepada pihak musuh.
Pendirian keras Tuanku Tambusai seperti tersebut itu ada orang yang tidak menyetujui dan ramai pula yang menyetujuinya. Jika kita teliti sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia secara keseluruhan pendirian Tuanku Tambusai itu ada benarnya. Kerana hampir semua pemimpin yang mahu berunding dengan penjajah Belanda adalah merugikan pemimpin pejuang. Yang untung adalah pihak Belanda sendiri. Semua pemimpin yang menerima perundingan ditangkap akhirnya dibuang keluar dari negeri asalnya. Peristiwa Tuanku Tambusai dapat kita bandingkan dengan peristiwa dunia antarabangsa sekarang ini, ada negara yang tidak menerima perundingan dengan Amerika seperti Iran tentang isu nuklear. Ada negara menerima perundingan tetapi tidak mudah menerima tipu helah Amerika seperti Korea Utara. Iraq akhirnya menerima perundingan. Apa jadinya? Hanyalah merugikan Iraq sendiri menjadi negara yang dijajah oleh Amerika dan sekutu-sekutunya.
Pengorbanan tenaga, harta dan pemikiran Tuanku Tambusai adalah besar, kecuali jiwa dan raganya saja dapat berhijrah ke Negeri Sembilan. Peristiwa beliau hampir serupa dengan gurunya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani dalam perang Patani melawan pencerobohan Siam bahawa beliau hijrah ke Pulau Duyung Kecil, Terengganu. Hijrah seseorang tokoh atau ulama bukan bererti lari tetapi bertujuan menyusun taktik dan strategi untuk mencapai kemenangan yang diredai Allah di dunia dan akhirat.
Dengan tidak menafikan perjuangan Tuanku Tambusai beliau telah diberi gelaran, ‘Pahlawan Nasional Republik Indonesia’ dengan SK. No. 071/TK/Tahun 1995, Tanggal 7 Ogos 1995.
اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِنُوْرِ قُدْسِكَ وَ عَظَمَةِ طَهَارَتِكَ وَ بَرَكَةِ جَلاَلِكَ مِنْ كُلِّ عَافَةٍ وَ عَاهَةٍ وَ مِنْ طَوَارِقِ اللَّيْلِ وَ النَّهَارِ إِلاَّ طَارِقًا يَطْرُقَ بِخَيْرٍ يَا رَحْمَانُ
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan cahaya kesucian-Mu dan keagungan-Mu dari segala kebencian dan gangguan serta dari segala kejahatan yang datang baik di waktu malam maupun di waktu siang, kecuali yang datang dengan kebaikan wahai Yang Maha Pengasih.
أَنْتَ غِيَاثِي فَبِكَ أَغُوْثُ وَ أَنْتَ مَلاَذِي فَبِكَ أَلـُـوْذُ وَ أَنـْتَ عِيَاذِي فَبِكَ أَعُوْذُ.
Engkau Maha Penolong, maka kepada-Mu lah aku memohon pertolongan, Engkau tempat berlindung, maka kepada-Mu lah aku berlindung, Engkau lah yang menemani, maka dengan Mu lah aku berteman.
يَا مَنْ ذَلـَّتْ لَهُ رِقَابُ الْجَبَابِرَةِ وَ خَضَعَتْ لَهُ أَعْنَاقُ الفَرَاعِنَةِ، أَعُوْذُبِكَ مِنْ خِزْيِكَ وَ كَشْفِ سَتْرِكَ وَ اْلإِنْصِرَافِ عَنْ شُكْرِكَ.
Wahai Yang Maha Kuasa, yang telah menghinakan hamba yang sombong, dan yang telah menaklukkan hamba yang angkuh, aku berlindung kepada-Mu dari menghinakan-Mu, dan membuka-buka rahasia-Mu serta berpaling dari mensyukuri nikmat-Mu.
أَنَا فيِ حِرْزِكَ لَيْلَي وَ نَهَارِي وَ نَوْمِي وَ قَرَارِي وَ ظَعْنِي وَ أَشْفَارِي.
Aku dalam tempat-Mu yang kokoh pada waktu malam-Ku, siang-Ku, pada waktu tidur-Ku, waktu diam-Ku, waktu pagi-Ku dan perjalanan-Ku.
ذِكْرُكَ شِعَاِري وَثَنَائِكَ دِثَارِي
Mengingat-Mu adalah pakaianku dan menyanjung-Mu adalah selimut-Ku.
لاَإِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، تَعْظِيْمًا لِوَجْهِكَ، وَ تَكْرِيْمًا لِسُبْحَانِكَ، أَجِرْنِى مِنْ خِزْيِكَ وَ مِنْ شَرِّ عِبَادِكَ، وَاضْرِبْ عَلَيَّ سُرَاِدقَاتِ حِفْظِكَ، وَ أَدْخِلْنِى بِرَحْمَتِكَ فيِ حِفْظِ عِنَايَتِكَ، وَ عُدْليِ بِخَيْرٍ يَاأَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ.
Tiada Tuhan selain engkau, karena mengagungkan wajah-Mu dan memuliakan kesucian-Mu, jauhkanlah aku dari kehinaan dan menjadi hamba-Mu yang buruk. Berikanlah kepadaku naungan dan perlindungan-Mu, dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu dalam lindungan-Mu, dan berikanlah kepadaku sebaik-baik kebaikan, wahai zat Yang Maha Pengasih lagi penyayang.
رَبَّنَا اغْفِرْلَنَا ذُنُوْبَنَا وَ اِسْرَافَنَا فِى أَمْرِنَا وَ ثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَ انْصُرْنَا عَلَى القَوْمِ الكَافَرْيْن.
“Ya Allah, Ampunilah dosa kami, ampunilah keteledoran kami, dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami menghadapi kaum kafir”.
اللَّهُمَّ لاَ تُمْكِنُ الأَعْدَاءَ فِيْنَا وَلاَ تُسَلِّطْهُمْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ َيَخافُكَ وَلاَ يَرْحَمُنَا
“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau beri kemungkinan musuh berkuasa terhadap kami janganlah Engkau berikan kemungkinan mereka memerintah kami, walaupun kami mempunyai dosa. Janganlah Engkau jadikan yang memerintah kami, orang yang tidak takut kepada-Mu, dan tidak mempunyai kasih sayang terhadap kami”.
اللهُمَّ أَهْلِكِ الكَفَرَةَ الَّذِي يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِكَ وَ يَكْذِبُوْنَ رَسُلَكَ وَ يُقَاتِلُوْنَ أَوْلِيَائَكَ
“Wahai Tuhan kami, hancurkanlah orang-orang yang selalu menutup jalan Engkau, yang tidak memberikan kebebasan kepada agama-Mu, dan mereka-mereka yang mendustakan Rasul-Rasul Engkau,dan mereka yang memerangi orang-orang yang Engkau kasihi”.
اللهُمَّ فَرِّقْ جَمْعَهُمْ وَ شَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَ أَنْزِلْ بِهِمْ بَأْسَكَ الَّذِي لا َتَرُوْدَهُ عَنِ القَوْمِ الُمجْرِمِْينَ.
“Wahai Tuhan kami, hancurkanlah kesatuan mereka, dan pecah belah barisan mereka. Turunkan kepada mereka ‘azab sengsara-Mu, yang selalu Engkau timpakan kepada golongan-golongan yang selalu berbuat dosa”.
اللهُمَّ أَعِزِّ الإِسْلاَمِ وَ المُسْلِمِيْنَ وَ اخْذُلِ الكَفَرَةَ وَ المُشْرِكِيْنَ
“Wahai Tuhan kami, berilah kemuliaan kepada Islam dan kaum Muslimin, rendahkanlah orang-orang yang kafir dan orang musyrik”.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ المُؤْمِنَاتِ وَ المُسْلِمِيْنَ وَ اْلمُسْلِمَاتِ، اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَ اْلأَمْوَاتِ. اللَّهُمَّ اجْعَلْ يَوْمَنَا خَيْرًا ِمنْ أَمْسِنَا، وَ اجْعَلْ غَدَنَا خَيْرًا ِمْن يَوْمِنَا، وَ احْسِنْ عَاقِبَتَنَا فيِ الأُمُوْرِ كُلِّهَا، وَ أَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَ عَذَابِ الآخِرَةِ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ اْلعَفْوَ وَ العَافِيَةَ فيِ دِيْنِنَا وَ دُنْيَاناَ وَ أَهْلِيْنَا وَ أَمْوَالِنَا، رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ العَلِيْمِ وَ تبُ ْعَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ العِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَ سَلاَمُ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَ اْلحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ.
Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (1984)
L.C. Westenenk dalam Opstellen over Minangkabau
J.C. van Vanleur dalam bukunya Indonesian Trade & Socety (1955) menyatakan bahwa pada permulaan tahun 674 AD Pantai Barat Sumatera telah dihuni koloni Arab, dan ketika itu Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang telah menyebarkan agama Hindu ke Nusantara dari abad ke-7 hingga ke-13 M.
Sumber: Drs. Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Aceh dalam tahun 1520-1675, Penerbit Monora, Medan 1972
Syekh Abdur Rauf adalah seorang ulama dan mubaligh besar di Aceh abad ke-17 pada masa pemerintahan Sulthanat Syafiatuddin (1641 – 1675). Nama lengkapnya adalah Syekh Abdur Rauf bin Ali al Jawi al Singkli. Lahir pada tahun 1620 di Singkil Aceh Selatan. Pada tahun 1642 beliau berangkat ke Mekah melanjutkan studinya di bidang agama Islam. Selama 19 tahun di tanah Arab menuntut ilmu kepada Molla Ibrahim, pengikut Syekh Ahmad Kosasi, seorang ulama yang terkenal di dunia Islam waktu itu dan pemimpin tharekat Syattariah.
Sebagai kenang-kenangan untuknya, Universitas di Aceh mengambil namanya sebagai nama, yaitu Universitas Syiah Kuala, disingkat Unsyiah.
Kebesaran Syekh Abdurauf telah menjadi studi para sarjana, seperti D.A.Rinkers yang menulis Syekh Abdurauf van Singkel; P.Voorhove dalam majallah TBG tahun 1952 No.87 membahas karyanya yang berjudul Bayan Tajalli. Beberapa pokok pendiriannya yang dikutib dari berbagai karyanya telah disusunnya dalam Encyclopaedia of Islam, volume I tahun 1960. S. Kayser, Snouck Horgronye, Winstedt, Archer telah menulis tentang pribadinya.
Faham wihdatulwujud mengatakan bahwa alam adalah ciptaan dari bahagian ketuhanan sendiri, laksana buih pada puncak ombak. Alam zahir ini, bahagian dari pada ketuhanan besar. Teori ini merupakan monisma (serba esa) atau pantheisme (serba dewa). Menurut ahli tasauf ini, dunia ini hanyalah emanasi atau pancaran intisari tidak tercipta. Penganut faham wihdatulwujud yang terkenal ialah Ibnu Arabi dan Al Halaj. Di zaman Iskandar Muda adalah Hamzah Fansuri yang ditantang oleh Abdurrauf.
Semasa Sulthan Iskandar Tsani memberantas ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani yang dianggap sebagai ajaran sesat. Buku-buku Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani dibakar dan dimusnahkan dan rakyat Aceh dilarang ajaran kedua ulama itu sebagai ajaran sesat.
Sumber; Sjafnir Aboe nain, drs, Tuanku Imam Bonjol, Sejarah Intelektual Islam (1784-1832), Penerbit Esa,Padang, 1988
Sjafnir Aboe Nain, drs, Naskah Tuanku Imam Bonjol-Naali Sutan Caniago, alih tulis, revisi 2003
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Jakarta, LP3ES, 1980, hal.38
Syekh Djamil Djambek dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860 , anak dari Muhammad Saleh Datuk Maleka, Kepala Nagari Kurai. Ibunya berasal dari Betawi. Syekh Djamil Djambek meninggal tahun 1947 di Bukittinggi.
Haji Rasul lahir di Sungai Batang, Maninjau, tahun 1879, anak seorang ulama Syekh Muhammad Amarullah gelar Tuanku Kisai. Pada 1894, pergi ke Mekah, belajar selama 7 tahun. Sekembali dari Mekah, diberi gelar Tuanku Syekh Nan Mudo. Kemudian kembali bermukim di Mekah sampai tahun 1906, memberi pelajaran di Mekah, di antara murid-muridnya termasuk Ibrahim Musa dari Parabek, yang menjadi seorang pendukung terpenting dari pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Haji Rasul meninggal di jakarta 2 Juni 1945
Haji Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878, anak dari Haji Ahmad, seorang ulama dan pedagang. Ibunya berasal dari Bengkulu, masih trah dari pengikut pejuang Sentot Ali Basyah.
Syekh Ibrahim Musa dilahirkan di Parabek, Bukittinggi pada tahun 1882.
Zainuddin Labai al-Yunusi lahir di Bukit Surungan Padang Panjang pada tahun 1890. Ayahnya bernama Syekh Muhammad Yunus.
Diperoleh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah” Kategori: Kelahiran 1908 | Kematian 1981 | Sastrawan Indonesia | Tokoh Islam Indonesia | Pahlawan nasional Indonesia
Tulisan ini, misalnya, sangat terbantu dengan adanya skripsi sarjana IAIN, Wirda Yati, SAg: Dinamika Dakwah Islam di Indonesia, Telaah Terhadap Pemikir¬an Mohammad Natsir.
Dalam bagian pada wawancara dengan Panji Masyarakat Juli 1988 itu, Natsir mengibaratkan kader pempimpin itu adalah seperti harapan Nabi Zakaria yang mendambakanm keturuan yang akhairnya Allah mmemberikan keturuan Nabi Yahya. Natsir optimis lahirnya Yahya-Yahaya baru. Terutama menurutnya adalah dari Kampus dan dari LSM serta kelompok-kelompok pengajian dan pesantren. Yang penting menutut Natsir pada akhir 80-an itu, tercipta situasi yang kondusip yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat atau kebebasan beribicara.
Sumber : milis dokument buya HMA