RANAH MINANG

Mounting created Bloggif Mounting created Bloggif

Jumat, 10 Februari 2012

SEJARAH MINANGKABAU DARI MASA KE MASA

Sebelum kita kaji sejarah Minangkabau, perlu kita ketahui:
Sejarah lama sebelum datangnya penjajah Belanda. Pada masa ini kita hanya mendapat keterangan dari mulut ke mulut. Kalau kita baca sekarang tentu akan menimbulkan banyak pertanyaan yang sulit untuk dijawab, karena sejarah pada periode ini disampaikan secara lisan (dari mulut ke mulut).



Semasa penjajahan (Belanda). Pada periode ini, kita akan lebih sulit lagi sebab kita akan bertanya pada penjajah yang penuh dengan taktik dan teknik politik kepenjajahannya. Salah tempuh kita bisa mendapat berbahaya.
Sesudah penjajahan. Pada masa ini, sejarah Minangkabau mendapat masalah lain lain. Ada akalanya bukti-bukti sejarah yang tidak menguntungkan penjajah, sudah ‘diselamatkannya’ apalagi barang-barang bukti baik benda atau pun berupa tulisan sudah disingkirkan, atau disimpannya dengan “baik-baik”.
Bahkan ada yang telah dibawa ke negaranya. Sebagian yang mengakibatkan kerugian bagi Belanda dimusnahkan dengan jalan membakarnya.

Nah, sekarang marilah kita mulai saja dari mana kita dapat memulainya. Saruaso misalnya, sebelum penjajahan Belanda, pernah menjadi kota pendidikan dan mempunyai Perguruan Tinggi yang pernah dikunjungi Musafir Fa Hier dan Tsu Nam selama tiga tahun mempelajari sastra Minangkabau. Dan kabarnya sampai mengumpulkan beribu pepatah dan petitih, pantun dan bidal.
Bukti atau keterangan tentang keadaan zaman purba, dan madia kala itu hanya dapat diambil dari prasasti inskripsi, monumen atau tugu peringatan dan bekas-bekas zaman lampau itu. Dari buku-buku dan surat-surat lama orang India, Cina, Arab, dan bangsa asing yang lain.
Keterangan-keterangan yang diperoleh dengan bahan-bahan tersebut jarang yang jelas, sebab ada kalanya salah menyalin, salah menerjemahkan. Kalau salah terjemah, tentu salah pula pengertiannya, sehingga keterangan-keterangan itu bertentangan sesamanya. Apalagi roh dan jiwa manusia waktu itu dipengaruhi kepercayaan pada yang gaib-gaib dalam bentuk tahyul dan yang sakti-sakti. Yang menjadi pedoman hidupnya hanyalah kemuliaan dan kebesaran nenek moyang.
Maka sangat sulit mencari data atau keterangan yang pas selain dari tulisan, keterangan (kata-katanya) kita harus mempunyai naluri atau ijitihat yang baik.

Asal-Usul Suku Minangkabau



Pisau sirauik bari bahulunyo
Diasah mako bamato
Lautan Sajo dahulunyo
Mangko banamo pulau paco

Lebih kurang 2000 tahun sebelum nabi Isa AS. Terjadilah perpindahan penduduk dari India Belakang secara besar-besaran.  Karena di serbu oleh bangsa lain. Karena waktu itu, masih sia bagak sia diateh, sia cadiak sia manjua. Rombongan ini terpencar-pencar di seluruh Indonesia. Sebagian terpencar ke Pilipina, Jepang, dan Malagasi (Malasia). Di mana tempat yang sesuai, mereka berdiam di sana. Ada pula mencari tempat yang sesuai dengan tanah genggaman yang dibawanya.
Pokoknya sesuai dengan kepercayaan dan peradaban mereka masing-masing. Sebagian kecil, dari rombongan ini ada yang sampai ke pinggir-pinggir Minangkabau.
Kalau Indonesia telah lama di kenal dunia luar, terbukti antara lain: dari syair gubahan pujangga Hindu Walubi dalam ramayana yang berbunyi.

Yatnavanto Yavadvipam Saptarayjo pacobhitam
Suvarna rupyakadvipam Suvarnakaramanditam
Yavatvipam atikramiya ciciro nama parvatah
Divam sprcati devadanavasevitah

Terjemahannya:
Selidikilah benar-benar kepulauan Indonesia
Yang dihiasi oleh tujuh kerajaan.
Nusa emas dan perak dengan banyak bertambang emas
Di ujung kepulauan Indonesia itu terletak gunung pesisir salju
Yang puncaknya disapu awan serta dikunjungi dewa Danawa.

Kerajaan yang tujuh itu ialah: Kediri, Tulang Bawang,  Melayu, Tarumanegara, kaling, Kutai, dan Kataha (Kedah sekarang)

Tatkala maso dahulu rajo batigo naik nobat
Nan sorang maharajo Alif- ka Banaruhum
Maharajo Depang pai ka Banur Cino
Maharajo dirajo ka Pulau Ameh Nangko

Maharajodirajo adalah menurut tambo Zuriat Sultan Iskandar Zulkarnain. Yang bertolak dari India Belakang. Memimpin satu rombongan: yang terdiri dar: Suridirajo Indo Jati, Cati Bilang Pandai, Harimau Campo, Kuciang Siam: Kambiang Hutan, Anjiang Mualim, menyusur pulau Lakadewa, Seylon, Srilangka, selat Malaka dan akhirnya mendarat di pulau Ameh Nangko. Lalu menepat ke gunung merapi. Karena kepercayaan waktu itu memuja hewan, jadi rombongan itu dinamai menurut nama hewan.
Bangsa Mesir waktu itu percaya pada Sphinx.
Bangsa India waktu itu percaya pada Lembu Nandi.
Bangsa Cina waktu itu percaya pada Barongsai.
Bangsa Indonesia waktu itu percaya pada Garuda.
Bangsa Minangkabau waktu itu percaya pada Kuda (Sembrani Gumarang), Kerbau (Benuang); ayam jantan (Kinantan); demikianlah kepercayaan waktu itu (belum ada agama).

Maharajo Dirajo (Sultan Iskandar Zulkarnain) seorang raja yang berhasrat menya-tukan barat dan timur dan dia waktu itu sangat masyhur. Dalam rombongannya:
Harimau Campo berarti rombongan dari daerah Campo.
Kucing Siam berarti rombangan dari daerah Kucing.
Kambing Hutan berarti rombongan dari Cambay sebelah utara Malabar.
Anjiang Mualim berarti rombongan dari India Selatan dan Persia.
Seperti dikiaskan dalam Tambo:

Dari mano titiak palito
Di baliak telong nan batali
Dari mano asa niniak kito
Dari ateh gunuang marapi.

Sejak zaman sebelum abad pertama, Minangkabau telah terkenal sampai ke Mesir sebagai suku bangsa ahli Syair yang bermutu tinggi. Yang dimaksud dengan syair ialah: Petatah, petitih, mamang dan petua sebagai alat pengobah sejarah serta perentang jalan adat.
Dahulunya Minangkabau berhubungan erat dengan pendidikan Rejang di kaki Gunung Kaba dan pendidikan Pasemah dengan gunung Dempo di jajar bukit barisan. Bahasa Pasemah adalah menurut dialeg Minang. Terus ke arah selatan terletak daerah sumando juga telah erat hubungan dengan Minangkabau.
Hubungan ini dapat dilihat dari bentuk alat-alat yang ada di darat dan di air sampai kepada tulisan rencong ragam hias, tenun dan lain-lain termasuk juga tari dan nyanyi.
Kalau sejarah India menyebut SVARNADVIPA yang maksudnya ialah pulau ameh, tempatnya maharajo dirajo dan rombongan menepat dulu, yaitu tanah Minangkabau (Daerah Emas).
Inilah yang menarik bangsa-bangsa sekeliling Minangkabau menuju ke Minangkabau.
Orang Hindu sampai akhir abad ke lima pernah menambang emas di Logas. Oleh penduduk di sana disebut Logeh tambang tujuh. Karena telah tujuh buah tambang yang di gali. Tambang ini terletak antara Rokan dan Siak. Antara Kampar dengan Siak, antara Kampar dengan Indragiri.
Di Pasir Pangiraian, orang menambang emas di Suliki terkenal dengan tambang emas Manggani menarik orang dari Jerman. Emas dari daerah pasaman menarik perhatian orang Portugis, jadi jelas dan terang yang menarik perhatian bangsa asing ke daerah Minangkabau yaitu: Syair dan barang emasnya.
Orang Portugis yang mendarat di air Bangis, untuk mencari jalan ke Pedalaman, disebut orang di Minang Sipatokah yang meninggalkan nama Ophir di Pasaman.
Barang emas juga terdapat di Salido, Talakih dan Sungai Alai, Dua Puluh Koto Mandailing. Pada zaman itu orang Minang mengalami zaman emas yang gemilang. Pantang bagi keluarga Minang tidak menaruh emas di rumahnya sehingga segalanya dulu itu dinilai dengan emas.
Karena penduduk belum mengenal; pitih garih, pitih sirah, kepeng dan duit, apalagi mengenal real (uang), daraham dan Dinar. Emas tidak sedikit pengaruhnya dalam budi manusia dan pergaulan hidup bermasyarakat. Seperti terbukti dalam pantun lamo:

Pisang ameh bao balaia
Pisang lidih di ateh peti
Hutang ameh dapek dibai
Hutang budi dibao mati
Apo dirandang di kuali
Padi sipuluik tambun tulang
Apo dipandang pado kami
Ameh indak bangso pun kurang

Suatu peribahasa Minang mengatakan:
Kok bilalang lai saikua,
Kok ameh lai samiang.
Pudiang ameh paga di lua
Pudiang perak paga di dalam
Langkok jo tabek parikanan
Sananlah puyu baradai ameh

Dulanglah sadulang lai
Pandulang ameh Malako
Ulanglah saulang lai
Pancapuik nan salah cako

Akibat banyaknya emas waktu itu maka, segalanya telah dipengaruhinya, termasuk pada gelar: Dt. Rajo Ameh, Dt. Batuduang Ameh, Angku Gunuang Ameh, Malin Tanameh, St. Rajo Ameh. Dek ameh sagalo kameh Dek padi sagalo manjadi.
Sesuai dengan kepercayaan yang dianut  sejak dari tanah Basa. Tempat yang mula-mula dicetak ialah Labuan di Tambago. Kemudian turun ka Guguak Ampang. Seperti diterangkan dalam Tambo:

Di bukik nan indak barangin
Di lurah nan indak baraia
Disinan mulo rantiang dipatah
Disinan mulo sumua dikali
Disinan sawah satampang banyiah.

Artinya, di sanalah Maharajo di Rajo membuat tempat tinggal dan merajakan dirinya dengan gelar: Seri. Di sanalah diadakan tata hidup baru dan di sanalah dasar adat disusun oleh Suri Dirajo, seorang anggota rombongan dan penasehat Seri Maharajo Dirajo.
Beliau inilah yang bergelar Paduko Barhalo yang tinggal dalam guo batu tempat Sirangkak nan badangkiang, tempat buayo hitam kuku (ada juga yang menyebut buayo putiah daguak, maksudnyo sirangkak dan buayo adolah urang yang parangainyo sia bagak sia diateh sia cadiak sia manjua, mambanggakan kabaranian dan cadiak buruaknyo).
Barulah mamulai mancancang malateh dan mambuek tampaik tingga. Mamulai hidup badampingan mambuat dusun dan kampuang, mambuek kampulan (himpunan). Baru dirancang paraturan dan larangan akhirnya di Bukik Siguntang Panyaringan dibuek adat: Adat Basandi Alua, Alua basandi Patuik .
Nagari yang sekarang bernama pariangan dulunya bernama Parahiyangan, di dalam tambo babunyi:
Kabukik baguliang aia, kalurah baanak sungai.
Untuak batas sawah ladang dan rimbo ado kata-kata khusus: Sawah bapamatang; ladang babintalak; rimbo baanjiluang (sejenis belukar, daunnya berwarna); babintalak (batas ladang, mulanya batu kemudian diganti dengan kayu yang disebut: Lantak Sapadan.
Pariangan terletak sebelah selatan gunung merapi menghadap ke arah matahari terbit. Tempatnya sanghiyang bersemayam, sesuai dengan agama waktu itu.
Rumah menghadap matahari terbit, menyatakan niniak yang mulo-mulo mencacak tuggak sudah lama juga bahwa manusia perlu akan cahaya matahari dan warna.  Sebab itu rumah di Minangkabau lazim menghadap ke matahari hidup. Sebagaimana tubuh kita berkehendak makan dan minum, demikian juga dia berkehendak akan cahaya dan warna. Andaikata satu diantaranya tidak ada maka hidup tidak mungkin dihidupi sebab hidup itu berhubungan dengan alam. Ada hidup ada kodrat, dan kodrat adalah telaga, kemauan pikiran dan tenaga.
Oleh karena warna pun ada di dalam agama di dalam adat dan seni maka dia dianggap sakti. Lambang hidup dan berani di Yunani diambil dari sinar merah matahari, warna putih pada matahari adalah warna suci dan luhur perbuatan dan nama baik. Kuda putih dipakai sebagai penarik kereta pahlawan kemenangan. Gajah putih sebagai kendaraan raja (di tanah Hindu) di India dan Siam.
Bundo Kanduang di Minangkabau menaruh si Kinantan, Ayam Putih Kesaktian. Kain putih sekabung adalah syarat penuntut ilmu semoga berkat suatu hadiah yang dihadiahkan disebut alamat putih hati. Tasabuik dalam Tambo:

Nak ilia ka Indrogiri singgah sabanta ka ladang panjang
Di mano mulo adat badiri di Pariangan Padang Panjang

Pariangan tersusun menurut bentuk:
1.      Lapis yang di dalam sekali: Koto
2.      Lapis yang ke dua: Parit
3.      Lapis yang ke tiga: Palindung
4.      Lapis yang ke empat: Pertahanan

Di sebelah Pariangan dibuek sebuah tempat yang baru bernama Padang Panjang, didiami oleh para keluarga yang masing-masing berasal dari satu keturunan. Tersebut dalam Tambo:
Taratak mulo dibuek
Sudah taratak manjadi dusun
Sudah dusun manjadi koto
Kudian bakampuang banagari.

Pariangan Padang Panjang adalah nagari yang pertama di Minangkabau. Dipimpin oleh Dt. Bandaharo Kayo (dukun). Padang Panjang dipimpin oleh Dt. Maharajo Basa. Kedua pemimpin ini memegang kekuasaan masing-masing. Dt. Bandaharu Kayo bertindak sebagai hakim dan sangketo.
Sedangkan  Dt. Maharajo Basa manyuruah babuek baik malarang babuek jahek. Alat untuk penyelenggarakan ini adalah Undang-Undang hukum, bertelaga pada adat sesuai dengan keadaan pada masa itu sebagai mana tersebut dalam Tambo:

Dirandang-randang mamasak
Dikirai-kirai di banda
Tatanduak ikan Gulama
Bagarundang pulo di hulunyo
Dibilang-bilang diatok
Dicurai-curai dipapa
Dibukak sitambo lamo
Tigo undang di dahulunyo
1. Simambang jatuah
2. Silamo-lamo
3. Sigamak-gamak

Simambang jatuah: maksudnya supayo segera diberi keputusan
Silamo-lamo: supayo diselidiki dan disiasati baiak-baiak.
Sigamak-gamak: seorang yang kilaf melakukan kesalahan, dihukum dengan bersyarat
Aluang Bunia: peti besar tempat menyimpan emas perak yang tidak dipakai sehari-hari.
Amban Puruak: yaitu peti besar tempat menyimpan pakaian yang tidak dipakai sehari-hari.

Orang tua-tua dari dahulu telah juga pakai simpanan dan mempunyai sisampiang: yaitu pakaian kerja lain, pakaian harian, pakaian harian, pakaian kerja, dan pakaian tahunan (dipakai sekali-sekali) pakaian simpanan.

Lumbuang:
Yaitu tempat menyimpan padi di lumbuang kelebihan untuk sehari-hari. Kelebihan. Aluang Bunian, amban puruak dan lumbuang dijaga dan dipelihara oleh datuak Bandaharo Kayo. Kampuang sawah dan ladang (nagari) keamanan tanggungan anak nagari. Di wajibkan bagi anak laki-laki menjaga kampuang dan nagari, untuk itu dibuek rumah jago (rundo)

Tagak bakampuang mamaga kampuang
Tagak banagari mamaga nagari




Kerajaan Minangkabau
Pada abat ke-14 dan 15, kerajaan Minangkabau meliputi antara kerajaan Palembang dan Sungai Siak. Terus ke pantai barat dan ke pantai timur yakni kerajaan Indero Puro, Indero Giri dan Pucuak Jambi Sembilan Lurah. Pucuak Kejayaan Kerajaan Minangkabau pada abad ke-13; sampai ke Medan sekarang. Derajat Raja Minangkabau ( Datu Maharajo) itu diselaraskan orang dengan Sultan Turki, dan Raja Cina.

Kedatangan seorang raja Melayu:
Datanglah ruso dari lauik
Salatuih badia babunyi
Mayemba ikan dalam lauik
Bakukuak ayam dalam dusun
Jawi malanguah di bajaknya
Kudo maringgih dibari kakang

Yang disebut ruso adalah raja Mauliwarmadewa, nama lengkapnya ialah. Seri Tri Buana Raja. Beristri dua: 1) Mambang Talena (Dewi kencana) mempunyai seorang putri. 2) Indo jati mempunyai seorang putri pula. Puteri dua orang beradik ini melawat ke Jawa
Inilah yang disebut darah petak dan dara jingga.
Dara Petak kawin dengan raja Karta Rajasa (Raja Majapahit). Dara Jingga pulang kembali dan mendirikan Balai-Balerong Sari di Malayupura. Orang Portugis menyebut Minangkabau dengan nama Monacoboos.
Minangkabau mendirikan kerajaan di kaki bukit Batu Patah dengan nama Pagaruyung sebagai suatu kerajaan yang sakti. Semenjak tahun 1160 sesudah Isa AS. Orang Minangkabau telah memulai merantau ke Tamasik (Singapura, Johor dan Malaka). Semenjak dulu itu orang Minangkabau, sudah benci juga terhadap orang kulit putih (Portugis dan Belanda).
Tetapi kedatangan raja Hindu ke Minangkabau, tidak mengadakan perubahan. Dan diterima penduduk dengan baik. Orang Hindu ini berasal dari India juga. Jadi sudah sebangsa juga dan penduduk Minangkabau hanya dulu dan kemudian datang keminangkabau ini. Dengan dekatnya orang Hindu dengan orang Minangkabau, kemudian adat dan agama Hindu pun tidak berbeda jauh. Maka sangat mudahlah menggabungkan adat Minangkabau dengan agama Hindu. Terjalinlah adat dan agama Hindu, yang berbunyi:

Adat basandi sarak, sarak basandi adat
Mulailah berkembang agama Hindu di Minangkabau. Kebudayaan Hindupun meresap masuk, tanpa ada halangan dan rintangan. Adat bersemayam dan bertitah dalam kerapatan tinggi mengenai soal yang pelik-pelik.
Tuan gadih Reno sumpu adalah keturunan raja ibadat dari pihak ibunda raja adat. Dia sebagai raja dari rantau Singingi. Tuan raja gadih mendapat bagian dari tambang-tambang mas di rantau Singingi yang disebut: Ameh Manah. Tuan Gadih di hormati menurut kebiasaan adat yang berlaku atas keturanan raja adat. Oleh karena beliau duduk di Pagaruyung, beliau tiada boleh campur tangan tentang urusan dalam rantau. Melainkan menyerahkan kepada ampek kulipah dalam tahun 1904 Tuan Gadih menerima bingkisan yang dipertuan Gunung Sahilan sebagai persembahan menandakan tali tiada putus menurut adat.
Adapun terhadap hubungan daerah Kuantan dengan Pagaruyung dilahirkan dengan pepatah adat: Tuangan dari Minangkabau, Bungka dari Kuantan. Syahdan sesudah Mualiwarmadewa menyusul kunjungan yang kedua, sebagaimana tersebut dalam Tambo.

Datanglah Anggang dari laut
Ditembak Datuak nan batigo
Badia sadatak tigo dantumnyo
Mambebek kambiang lari ka hutan
Manyalak anjiang lari ka kota
Bakotek ayam dalam talua
Jatuahlah talua anggang nantun
Ka rumah niniak Suri Dirajo
Di Pariangan Padang Panjang
Barisi kudo Samburani
Bapalano ameh kandirinyo

Adapun anggang tersebut adalah: Pan Dara yang datang ke Minangkabau memakai gelar: Adityawarman. Artinya: Cahaya matahari.
Ditembak Datuak nan Batigo, maksudnya bahwa Niniak Suri Dirajo dengan kemenakannya yang berdua, yaitu Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang, Musyawarah perihal kedatangan Adityawarman.
Badia Sadatak Tigo Dantumnyo, mengartikan: sungguah pun katigonyo tidak sepakat tentang cara memperlakukan jaman (tamu) agung ditolakkah atau diterima sebagai raja ataukah hanya selaku orang-orang besar saja, tetapi kebijaksanaan mamak dan kemenakan tetap satu.
Mambebek kambiang lari kahutan, maksudnya: Bahwa penduduk yang sebelum itu, tiada mengetahui ujung pangkalnya, bahwa pendidikan yang sebelum itu, tiada mengetahui ujung pangkal, menyingkir.
Manyalak anjiang lari Kakoto, ialah: barangsiapa yang berani datang berhimpun ke tangah Koto, oleh karena telah berhadapan dengan keadaan.
Bakotek ayam dalam talua, artinya: bahwa anak-anak yang mendengar berita dari orang ke orang, bertanya-tanya sesama mereka.
Jatuahlah talua anggang nantun, ka rumah niniak Suri Dirajo, artinya: bahwa Adityawarman diambiak jadi sumando dikawinkan dengan seorang kemenakan niniak Suridirajo.
Barisi Kudo Samburani, artinya: istri Adityawarma bersalin seorang putra. Istrinya itu bernama Putri Jamilan (Putri Jamilah).
Dan Bapalano kan dirinyo, artinya: menunjukkan bahwa anak raja itu merajakan dirinya sendirinya.
Adityawarman adalah anak dari Dara Jingga kemudian dia dikawinkan dengan anak Niniak Suridirajo yang bernama Putri Jainan kemudian diganti dengan Puti Jamilan.
Adityawarman telah menghadapi adat dan Undang-undang di Minangkabau yaitu menurut aturan Koto Piliang dan Bodi Caniago. Dalam tahun 1347 Aditywarman yang telah kita kenal dari riwayat Majapahit, kembali ke Tanah Airnya atau Melayu.  Dalam Arca Amoghapasha yang dikirim dari Singosari, Adityawarman memakai nama Udayadityawarman
PRATAPAPAPARAKRA MANAYANDRA MAULI WARMA DEWA dan memakai gelar maharajadiraja. Maksud nama ini, tiada raja diatas dia dan dia lepas dari Majapahit. Ia memindahkan pusat kerajaan ke Pagaruyung di Minangkabau yang dahulunya berkedudukan di sungai Lansek. Sebab-sebab pindahnya kerajaan ke Pagaruyung:
Untuk memisahkan diri dari Majapahit dan dia menjadi rajanya.
Untuk menjauhi Majapahit dan pangkalan Majapahit.

Dalam abat ke-14 Adityawarman mengubah susunan masyarakat: dari duduak samo randah tagak samo tinggi, dijadikan: batinggi barandah batingkek-tingkek. Seperti peradaban dalam kerajaan Majapahit yang berkasta dari Hindu yaitu:

1.      Brahmana: orang yang berilmu (kasta tertinggi)
2.      Ksatria: para raja dan para pahlawan
3.      Waisya: golongan saudagar dan para tukang
4.      Sudera: rakyat jelata, dianggap hina dan tidak mempunyai hak kemanusiaan.

Yang maksudnya: supaya mempercepat jalannya pemerintahan. Dia kurang senang dengan sifat demokratis (duduak samo randah tegak samo tinggi). Apalagi susunan masyarakat sejak dari kaum, suku, nagari, laras dan luhak. Bapamatang bak sawah; babintalak bak ladang, itu telah kuno menurut pahamnya, oleh karena itu harus dilengkapkan.
Dara Petak kawin dengan raja Majapahit, sedang Dara Jingga istrinya sendiri. Putra Dara Petak menjadi raja di Majapahit.
Dalam masa perubahan dari yang duduak samorandah, tagak samo tinggi; menjadi kasta-kasta (Hindu). Maka pemimpin-pemimpin Minangkabau; Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang, mencari jalan tengah pengimbangi perselisihan itu, yaitu bukan rakyat yang dibagi berkasta-kata, melainkan pangkat adat diberi bertingkat. Sehingga corak pemerintahan dalam suku, kampuang dan nagari tetap kerakyatan, baiyo batido juo. Pangkat penghulu diadakan:
Pengurus perkara-perkara dalam suku, kampung atau nagari (Manti)
Malin, mengurus hal kesosialan dan kepercayaan
Dubalang, penjaga keamanan dalam suku, kampuang, nagari yang diberi pangkat baru.

Yang diberi pangkat baru itu, dipilih dengan jalan mupakat di antara mereka dalam paruik-paruik, penghulu dan diberi pula gelar datuak. Sedang cara pelantikan diturut peraturan menurut adat yang berlaku, yaitu berelat memotong hewan. Dengan demikian terjadilah tingkatan pangkat:
Penghulu
Manti
Malin
Dubalang

Sekaligus dinamai Urang nan Ampek Jinih, jadi bukan kasta-kasta menurut Adityawarman itu.
Peraturan baru itu mulai dijalan di Tanah Data, kemudian Limo Puluah Koto. Sesudah itu di Kubung Tigo Baleh (Solok). Di Agam peraturan itu tidak di jalankan. Sebabnya tidak diketahui kepastiannya, mungkin karena mendapat perlawanan hebat, sesuai dengan sifat dan pembawaan penduduknya. Buminyo angek, aianyo karuah, ikannyo lia.
Setelah mufakat dengan urang tiga luhak, dapatlah Datuak Katumanggungan, Datuak Perpatiah Nan Sabatang, mengatasi kesulitan itu dengan mengambil jalan tengah yaitu:

1.            Adityawarman diberi kekuasaan hanya di rantau, sekeliling Minangkabau (rantau Pasisia Panjang, Rantau Kuantan, Rantau Batang Hari, Rantau Kampar, Rantau Pasaman, Rantau Rokan, di sana raja boleh mengatur pemerintahan bersama dan memungut bersama ameh manah: “Ubua-ubua gantuang kamudi, hak Daciang pengeluaran” yaitu bea cukai perahu-perahu yang keluar masuk di pangkalan dan muara, dan barang-barang yang masuk di Pangkalan dan Muara.

2.            Di dalam Luhak Nan Tigo Adityawarman bertindak hanya sebagai orang tengah       (raja perdamaian) atau lambang kesatuan saja. Di luar itu dia diberi kekuasaan untuk memberi ampunan kepada orang yang dibuang atau dihukum oleh nagari atau Luhak.

Jika seorang “Andam ka rumah” artinyo memohon ampun ka rumah rajo dan orang yang diberi ampun itu, ditugaskan sebagai pembantu raja dan bahkan sebagai  keamanan. Akhirnya orang Andam ini makin lama makin banyak, maka terdirilah negeri baru sekeliling istana kerajaan itu.

3.            Raja tidak boleh masuk orang bersuku atau memasukkan diri ke dalam ikatan dalam suku. Karena  sebagai urang tagak raja berdiri di atas segala suku.
4.            Raja tidak mempunyai hak ulayat atau tanah, sebab tanah adalah hak mutlak oleh suku nagara atau kesatuan Nagari.


Pada tahun 1375 menurut sejarah Adityawarman wafat (1379 menurut M.Yamin). Anaknya: Ananggawarman menggantikannya. Dalam Tambo berbunyi: bapalano anak kandirinyo (turun temurun). Makam Adityawarman di Limo Kaum dekat Batu Sangkar dengan nisan Batu Pamancungan.
Adapun kerajaan Pagaruyuang di kaki Bukit Patah itu pernah dihubungkan dengan ibu Suri Dirajo perempuan, yang semasa bertahta menegakkan “Balai Ruang Sari”, terkenal dengan julukan  “BUNDO KANDUANG” Raja alam Minangkabau. Kemudian digantikan oleh anak kandungnya yang bernama; Sutan Rumanduang. Dengan gelar yang Di Patuan Pandan Salasiah Banang Raiwani.
Dalam etos Cindua Mato disebut Dang Tuanku. Orang Tapanuli menyebut Raja Uti Patuan Dibata Diatas. Dengan arti Raja Gaib menjelma sebagai dewa dari langit. Di Aceh terkenal dengan gelar “Tuanku Kuning Dianjung”. Di Jawa terkenal dengan gelar Sang :Hyang Wenang Tungga Dewa”. Kemdian digantikan  oleh raja pilihan masyarakat, yaitu Bujang Cindua Mato dengan memakai gelar Tuanku Rajo Mudo. Kemudian digantikan lagi oleh Putera Dang Tuanku yang bernama Rajo Nan Sati.
Tuanku Rajo Mudo adik Bundo Kanduang menjadi raja di Ranah Sikalawi. Mitos Cindua Mato serupa dengan Hikayat mitologi Yunani. Sama juga dengan cerita Ramayana di India.
Adityawarman adalah Raja di Malayu Putra, kerajaan Hindu Jawa di hulu Sungai Batang Hari. Orang Minangkabau menggelari Adityawarman dengan gelar Sari Paduka Barhalo. Diambil jadi Sumando di Minangkabau, dikawinkan dengan Tuan Puteri Reno Mandi Candara Datuak Ketumanggungan dan Datuak Parpatih Nan Sabatang. Datuak Nan Banego-nego, serta kemenakan pula oleh Niniak Suri Dirajo.
Setelah Datuak Ketumanggungan meninggal, anaknya masih kecil. Karena tidak ada yang akan naik tahta. Kerajaan di bagi tiga:

1) Bandaharo di Sungai Tarab,
2) Indomo di Saruaso,
3) Tuan Kadi di Padang Gantiang,

Sesudah ini bergantian pimpinan yaitu: Sultan Muning Syah I, Sultan Muning Syah II, Sultan Muning Syah III. Setelah Sultan Muning Syah III, naik lagi anak  Sultan Muning Syah I yang bernama: Yang Di Patuan Sakti Basusun Ampek. Minangkabau kehilangan pimpinan. Setelah kematian yang Di Patuan Sultan Alam Bagagar Syah tanggal 21 Maret 1849  di Tanah Abang.
Dalam keadaan begini, datang Belanda, tak obahnya seperti datangnya Adityawarman, tanpa ada apa-apa langsung memerintah. Belanda juga begitu. Ditangkap Raja Yang Di Patuan Sultan Alam Bagagar Syah, dia langsung memerintah. Terakhir  Gadih  Reno Sumpu di persilahkan tinggal di Pagaruyung, sebagai tuan yang tidak berdaulat. Dia dihormati hanya karena dia anak dari Rajo Ibadat, lahir di Sumpu Kudus tahun 1816 dan meninggal 1912 di Pagaruyung.
Sepeninggal Tuan Gadih Reno Sumpu, Pagaruyung menjadi sepi. Sejak awan lah gelap Pelita lah padam lahirlah pantun duka:

Dahulu rabab nan batangkai
Kini Langgundi nan baselo
Dahulu adat nan bapakai
Kini rodi nan paguno

Agak ka hilia-hilialah mamapeh
Kaumpan ambiak nasi dingin
Katali ambiak tali landie
Kagurun indak dapek paneh
Kabukik indak dapek angin
Kalurah indak dapek aie

Rang Padang pai manggaleh
Mambao barang  sajunjuangan
Ikan gadang kok kanai papeh
Pantau jo bada bapantiangan


Pada tanggal 25 Nopember 1875 datang utusan Belanda ke Pagaruyung (Minangkabau) untuk menghapuskan Pengadilan Adat atas nama Pemerintah Hindia Belanda, dan menggantinya dengan Laudrat dan Belanda sebagai Presidennya (Raja/1914). Pangkat Laras pun dihapus  dan diganti dengan Distric Tshoofd. Belanda hendak melumpuhkan Adat dengan berbagai cara. Bukannya pemangku Adat yang salah, tetapi adat itu sendiri tidak dibiarkan tumbuh dan dipaksa tumbuh condong ke Barat dengan siasat penjajahan.
Dari masa ke masa politik penjajahan memaksakan siasatnya sampai seluruh anggota kerajaan Minangkabau dibagi-bagi dengan alasan kebijaksanaan pemerintahannya, seperti apa yang disebut Administrative Indeling. Sungguh pun demikian jantung Minangkabau tetap tinggal dan berdenyut pada tempatnya sedia kala sebagai teras. Dasar Filsafat masyarakat.
Kesulitan mencari data sejarah Minangkabau, selain tidak diselewengkan oleh penjajah, juga sulitnya karena tidak adanya abjat (tulisan) Minangkabau asli. Sehingga mencari dan mendata hanya dari tulisan yang telah diolah oleh tangan lain. Peninggalan sejarah yang ditemui di tulisan dengan bahasa yang bercampur, ada yang dengan tulisan Sansekerta ada yang dengan gambar, pengertian kiasan yang sulit dipahami. Contoh: Pengertian Minangkabau:
Dari penulis sejarah Drs. Zuber Usman, asal mula-mula nama Minangkabau itu adalah dari; Minang Mengadu Kerbau. Sedang patih Gajah Mada dari Majapahit datang ke Minangkabau beberapa abad sesudah Minangkabau Berdiri.
Menurut Prof. Dr. Purbacaraka (riwayat Indonesia I) Minangkabau berasal dari kata: Minanga Kabawa (Minanga Tamwan). Artinya: Pertemuan Dua Muara Sungai.
Dari Prof. Van der Tuuk asal Minangkabau dari Phinang Khabu yang artinya Tanah Asal.
dari Sultan Muhamad Zain; Minangkabau berasal dari “Binanga Kanvar” yang artinya Muara Kampar.
Dari Chan Ju Kua. Pada abad ke-13 pernah datang berkunjung ke Muara Kampar, ia menerangkan bahwa, di sana didapatinya banda yang satu-satunya paling ramai di pusat Sumatera.
dari Prof. Dr. N.J. Krom. Sebelum tahun 914 Masehi, Minangkabau sudah dikuasai oleh orang-orang dari India dengan Agama Hindu.
Pada Batu bersurat di Kedukan Bukit, tertera: Pada 7 paro terang bulan Yestha 605 Caka Yadi tahun 683 sesudah Isa, yang dipertuan Hijang Marlapas dari Minanga Tamwan datang bersuka cita membuat Kota Cri Wijaya dengan perjalanan suci, menyebabkan kemakmuran.
dari Prof. Dr. Muhammad Hussein Nainar- Guru Besar pada Universitas Madras, sebutan Minangkabau berasal dari : MENON KHABU, yang artinya Tanah Pangkal, tanah mulia atau Tanah Permai. Lama kelamaan berkembang: Alam Bakalebaran-Anak Buah Bakambangan- sampai terbentuk daerah: Seedaran Gunung Merapi. Salareh Batang Bangkaweh, disebut Minangkabau.

Keluhuran kebudayaan Minangkabau diakui oleh India, Mesir dan China (dalam Tambo dikiaskan: Sapiah balahan ampek jurai, oleh karena pada masa Sultan Iskandar Zulkanrnain telah ada hubungan Internasional antara tanah-tanah Hindu, Ruhum (Turki dan China). Dalam abad ke-5 sesudah Isa orang Hindu telah menambang emas di Logeh.
Rombongan yang berasal dari Tanah Basa, India Daratan, menepat sebahagian ke daerah Kampar Kanan dan Kampar Kiri iala di Muaro Takuih yang disebut juga Talago Udang tempat Mahkamah Agung. Di sini didirikan Stupa yaitu biara Budha Tantrajana abad ke VIII. Batu Basurek didapati di III Koto. Kecamatan XIII  Koto Kabupaten Kampar. Candi Muaro Takuih, terbuat dari batu bata. Kotanya berparit batu pula, sepanjang 6 jam perjalanan. Tingginya 3 Meter, tebalnya setengah Meter. Batu batanya didatangkan dari Pungkan 6 KM dari Muaro Takuih. Mendatangkan batu-batu itu dengan cara beranting 6 baris manusia, yang tinggal sekarang hanya stupa.
Dalam pengertian ber-Alam Minangkabau adalah daerah Kampar salah satu di antara Rantau nan Tujuah Jurai. Pintu Rajo adalah merupakan batas antara kerajaan Minangkabau dengan rantau Kampar. Jurai yang lain yaitu Rantau Kuantan, bernama Rantau Nan Kurang Aso 20 Kuantan adalah bahasa Sansekerta, nama sejenis dewa. Suatu Bandar yang bernama “Kuantan” juga ada pula dikerajaan Pahang Malaysia.
Rantau : XII Koto terletak pada Batang Sangir yaitu Muaro Labuah antara Lubuak Gadang dengan Sungai Dareh. Sungai Lansek bernamo Pusek Jalo pimpinan ikan tempat mengadakan segala kerapatan.
Rantau Yati nan Batigo: Rajo Siguntua adalah seorang diantara Cati nan Batigo: Rajo Sitiung, Rajo Koto Basa, Rajo Siguntua sendiri. Rantau Kuantan, Kerajaan Koto Basa (Jambi), rantau Tanjung Samalidu, Ranah Sikalawi (Rengat Sekarang).
Rantau Tiku Pariaman: disebut dengan kata Adat Riak Nan Badabu. Pusako harta turun kepada kemenakan, pusako gelar kepada anak.
Negeri Sembilan: Syeh Ahmad adalah seorang perintis jalan bagi anak Minangkabau ke rantau ini, Sumando-manyumando dan bersawah ladang di sana dan membuka nagari baru. Berkorang berkampung di sana, negeri yang dibangun itu ada 9 negeri, inilah asal mula nama nagari Sembilan. Syeh Ahmad meninggal di sini di Desa Sungai Udang tahun 1467. Negeri yang sembilan itu ialah 1) Sungai Ujong, 2) Yelebu 3) Jchol, 4) Rembau, 5) Segamet, 6) Naning, 7)Kelang, 8) Pasir Besar, 9) Jelai.
Bila mana tiba saat menunaikan Adat Lamo Pusako Usang:

Ramo-ramo sikumbang Janti
Katik endah pulang bakudo
Patah tumbuah hilang baganti
Pusako alam baitu juo.

Adat masyarakat negeri sembilan ialah adat Perpatih sedang pemerintah yang bergonjong naiak batang turun adalah menurut Ketumanggungan.
Dasar Kekeluargaan: Limpapeh Rumah nan Gadang. Adalah lambang keturunan anak basuku ka suku ibu. Suku adalah tali darah orang yang “Saparuik”. Sebab itu orang sapasukuan, tidak boleh pulang memulangi, artinya dilarang kawin sapasukuan.
Ibu sebagai “Ambau Puruak” menguasai harta laki yang disebut tunganai memakai pusaka gelar. Perhubungan berkaum keluarga antara adik dengan kakak, mamak dengan kemenakan yang saparuik, yang sejurai sampai kepada yang bersuku, ialah orang yang semalu sesopan, sehino semalu, diikek dengan peribahasa adat:

Suku nan indak buliah diasak, malu nan indak buliah diagiah.

Cancang latiah urang tuo-tuo dinamoi harato pusako (yakni pusako tuo), pusako tinggi. Pusako Tinggi; tetap dalam tiap-tiap kaum menurut aliran ibu. Laki-laki hanya mendapat (memakai) pusako tinggi yang dipusakoi oleh istrinya. Di dalam persukuannya dia hanya sebagai penjaga/petanggung jawab menjaga keselamatan, batas pasipadan harta pencaharian bapa/ibu disebut harta pusaka rendah. Pembagian sesuai dengan pembagian yang diatur oleh Qur’an dan hadist (Sistem Parait):

Kaluak paku asam balimbiang
Tampuruang lenggang lenggangkan
Bao manurun ka saruaso
Tanam siriah jo ureknyo

Anak dipangku kamanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Tenggang nagari jan binaso
Tenggang sarato jo ubeknyo

Pepatah adat:

Kamanakan manyambah lahia
Mamak manyambah batin
Mamak badagiang taba
Kamanakan bapisau tajam
Tagang bajelo-jelo
Kandua badantiang-dantiang
Di lauik ikan kanai pukek
Di rimbo punai manangguangkan

Suku: Terdiri satu atau lebih payung. Payung pun terdiri dari satu atau lebih paruik. Kepala dari satu payung itu disebut Penghulu. Suku yang mula-mula di Minangkabau ialah: Melayu atas kesepakatan: Dt. Perpatiah Nan Sabatang jo Suri Dirajo jo Dt. Katumang-guangan jo Sari Maharajo Nan Banego Nego. Suku Malayu tadi dipacah menjadi:

Suku Koto dan Piliang dipimpin oleh Dt. Katumangguangan
Bodi dan Caniago dipimpin oleh Dt. Perpatiah Nan Sabatang.


Jumlah suku nan empat ini menjadi syarat untuk berdirinya Nagari. Seperti pepatah berikut ini:
Anggari bakarek kuku
Dikarek jo pisau sirauik
Kaparauik batuang tuo
Tuonyo elok kalantai
Nagari baka ampek suku
Suku nan babuah paruik
Kampuang nan batuo
Rumah nan batungganai


Setiap berdiri Nagari tidak boleh kurang dari empat suku, tetapi boleh lebih. Asal yang masuk dalam satu satu suku itu orang yang seasal atau seketurunan neneknya yang membuat nagari mula-mula dulu.
Orang yang sama sama sebuah suku atau yang lazim disebut sapasukuan, tidak boleh cerai tanggal, melainkan mesti tetap sasusun bak siriah, sarumpun bak sarai, saharato sabando, sapadam sapakuburan, sahino samalu, malu surang malu basamo.
Kebaikan bersuku ke ibu: berapa kali perkawinan suku Koto akan teta Koto, kalau berketurunan kepada bapak, maka suku itu bisa berubah-ubah. Kalau anaknya perempuan, kawin dengan suku Jambak, anaknyo sudah pasti basuku Jambak. Anak yang perempuan kawin lagi dengan Caniago, anaknya akan menjadi suku Caniago dsb.
Akan tetapi, bagi orang Minangkabau yang bersuku kepada ibu, kampung dan suku selamanya tidak beralih namanya dan ditunggui oleh kaum yang perempuan turun temurun sejak mulai menegakkan sandi tidak berobah.



Harta Serikat (Pusako Tinggi)
Ialah harta pusaka turun-temurun dari nenek moyang hasilnya boleh dipergunakan menurut semestinya, tetapi harta pusaka itu tidak boleh dipindah tangankan. Misalnya: Dijual tidak dimakan beli, digadai tidak dimakan sando, apalagi diibahkan, tidak hak milik kita kok nak memberikan.
Siapa yang salah pakai mengenai pusaka tinggi ini hidupnya akan tambah melarat. Kesesangsaraannya akan bertambah-tambah dari sebelum dia menjual, menggadai, ataupun mengibah. Memang ada di dalam buku tambo adat. Kalau terdapat:
1.              Gadih gadang indak basuami, ada orang yang berpaham boleh menjual atau menggadai. Saat sekarang tidak mungkin lagi. Kalaulah ada seorang perempuan menjual atau menggadai sawah karena akan bersuami, agaknya pasti malu besar, tidak bertanggung jawab beranak, ataupun anak laki-laki yang akan menikahinya pasti lari.
2.              Maik tabujua di tangah rumah, kalau adalah mayat masa sekarang tidak dikuburkan/dikebumikan karena tidak ada kain kapan atau seperangkatnya. Berarti dia tidak ada ayah (bako). Mungkin juga dia meninggal tidak dalam lingkungan Islam. Mungkin juga selama ia hidup tidak pandai berkorong kampung atau bertetangga.
3.              Rumah gadang ketirisan, sekarang tidak ada lagi yang bernama Rumah Gadang. Yang dimaksudkan rumah gadang, diam di sana sepayung. Dulu ada rumah yang 12 ruang. Tinggal di sana, dari awalnya saparuik-sampai sapayuang. Kalau rumah yang seperti ini yang rusak, tidak ada yang dapat membantu dalam sepayung itu. Sawah belum lagi dibagi atau diumpuakkan. Tidak ada tempat berlenggang tidak diperbaiki terganggu sepayung. Kalau sudah begini apaboleh buat.
4.              Batagak Pangulu. Kalau hanya untuk menjual  dan menggadai pusaka tinggi tak usah taruahkan pangulu dahulu. Sebenarnya untuk mendirikan sebuah pengulu, harus ada anggota (anak buah)-“Paruik” dan “payuang” yang kokoh dan kuat. Mau berbuat dan mau bertanggung jawab. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. tanggung mempertanggungjawabkan/mempertahankan berdirinya adat Minang-kabau. Beriur mau mengisi, berjalan mau mengiring.


Harta Pusaka
Setelah sekalian anggota kaum yang mula-mula sekali membuat kumpulan harta serikat itu meninggal dunia. Sekalian harta itu turun kepada para anggota kaum yang tinggal dan sejak itu bernamalah harta itu Harta Pusaka oleh sekalian ahli waris yang menjawatnya menurut aliran tali darah suku ibunya sampai ke bawah. Itulah asal mulanya bernama Harta Pusaka menurut adat Minangkabau.
Karena pusaka ini hanya didapat dengan cara turun temurun, maka tak seorang pun yang boleh mengatakan hak milik saya. Karena bukan hak milik, itu pulalah sebabnya harta ini tak boleh dijual, digadai, ataupun diibahkan. Tugas kita selaku anggota adat: memelihara dan meneruskan Humanah tersebut. Yang boleh diambil oleh seorang penerima Humanah itu ialah hasilnya bila berupa yang berhasil (sawah, ladang). Bila tidak merupakan yang memberikan hasil, kita hanya bertugas memelihara dan meneruskan turunannya (keris, pakaian adat, dan sejenisnya).
Gunanya: Harta Pusaka amat besar oaedahnya bagi keselamatan nagari dan isi nagari: yaitu menyelamatkan kaum lemah (perempuan, anak). Harta ini adalah harta tambahan bagi kaum, selain ini ada lagi harta pencarian ibu/bapa/anak dalam keluarga yang disebut pusaka rendah. Jadi, orang Minangkabau mempunyai dua harta: 1) Pusaka Tinggi, 2) Pusaka Rendah.
Karena adanya Harta Pusaka tinggi ini, pertalian anggota kaum adat menjadi kuat dan bertahan lama sampai kepada anak cucu dan piuik. Kalau dibilang lamanya bisa seratus atau beribu tahun. Harta Pusaka Tinggi ini adalah jaminan bagi peri penghidupan tiap-tiap kaum seluruh Minangkabau.



Pergaulan Hidup
Prinsip pergaulan hidup adalah Budi. Budi mengandung tinga sifat: Rasa, Karsa, Cipta.
Rasa: yaitu hasrat dari dalam yang menimbulkan keindahan.
Karsa: yaitu hasrat dari dalam yang menimbulkan keingintahuan.
Cipta: yaitu hasrat dari dalam yang menimbulkan keselamatan (susila).

Mamang urang tuo:
Nan kuriak kundi
Nan merah sago
Nan baiak budi
Nan indah baso

Pulau pandan jauah di tangah
Di baliak pulau angsi duo
Hancua badan dikanduang tanah
Budi baiak dikana juo

Urang tuo (adat) memberikan pendidikan kepada manusia alam Minangkabau. Secara tidak langsung, karena orang Minangkabau dibesarkan dengan kias.

Tahu dibayang kato sampai, alun bakilek lah bakalam, tahu di angin nan basaru, tahu diombak nan badabua, tahu di karang nan balungguak.

Rumah gadang indak basandi
Dengan tanah tunggak basatu
Lah lapuak barulah tahu
Jikok awak indak babudi
Ibarat bungo kambang sipatu
Rono merah indah babau

Talangkang carano kaco
Badarai carano kendi
Padi nan samo rang gantangkan
Bagagang karano baso
Bacarai karano budi
Itulah nan samo rang pantangkan

Tuan buai urang Yahudi
Jadi utusan tanah Makah
Jikok pandai bamain budi
Dalam aia badan tak basah


Siasat Balayang-layang
Kalau layang-layang putus hendaklah pandai menyambungkannya; memabuhua jan membuka, mauleh jan mangasan. Dalam pergaulan sehari-hari, jangan kedapatan budi, sebab:

Ambiak aua ka atok tungku
Ureknyo sarang sipasan
Cang gundi di sauah talang
Sariak indak babungo lai
Mambuhua jikok membuka
Mauleh jiko mangasan
Budi jikok dapek diurang
Cadiak indak paguno lai


Dasar hidup orang Minangkabau ialah: Kekeluargaan. Dimulai dari rumah tangga, bersuku ke suku, bermamak ke tungganai.
Pendirian orang Minangkabau ialah:
Duduak di lapiak salai
Tagak ditanah nan sabingkah

Pedoman hidup orang Minangkabau ialah: Balai nan saruang



Nagari
Taratak mulo dibuek
Sudah taratak manjadi dusun
Sudah dusun manjadi koto
Sudah koto manjadi nagari

Orang Minangkabau waktu mudanya ia berkehendak akan bantuan tenaga, karena kekuatan orang seorang tidak sanggup melakukan sesuatu pekerjaan yang berat, yang diluar kemampuannya. Dengan demikian bertolong-tolongan adalah menjadi dasar pergaulan hidup sesamanya.
Timbulah peribahasa: Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang. Dengan mempersama-samakan sesuatu yang berat untuk keperluan bersama yang berarti juga untuk kepentingan sendiri-sendiri orang banyak berkumpul dan mulai menetap bersama-sama pada suatu tempat, lalu membuat kampuang, manaruko sawah-ladang dan tabek ikan. Terus membuat pandam pakuburan. Hidup bersama berkampung.

Singok nan bagisia
Halaman nan salalu
Basasok bajarami
Batunggua panabangan
Bapandam pakuburan

Hukum Barat : Pengetahuan hukum antara Kepastian hukum dengan keadilan hukum.
Hukum Adat: Memilih keadilan hukum, sebagai pernyataan kebudayaan Minangkabau asli, jiwa yang mengandung: patuik dan raso.

Pemerintahan:
Jiko urang kaciak digadangkan
Katonyo lalu siak lapak
Indak menenggang hati urang
Lupolah inyo ditindaknyo
Jadi binasolah nagari ko

Jiko urang bingung digadangkan
Indak tahu dicupak gantang
Kurang adat jo limbago
Jadi binasolah nagariko

Jiko urang miskin digadangkan
Labiah mamandang ameh jo perak
Adaik limbago dijuanyo

Keselarasan: Koto piliang dengan Dt. Katumangguangan: autokratis
Keselarasan: Budi Caniago: Dt. Perpatiah Nan Sabatang: Demokratis
Batas Koto Piliang:                     Hinggo Gunuang Marapi hilia
Hinggo lauik nan sadidih
Hinggo Tanjuang Gadiang mudiak
Batas Budi Caniago:       Hinggo Muaro mudiak
Hinggo Padang Tarok hilia


Kabesaran Koto Piliang
Langgam nan Tujuah
Basa Ampek Balai

Langgam Nan Tujuah:
Singkarak Sandiang Baka – Camin taruih Koto Piliang
Sulik Aia Tanjung Balik – Cumati Koto Piliang
Padang Gantiang – Suluah Bendang Koto Piliang
Saruaso Payuang – Panji Koto Piliang
Labuatan Sungai Jambu – Pasak Kungkuang Koto Piliang
Batipuah – Harimau Campo Koto Piliang
Sinawang – Bukik Kanduang Pardamaian Koto Piliang. Tempat Balai Gadang, perdamaian Nan 7 Langgam

Basa Ampek Balai:
Bandaharo di Sungai Tarab – Pamuncak (KP) Menteri Besar
Indomo di Suruaso – Payuang Panji (KP) Menteri Kehakiman dan dalam Nagari
Kali di Padang Gantiang Suluah Bendang (KP) Menteri Pengajaran dan Agama
Makudum di Sumaniak Aluang Bunian (KP) Menteri Keuangan dan Luar Negeri
Sebuah mamang menyebut
Ditatah sarat bungo sundai
Batikam bahulu gadiang
Carano batirai Sato
Basulam basuji maniak
Rendo ameh bari baturab

Kabasaran Basa Ampek Balai
Tuan Kali di Padang Gantiang
Tuan Indomo di Saruaso
Tuan Mangkudum di Sumaniak
Bandaharo di Sungai Tarab

Adopun Tuan Gadang di Batipuah adalah panglima Seluruh Minangkabau. Dengan susunan seperti di atas maka Kelarasan Koto Piliang disebut Lareh Nan Panjang.

Kebesaran Budi Caniago
Kesaran Bodi Caniago ialah:
Tanjuang Nan Ampek, yaitu
Tanjuang Alam
Tanjuang Sungayang
Tanjuang Barulak
Tanjuang Bingkuang
Lubuak Nan Tigo
Lubuak Sikarak (sebelah Solok)
Lubuak Simanang (sebelah Talawi)
Lubuak Sipunai (sebelah Koto Tujuah Sumpu Kuduih)

Susunan ini dinamakan Lareh nan Bunta
Budi Caniago barajo kamupakaik Tuah Sakato.

Mamang adat:
Babelok jalan kaparak
Taruihkan ka Kubang Putiah
Lalu sakali ka Pulau Akaik
Elok Adat di Tigo Luhak
Haluan Datuak Parpatiah
Urang barajo ka Mupakaik

Yang dimaksud dengan Tanjung ialah kehakiman yang memegang: Katian Ganok, bungka nan piawai Taraju nan indak papaliangan. Dikiaskan, bahwa dari Tanjung seseorang mudah melihat berkeliling Maninjau yang lakuang atau manyigi yang lurah, melakukan sudi dan siasat dalam memeriksa suatu perkara menurut adat.

Yang dimaksud dengan Lubuak ialah, tempat menerima segala perkara, sejenis kejaksaan. Sebagaimana lubuak bundar bangunannya, maka adat menurut paham Bodi Caniago adalah adat balingka, dengan demikian disebut laras ini: Lareh Bunta.


Susunan Pangulu
Susunan Pangulu, pada Lareh nan Panjang: Bajanjang Naiak batanggo turun. Artinyo bertingkat menurut martabat dan tugas masing-masing. Sebab itu Pangulu dalam Pelarasan ini ada yang disebut Pucuak Bulek ado yang urek tunggang. Susunan Pangulu dalam Lareh nan Bunta adalah: Duduak samo  randah, tagak samo tinggi atau duduak saamparan, tagak sapamareh. Pucuak tagerai: Samo martabatnyo dan samo haknyo serta tugas kewajibannya.

Pusat (tempat rapat) Lareh nan Panjang di Simauang.
Pusat (tempat rapat) Lareh nan Bunta di Limo Kaum (Ulak Tanjung Bingkuang).
Tempat rapat gabungan dipusatkan di Pariangan Padang Panjang, sebab itu disebut Tampuak Tangkai Alam. Tempat ini disebut juga:

Pisang sikalek kalek Lutan
Pisang tambatu nan bagatah
Koto Piliang inyo bukan
Budi Caniago inyo antah

Mengenai pemerintahan beraja dipertahankan sejak dari Sri Maharaja Di Raja melalui keluarga Sri Tri Buana Raja Mauliwarman dari Sri Cailandra, Adityawarman sampai kepada keturunan Daulat yang di Patuan Muning Syah sebagai tersebut dalam Tambo: Rajo badiri sendirinyo Nan Manjunjuang. Dang Mangkuto-Mawarisi kaca kesaktian nan banamo Kamat Sakarek di Banuruhum, Sakarek di Bandar Cino, Sakarek di Pulau Ameh Nangko. Jiko batamu kamudian bilangan dunia sudah sampai.
Kemudian….. Sadanglah Rajo parampuan bukanlah rajo Dang mambali bukanlah rajo dang Mamintak-Rajo badiri kandirinyo-samo tajadi jo alamko. Manaruah karih Kesaktian nan banamo Si Mandam Giri-Jajak ditikam mati juo-Nan manaruah kain sang seto-warnanya Sipurin-purin digantiak urang baparuah-ditanun urang bainsang-tanun bagarak kandirinyo.
Perbedaan sistem pemerintahan Bodi Caniago yang ditegakkan sejak ujung abat ke-13 oleh Dt. Perpatiah Nan Sabatang dengan sistem pemerintahan Koto Piliang yang dasarnya dipertahankan oleh Dt. Katumangguangan menimbulkan dinamik dala pergaulan hidup.
Kita jumpai  dinamik dalam toleransi, tolak angsur yang lahir sebagai imbangan dari perbedaan kedua corak pemerintahan dan dinamik itu tertera dalam Cupak Nan Duo, Kato Nan Ampek.
Di mano Dt. Katumangguangan telah membuat “Cupak Usali” di sana Dt. Perpatiah Nan Sabatang mengadakan Cupak Buatan, di mano Dt. Katumangguangan telah membuat “Kato Pusako” di sana Dt. Perpatiah Nan Sabatang mengadakan  “Kato Mupakaik”.
Ini berarti, bahwa yang mulanya telah bulat oleh Dt. Katumangguangan, yang bersifat “Patricis-autocratis” (diktator) limpahan katanya berarti undang-undang; menanam di batu tumbuah (tiap-tiap perintah dari atas tidak boleh dibantah), akhirnya tembus juga oleh Dt. Parpatiah Nan Sabatang. Inilah yang dilambangkan dengan Tugu Batu Batikam yang seperti telah disebut lebih dahulu sejak ujung abat ke-13 sampai sekarang terpelihara dengan baik di Limo Kaum Duo Baleh Koto di dalam. Demikian kira-kira wajah sistem itu. Untuk  kedua sistem ini menurut filsafat adat Minangkabau “ nan hampo tabang, nan boneh tingga” Kediktaroran pasti akan tumbang.

Panakiak pisau sirauik
Ambiak galah batang lintabuang
Salodang ambiak ka nyiru
Satitiak jadikan lauik
Sakapa jadikan gunuang
Alam takambang jadi guru

Sebab itu selama alam takambang masyarakat adat akan tetap ada dan selama masyarakat ini ada demokrasi rakyat pun akan tetap ada. Inilah demokrasi Minangkabau yang wajahnya membayang dalam susunan masyarakat, penjelmaan daripada adat dan hukumnya, yang sejak semula jadi terpaku di Tiang Panjang, basauah kalauik nan sadidih samo naiak dengan asap, samo turun dengan embun.
Adapun dasar demokrasi sosial dikiaskan dalam mamang:

Kaluak paku asam balimbiang
Tampuruang lenggang lenggangkan
Bao manurun ka saruaso
Tanam siriah jo ureknyo

Anak dipangku kamanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Tenggang nagari jan binaso
Tenggang sarato jo ubeknyo

Gadang jan malendo
Cadiak jan manianyo
Gapuak jan mambuang lamak
Cadiak jan mambuang kawan

Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) bulan Nopember 1957 di Jakarta , Dr. Muhammad Hatta mensitir ucapan Brune Dietrich, ahli geografi ekonomi yang mengatakan: “Alam hanya memberi kesempatan untuk berekonomi, tetapi manusialah yang menimbulkan ekonomi itu.

Penghulu di Minangkabau memimpin harus sesuai perkataan dengan perbuatannya. Bukan hanya pakaian yang diutamakan: Anak-anak pun bisa dipakaiani dan gagah seperti Mamang:
Patanglah lindok matohari
Kaluang pulang bairiang-iriang
Hilang picayo anak nagari
Kato jo kaji indak sairiang

Alangkah indahnya rekaan orang tua dahulu yang menggambarkan. Sawah ladang-banda buatan berjalinkan irama Minang:
Nan bancah ditanam baniah
Nan kareh dibuek ladang
Kok sawah bapiriang-piriang
Ladang alah babidang-bidang
Kok banda baliku-liku
Sawah batumpak di nan data
Ladang babidang di nan lereng
Banda baliku turuik bukik
Cancang lateh niniak moyang
Tambilang bari urang tuo
Sawahlah sudah jo pamatang
Ladang lah sudah jo bintalak

Sawah ladang sebagai lambang kehidupan masyarakat, kalau sawah ladang berhasil baik, tentu rakyat senang sentosa, pun pembangunan akan berkembang biak pula. Sebagai gubahan yang indah:

Kok indak dek hasil sawah jo ladang, kampuang jo apo ditunggui
Kok indak dek hasil sawah jo ladang, balai jo apo dipaliharo
Kok indak dek hasil sawah jo ladang, musajik jo apo diramikan
Kok indak dek hasil sawah jo ladang, limbago jo apo kadituang
Kok indak dek hasil sawah jo ladang, parik  jo apo kadisisik

Sebagai didikan kepada anak cucu:
Bakato di bawah-bawah, manyauak di hilia-hilia
Tapi kok pamatang di aliah urang
Kok bintalak dianjak urang
Bosongkan dado ang buyuang
Jan takuik tanah tasirah
Aso hilang duo tabilang

Didikan yang diberikan, yaitu rendah hati tak boleh sombong. Tetapi harus berani mempertahankan kebenaran. Walau nyawa tantangannya. Hilang dalam mempertahankan kebenaran itulah pemuda ksatria.
Selain hasil sawah ladang juga dianjurkan keterampilan tangan:

Datuak Parpatiah Nan Sabatang maolo malukih cupak jo gantang
Gunjai diolah tanum dirantang kapanulak buatan urang
Bapantang kanyang dek bareh babali
Bapantang rancak dek baju basalang
Ditanamkan politik sauak aia mandikan diri
Padusi diaja batanam jo marendo
Laki-laki diaja manggaleh jo batukang
Anak kamanakan diaja dengan berbudi halus
Dengan ereng jo gendeng, balulua bakiasan
Kabau tahan palu manusia tahan kieh.

Lapeh nan dari sungai Tanang
Nak manjalang Tabek Sarojo
Kapeh kok indak jadi banang
Turak mananti lapuak sajo

Suatu pedoman yang dipegang teguh oleh masyarakat yaitu: Runciang karih dek kilek tajak. Tajak yang selalu berkilat menandakan selalu dipergunakan. Karenanya, kalau tajak tetap dipakai, berarti masyarakat makmur, masyarakat makmur hukum jalan (keris tetap runcing).
Anak anjiang lapeh bakungkuang
Anak rundo bajalan surang
Aia janiah ikannyo jinak
Gadang buayo mamujikan

Maksudnya, urang jaek dikungkuang dengan peraturan adat, anak rundo tak usah ditemani. Karena keamanan terjamin, harta benda tidak usah dijaga betul.
Untuk kesehatan, masyarakat dibutuhkan sehat. Cukup minum makananya dan olah raga serta keseniannya diperlukan pula. Perlu ada gelanggang tempat olah raga dan kesenian.

Rang cak tambak pukat akat
Urang manangguak ikan rayo
Lamak kacak badan lah sehat
Anak buah basuko rio



Pangulu
Pangulu itu ditinggikan sarantiang, di dahulukan salangkah. Tidak duo rantiang, tidak pulo duo langkah, gunonyo supayo yang memimpin, tidak jauh dari yang dipimpin. Panggulu harus tahu sakik sanang kamanakan, karano pangululah tampek balinduang katiko paneh. Tampek bataduah katiko hujan. Pai tampek batanyo pulang tampek babarito. Pangulu mempunyai marwah wibawa, budi, rasa tangguang jawab, dan tahu mengikat diri. Selain bijak sana Pangulu harus arif:

Katupek bao balaia
Bao kasampan kalimonyo
Takilek ikan dalam aia
Lah tantu jantan batinyonyo

Pucuak sijawi-jawi luteh
Pucuak sijawi-jawi mudo
Di langik inyo malinteh
Kami di baliak itu pulo
Tugas dan sifat pangulu adalah: Nan tagak dipintu utang, tibo dahulu pulang kamudian, janji arek buatan taguah, adat gunuang timbunan kabuik, adaik bukik timbunan angin, adat taluak timbunan kapa, adaik lurah timbunan aia.

Alah bauriah bak sipasin
Kok bakiak alah bajajak
Muluik pangulu naknya masin
Pandai bagaua jo nan banyak

Samun Saka tagak di bateh
Umbuak umbi budi marangkak
Kiri-kanan riak maampeh
Datanglah tangah pangulu tagak

Gantiang nan dari  ampek angkek
Dibao nak urang Mandiangin
Di salang ado kagunonyo
Kok datang gunjiang jo upek
Sangko sitawa jo sindingin
Baitu pangulu sabananyo


Balai
Balai nan saruang, lapiak nan saalai. Manunjuakkan sipat demokrasi dan pangulu duduak sahamparan.

Sidalu di lereng tabiang
Di bawah  batang kalayua
Pangulu tagak bapaliang
Disiko nagari mangkonyo kacau.


Sako
Sako artinya yang sejak ia ada turun temurun  dari aliran sebelah ibu. Tiang Sako pada rumah adat adalah tiang yang terpenting diantara segala tiang; dalam peraturan sehari-hari disebut orang Minangkabau: “Tonggak Macu” atau tiang macu. Di Malaysia disebut penduduk: Tiang Sari.
Sako adalah asal mula kejadian yang diasak layua dibubuik mati, ia kekal pada tempat sedia kala, oleh karena suku pun tidak boleh dianjak, maka kata-kata Suku Sako yang pada hakekatnya, berasal dari tempat yang satu; disenyawakan dan termaktub sebagai kata adat. Maka disebutlah orang Minangkabau basuku-basako, artinya mempunyai suku dan juga mempunyai sako. Jika hanya bersuku dan tidak bersako. Belumlah orang Minangkabau asli namanya

Pusako
Pusako artinya ialah hasil tulang yang delapan kerat dan kukuik kakeh: Niniak yang mulo-mulo mancancang malateh, manambang manaruko oleh karena pusako adalah harta asal yang diwarisi menjadi harta kaum bagi yang berhak milik, maka tidak boleh dijual, malah tidak boleh disandokan. Larangan menurut adat berbunyi: Tajua indak dimakan bali, tasando indak dimakan gadai.
Pusako sebagai harta asli adalah lambang ikatan kaum yang bertali darah dan supaya tali jangan putuih, kait-kait jangan sekah, maka ia menjadi harta persumpahan, sehingga barang siapa yang melanggarnya: Rambuiknyo ruruik, matonyo buto dan akan merana sampai keturunannya.
Inilah yang disebut kata-kata sumpah: kaateh indak bapucuak, kabawah indak baurek, di tangah-tangah digiriak kumbang. Artinyo: bahwa nenek moyang dari pada orang yang melanggar yang telah lama mendahului, tidak akan selamat dalam kubur, bahwa keturunannya yang akan datang tidak akan selamat lahirnya dan bahwa ia dengan sekeluarganya yang hidup kinipun akan merana. Hidup segan mati tak mau. Oleh karena hikmat: “Sako” demikian dalamnya , maka pernah dihirmati dengan Prafik Honorefic: “Sang” sehingga menjadilah ia nama yang disaktikan  “ Sang Sako”.
Di Malaysia seperti  di Nagari Sembilan disebut Pesaka. Misalnya “Terbit Pesaka” kepada “Saka”. Wilkinson menertejemahkannya dengan Inheritance comes through The Mother.

Pembagian Pusako
Adapun menurut adat terbagi atas:
Pusako kabasaran, umpamo: Gelar
Pusako Harato, yakni: mengenai hutan tanah yang bagi orang Minangkabau adalah jaminan hidup.

HUTAN:
Yang dikatakan hutan ialah, sekalian tumbuh-tumbuhan sampai kajirak nan sabatang, karumpuik nan sahalai.

TANAH:
Yang dikatakan tanah ialah sampai kabalu nan sabutia kakasiak nan samiang. Hutan tanah dalam palarasan. Koto Piliang dikendalikan atas nama nagari oleh Penghulu Pucuak dan dalam Budi Caniago dibagi menurut suku yang sudah di “Kundano”, dikerjakan, menjadi milik suku dipusakai turun temurun yang belum dikerjakan itulah tanah cadangan untuk bersama Pangulu tidak mempunyai tanah ulayat, hanya menguasai.

Pusako Harato terbagi:
Pusako tinggi atau hutan tinggi, yang sekarang disebut juga ulayat.
Pusako tanah atau hutan tanah.

Ulayat:
Yang termasuk hutan tinggi atau ulayat ialah hutan dan padang, gunung dan sungai. Sekalian ini dikuasai pada mulanya oleh Pangulu yang tua-tua. Ketika “Mancacak Nagari” masa dahulu untuk mata penghasilan. Kekuasaan ini menurut hakekat pusako, turun temurun terus menerus. Politik ulayat tidak hanya persediaan untuk satu keturunan dalam satu masa jasa, tetapi adalah tanah cadangan untuk keturunan demi keturunan yang akan terus kembang sepanjang masa. Sebab itu tiap-tiap nagari di Minangkabau mempunyai ulayat masing-masing adat dengan peraturan basuku, basako, bapusako, basangsako menjaga, supaya keturunan yang hidup bertani sebagai induk pencarian jangan sampai kekurangan tanah dibelakang hari dan alangkah akan terdesak hidup anak cucuk, andai kata mereka yang telah kembang kelak pada suatu ketika tiada mempunyai tanah tempat berpijak, adalah suatu cacat bagi orang Minangkabau, manakala tidak bertanah serap agak sebingkah, beraur agak serumpun.
Tandanya suatu nagari mempunyai hak ulayat ditentukan dengan petua adat (penghulu) “Hak jauah diulangi hak dakek di kundano. Diulangi artinyo kerap kali dilihat dijengong. Jangan sampai tanda, atau orang berdekatan sampai lupa. Batas pasipadan jangan hilang. Dikundano artinyo belukar yang dekat kampung sendiri dibuka (dikerjakan) dan kalau boleh didiami.

Ulayat Pangulu:
Adapaun yang dikatakan ulayat Pangulu adalah Sajak dari rumpuik nan sahalai, dijirak nan sabatang, sampai kapasiai nan sabutia, sampai ka bumi takana bulan, sampai ka awan mambasuik jantan.

Ulayat Rajo:
Adapaun yang dikatakan ulayat Rajo adolah antaro limbuai pasang mudiak dengan bukik nan bakabuik lalu kapadang nan barumpuik nan bacapo bailalang basikaduduak barumpuik-rumpuik, sampai baluka dengan hutan nan baaka nan bapilin rotan nan bajalinteh, bakalumpang nan babanie.


Ameh Manah Tukub Bubuang
Samaso pemerintahan Sulatan Alamsyah siput Aladin sampai kapado pemerintahan Sulatan Alif Rantau Singiagi kampar kiri. Kuantan. Indragiri membayar ameh manah sakali tigo tahun. Menurut undang-undang adat pajak itu besarnya “Sapucuak saulang aliang, sakundi-sakundio, sakipeh langan baju, sapatiang tali bajak” Sacupak saulang aliang adalah sacupak emas ditambah dengan isi ekor cupak.
Emas ini dipungut dari rakyat dari tiap-tiap dapur. Tiap-tiap dapur keluarga atau kaum, membayar sakundi sakundio. Beratnya sebanyak sebuah biji kundi ditambah dengan seberar hitam kundi. Seluruhnya berjumlah satu cupak dan sebanyak isi ekor cupak. Ini dinamakan secupak saulang-aliang. Kalau emas itu dibentangkan adalah sakipeh langan baju. Panjangnya dan jikalau dikumpulkan adalah sepanjang tali bajak. Ameh ini dinamakan oleh Penghulu dalam nagari “Ameh Manah”. untuak perbendaharaan raja. Ameh Manah sebagai sendi tiang bubuangan istanan raja maksudnya bahwa sakalian pajak gunanya untuk perbelanjaan dan penguatkan pemerintahan.

Hak Daciang Pangaluaran
Di Pasisia disebut “Hak Daciang Pangaluaran” (Bea Barang Masuk/impor). Tiap-tiap barang masuk ditimbang. Jika lebih dari pada satu pikul dikenakan satu dalam sepuluh (10%). “Pengeluaran” yaitu bea hasil bumi yang keluar (ekspor) dikenakan cukai satu dalam sepuluh (10%).
Ubui-ubui Gantuang Kamudi artinyo tiap-tiap parahu berlabuh yang telah menjatuhkan Sauah dan tali sauah telah tergantung dipingginr perahu mesti membayar cukai pelabuhan kepada raja


Hutan Randah
Hutan Randah adalah sawah ladang yang diperoleh karena:
Dipusakai, artinya diterima dari nenek moyang turun temurun dari ibu
Tambilang ameh diperoleh karena beli atau dipagang. Beli sebenarnya tidak ada dalam adat, yang ada hanya “Sando”  Adat melarang menjual harta, menjaga supaya anak kemenakan jangan sampai terlantar dibelakang hari.
Tambilang besi diperoleh atas tenaga usaha sendiri, seperti taruko.
Hibbah, artinya pemberian, Hibbah biasanya terjadi antara bapak dengan anak. Petitih mengatakan: “Mati Bapak bakalang anak”

Piagam Bukik Marapalam
Piagam Bukik Marapalam berisikan: Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Adalah hasil rapat perdamaian Adat dan Syarak antara Syekh Burhanuddin beserta murid-muridnya dengan Rajo Tigo Selo Basa Ampek Balai dan Rajo Ulakan yang bertempat di Bukit Marapalam di Puncak PATO pada tahun 1644. Adapun Syekh Burhanuddin yang disebut juga Tuanku Ulakan wafat pada tanggal 15 Syafar 1116 atau 19/20 Juni 1704 di desa Ulakan. Seperti umumnya orang-orang terdahulu, tanggal kelahiran syekh ini juga tidak diketahui. Selanjutnya Datuak Mangiang menjelaskan bahwa yang hadir pada kerapatan di Bukit Marapalam itu adalah:
Syekh Burhanuddin beserta 4 orang muridnya dan sebelas orang Raja di Rantau.
Rajo Tigo Selo (Rajo Alam di Pagaruyuang, Rajo Adat di Buo, Rajo Ibadat di Sampur Kudus).
Basa Ampek Balai, yaitu Titah di Sungai Tarab, Kadi di Padang Gantiang, Makudum di Sumaniak, Indomo di Saruaso.

Di jelaskan pula bahwa Piagam Bukik Marapalam yang merupakan Buek Parbuatan, harus disampaikan kepada seluruh rakyat di Alam Minangkabau, baik yang berada di rantau maupun yang berada di LUHAK nan Tigo. Pemberitahuan untuk rantau oleh Raja Pagaruyuang dikirim utusan sebanyak 8 orang (Sultan Nan 8) dan untuk di Luhak Nan Tigo, pemuka-pemuka masyarakat diundang datangnke Pagaruyuang. Sambil melepas keberangkatan utusan ke rantau (sosialisasi).
Kajian Drs. H.B.L Letter menjelaskan pula Syekh Burhanuddin sebelum mengikuti kerapatan Bukit Marapalam, telah melakukan pembaharuan pula di daerah rantau, yaitu dengan mensenyawakan Adat dengan Syarak dengan contoh: Di rantau telah terwujud perpaduan itu dengan istilah, Anak babangso ka ayah (gelar Sidi, Bagindo, Sulta dari Ayah) menurus garis Bapak yang Islami. Basuku ka Ibu menurut Adat Matrilineal. Kompromi ini bahkan terlihat dengan istilah Anak dipangku (Islam) Kemenakan dibimbiang (Adat). Dengan menggunakan Tambo Adat Minangkabau yang ditulis oleh Tuanku Ampalu Randah di Ampalu Sawah Lunto Sijunjung (Murid Syekh Burhanuddin) kemudian disalin oleh kamaruddin Tuanku Kuning (murid pesantren  Ampalu Randah).

Leter Menuliskan dengan lengkap dari Piagam itu:
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Atas Qodrat dan Iradat Allah SWT, telah dipertemukan di tempat ini hamba-hamba Allah untuk memperkatakan adat dan syarak yang akan menjadi pegangan anak kemenakan, hidup yang akan dipakai, mati yang akan ditompang, bahwa adat dan syarak akan dikukuhkan di Alam Minangkabau, dengan ini sambil menyerah kepada Allah, sambil mengikutio kata Nabi Muhammad SAW, kami mengikrarkan bahwa:

Adaik Basandi kapado Syarak, Syarak Basandi kapado Kitabullah, Syarak mangato adaik mamakaikan.
Segala Undang  adat dan kelengkapan dalam Alam (Minangkabau), Luhak dan rantau, kampung dan nagari disesuaikan dengan tuntutan adat dan Syarak.
Ikrar dan kesepakatan ini disampaikan oleh segala Ulama dan Pangulu kepada Rakyat di Alam Minangkabau.

Tertanda:
Atas nama Syarak: Syekh Burhanuddin.
Atas nama Undang/Adat Basa Ampek Balai Titah di Sungai Tarab
Rajo Alam yang dipertuankan di Pagaruyuang.

Akhirnya setelah dikukuhkan Piagam Bukik Marapalam itu bergemalah keseluruh Alam Minangkabau dari mulut ke mulut, dari anak kekemenakan turun temurun.

Sebelum sampai kepada rumusan piagam di atas pada kerapatan di bukik Marapalam itu telah dibahas dan telah disepakati pula rumusan tentang 10 perkara sebagai pegangan pokok yang akan diwariskan dipersembahkan kepada anak kemenakan yaitu 4 macam jauh pada adat dan 6 macam jatuh pada Pusako.
Yang 4 macam Jatuh kepada Adat itu adalah:
Yang dinamakan Adat adalah: Sasek suruik talangkah kambali, Gawa mayambah salah maisi, adat diisi limbago dituang.
Nan Diadatkan ialah, memakai baso jo basi, mamandang ereng jo gendeng, maimbang mudarat jo mamfaat, mangisi barek jo ringan.
Istiadat adalah urang nan berhak meminta akan haknya seperti Alam diperintah Raja, agama diperintah Malim, Nagari diperintah Pengulu.
Sabana Adat ialah: Syarah Kitabullah nan buliah ditunjukkan babnya dan pasalnya, hadist dan dalilnya, qias dan maknanya, bahwa sesungguhnya Nan Sabana Adat pada sisi Allah ialah Islam.

Adapun Yang 6 macam Jatuh kepada Adat itu adalah:
Kalo-kalo, ialah permupakatan ahli Nagari, samo ado mupakat mambatuli syarak dibacakan doa dan Alfatihah, apobilo mupakat itu akan dibuka, ialah dengan mufakat pula membukanya, itu dinamakan kalo-kali, seperti kala kambing nan buliah diasak-asak.
Saribu Kalo, ialah Nan digalikan dalam , digantuang tinggi, nan basabuikkan sumpah dan sapiah, nam babacokan  Doa jo Fatihah bahaso Alam dikabari barajo, agamo akan dibari ba Malim atau ba Labai dibari ba Inggiran bakulak-kulak, dibari ba Sasok bajarami, dibari bapandam pakuburan. Jauah nan buliah ditunjuakkan, hampia nan buliah dikakokkan, jiko menghukum dengan adil.
Bajanjang naiak,  ialah sagalo anak buah manyampaikan bicaronyo nan manuruik adat jo pusako kapado Mamak Rumah, Mamak Rumah mayampaikan bicaronyo kepada Tua Kampung, dan Tua Kampung menyampaikan bicaro kapado Panghulu. Dan Panghulu manyampaikan bicaronyo kapado Raja. Barang siapa tidak menurut jalan Bajanjang Naiak disebut Mandago, Siapo Mandago kanai kutuak.
Batanggo Turun, ialah sagalo Rajo manyampaikan bicaronyo menurut adat jo pusako kepada Penghulu, dan penghulu kapado Tua Kampung, Tua Kampung kapado Mamak Rumah, Mamak Rumah, manyampaikan kapado seluruh anak buah. Barang siapa tidak memakai Batanggo Turun, mako urang itu Mandagi namonyo, barang siapo mandagi, kanai kaparat.
Hukum Ijtihad, ialah ditilik kapado orang yang patut dihukum atau tidak, seerti anak-anak atau orang gila, jika salah orang dengan pusako, dihukum dengan, jiko salah dilingkungan adat, dihukum dengan adatnya, artinya gadang kayu gadang bahannya, kaciak kayu kaciak bahannya.
Undang-undang Pertanian Alam,  yang terdiri dari: Undang-undang Luhak; Undang-undang Nagari, Undang dalam Nagari, Undang-undang  nan Duo Puluah. Mengenai undang-undang nan duo puluah dibagi atas: Nan Salapan: (jadi Larangan), yaitu: Maling, curi, tikam-bunuh, sumbang, salah, dago, dan dagi. Nan Duo Baleh: Nan menjadi talinyo cemo dan tuduah, yaitu Talalah, Takaja, Tacancang, Tarageh, Tarikek, Takungkuang, Tatambang, ciak, rabuik, rampeh, tatando, tabaiti, tatangkok dengan salahnyo.


Dari uraian di atas terlihat ada benang merah antara Syekh Burhanuddin, Piagam Bukik Marapalam, ABSSBK, pemahaman mengenai adat, mengenai Pusako, mengenai Undang-undang Luhak, Undang-undang Nagari, Undang-undang dalam Nagari dan Undang-undang Nan Duo Puluah.
Tambo Tuanku Ampalu yang menjadi sumber dari kejadian Letter di atas memang lebih deskriptif dari Tambo lain yang lazim beredar, Tambo ini menyebutkan Aktor sejarahnya dan masa kejadiannya, meskipun sangat dipahami bahwa Tambo adalah Historiografi Tradisional, maksudnya penulis sejah menurut kepercayaan dan anggapan masyarakat bersangkutan apapun makna yang diperoleh dari uraian di atas setidaknya kita paham apa keinginan nenek moyang Minangkabau dahulunya, dia mengatakan begitulah Minangkabauitu seharusnya, dan kita yang hidup sekarang mendapat amanah untuk melestarikan ABSSBK, di samping nilai ABSSBK itu menjadi modal bagi generasi Minangkabau sekarang dalam memasuki abad ke 21.

Kompeni Babenteng Basi,
Minang Babenteng Adat

Judul di atas diambil dari pepatah Adat yang mengambarkan bahwa benteng Adat yang dimiliki pribumi Minangkabau (yang dalam masa kolonial sering disebut sebagai Malay atau Melayu Kopi Daun, tidak kalah kuat dan tangguhnya dengan benteng besi yang dimiliki oleh tentara kolonial Belanda .
Sikap percaya diri ini tumbuh berdasarkan pengalaman bahwa meskipun pada masa kolonial sejak Minangkabau resmi jatuh ke tangan Pemerintahan Hindia Belanda sesudah Plakat Panjang, anak nagari tidak merasa kehilangan nagarinya.
Intervensi pemerintah Hindia Belanda baik semasa sistem Tuanku Lareh, maupun masa sesudah itu, masa Nagari Otonomi dengan IGOSWK (Stbld 1918- No 67) tidak menurunkan upaya dan kreativitas pemuka masyarakat Niniak Mamak, Alim, Ulama dan Cadiak Pandai Minangkabau dalam mencarikan pemecahan atas masalah kehidupan yang dihadapi anak nagari.
Peristiwa-peristiwa dan keputusan-keputusan Nagari pada periode IGOSWK dapat dipakai sebagai rujukan bagamana anak Nagari Minangkabau membentengi dirinya.
Pada masa Sistem Tuanku lareh ada dua peristiwa yang dapat dikemukakan:
Rapat di balerong panjang Sulit Air tanggal 29 September 1912, yaitu rapat mufakat yang diikuti oleh Penghulu-penghulu, Datuak-datuak, Orang Ampek Jinih, Orang Tua-tua serta Cadiak Pandai. Timbang menimbang apa yang mendatangkan kebaikan dan yang akan penolakan segala  dengan menimbang hina dan mulia, laba dan rubi, awal dan akhir berat dan ringan, mudarat dan mamfaat.
Musyawarah yang diadakan di Batu Mangaum Pariaman pada tanggal 25 Oktober 1012, konon yang ikut dalam musyawarah itu bukan penghulu-penghulu dari Nagari bersangkutan, dan masalah yang dibahasnya berlawanan dengan adat yang berlaku pada masa itu, yang hadir pada musyawarah itu tercatat orang Kayo Bandaharo, P.L. Gasan Gadang Datuak Nan Khodoh, P.K. Lawang, Imam Bandaro Kayo controle Mantari Kuranji.

Mengenai Rapat di Balerong Panjang Sulit Aia mengambil keputusan antara lain:


Tidak boleh mendirikan penghulu oleh satu-satu paruik manakala buah paruik itu tidak barumah Gadang, yaitu Rumah Gadang Gajah Maharam Surambi Aceh, atau ada rumah gadang tapi ketirisan.
Tidaklah akan diberi izin kawin, baik laki-laki atau perempuan, manakala kumuah, ladah, berleak-leak rumahnya, di rusuk dan di belakang rumah ataupun di halaman, supaya majelis helat baik pandangan dan enak makannya.
Tidak diberi izin kawin kemenakan dan anak buah sebelum dieri pengajaran tentang, bagaimana jadi urang Sumando ke atas rumah orang, apa kewajiban urang sumando di atas rumah orang, adalah kewajiban urang Sumando memperbaiki dan memperindah kampung halaman dan menghilangkan segala kumuh-kumuh, leak-leak, pada rumah masing-masing (rumah bininya) begitu pula: wajib memperbaiki rumah tempatnya Sumando sekedar rusak anak jenjang nan sabuah, tiris atap menyisip manakala tiris.
Anak Kemenakan yang akan pergi merantau wajib minta izin kepada Ninik Mamak dan Penghulu untuk diberi Pengajaran supaya kelakukan dan perangainya di Negeri orang tidak memberi malu pada Nagari Sulit Aia.
Kewajiban Ninik Mamak dan Penghulu memberi pengajaran kepada yang akan kawin jadi urang Sumando yang akan merantau. Juga tidak boleh penghulu meninggalkan Nagari manakala tiada dengan izin pemerintah Suku dan Nagari (Kepala Suku).
Wajiba pada Kakak-kakak orang muda akan melarang dan memberi nasehat sekalian anak muda, supaya berhenti bermain dan berbuat kejahatan.
Tidak akan diterima jadi urang Sumando, barng siapa nan pemain Judi atau yang pencahariannya memberi malu Nagari Sulit Aia. Tapi manakala  telah ditobatinya perangainya itu, barulah boleh diterima jadi urang Sumando, boleh dilawan duduk  dalam kerja baik atau kerja buruk, boleh dibawa sehilir semudik.


Hasil Musyawarah di Batu Mangaum Pariaman
  1. Harta Pencaharian Bapak atau ayah harus diberikan kepada anak, tidak kepada kemenakan seperti lazimnya berlaku pada masa itu. Alasannya anak itu adalah turunan dari Bapak dan harus dipelihara oleh Bapak dan menurut Syarak pencaharian Bapak wajib untuk anak, tidak harus diberikan kepada kemenakan.
  2. Dianjurkan beristri seorang saja.
  3. Menunda usia perkawinan sebaiknya pada umur antara 19 dan 20 tahun. Dikatakan seperti tanaman bila bibitnya muda tentu tanaman akan jelek, demikian pula manusia.
  4. Sebaiknya anak-anak itu sendiri yang akan menentukan siapa jodoh dan seterusnya.

Kesepatakan Batu Mangaum yang tidak sesuai dengan adat yang lazim pada masa itu mendapat reaksi keras dari masyarakat adat terutama dari Dt. Sutan Maharajo Pemimpin redaksi surat kabar utusan Melayu, terutama pada bagian tidak boleh memberikan harta pencaharian kepada kemenakan dan hubungan Bapak anak dan Bapak dengan Kemenakannya serta Bako dan Anak Pusako atau anak Pisang mendapat tanggapan panjang lebar pada Surat Kabar.
Baik hasil rapat di Balairung Panjang Sulit Air atau kesepakatan Batu Mangaum telah mengambarkan bagaimana pikiran-pikiran masyarakat yang berkembang pada dewasa itu sebagai pengaruh pendidikan kesadaran baru dan westernisasi yang tumbuh sejak akhir abad ke-19. Bermunculan sekolah-sekolah yang didirikan Gubernemen dan sekolah-sekolah agama swasta telah membawa masyarakat Minangkabau lebih siap menghadapi peradaban abad ke-20 yang ditandai dengan tampilnya putra-putri Minangkabau dalam forum nasional, baik dalam bidang keagamaan, pendidikan kebudayaan, politik.
Dan kehadiran anak nagari Minangkabau di lingkungan Nasional itu di samping mempromosikan nilai-nilai matrilinial juga sekaligus menjadi penjaga dan benteng dari kelestarian nilai-nilai matrilinial itu, Tagak bakampuang membela kampuang, tagak banagari membela nagari, adalah bentuk kesetiaan anak ngari Minangkabau kepada nagarinya.
Sesudah terjadi pemerintahan Hindia Belanda mulai awal abad ke-20 kemudia dengan diperkenalkan Nagari Otonomi artinya nagari mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk mengadakan peraturan sendiri yang berlaku di Salingka Nagari, maka Nagari mempunyai peluang untuk mensejahterakan, melindungi dan membentengi anak nagari dari bermacam-macam kerusakan. Pada periode ini Banyak sekali keputusan Kerapatan Nagari (yang merupakan pemerintah Nagari/yang kemudian menjadi Peraturan Nagari dan mempunyai kekuatan hukum karena disyahkan oleh Tuan Residen Sumatera barat di Padang.
Peraturan-peraturan itu terutama mengenai bidang kesejahteraan, perekonomian tentang memungut uang Nagari, Waterleding, menjaga kualitas hasil hutan, mengambil kasiak dan pasir di batang air, tentang pasar, tali banda dan irigasi, tentang uang adat yang harus diisi kalau ada helat kawin dan keramaian dan tentang pencegahan pembakaran rimbo dan Padang ilalang.
Semua keputusan kerapatan Nagari yang sudah dijadikan Peraturan Nagari dimuat dalam lembaran Daerah Keresidenan di Padang dan dipublikasikan pada majalah “Pemimpin Nagari” majalah Opsiil Minangkabau pada masa itu.

Fatwa Ulama –ulama Minangkabau tentang Harta Pusaka
Setelah agama Islam masuk ke negeri ini, baik sebelum perang Padri atau di waktu perang atau sesudahnya, bahwa Islam masuk ke Minangkabau tidakla mengganggu susunan Ada Minangkabau dengan Pusaka tingginya, atau harta tuanya itu.
Begitu hebatnya peperangan Padri, hendak merobah daki-daki adat jahiliah di Minangkabau, namun pahlawan-pahlawan Padri sebagai Haji Miskin, atau Haji Abdurrahman Piobang, atau Tuanku Lintau, tidaklah menyinggung atau ingin merombah sususnan harta puska tinggi itu. Bahkan Pahlawan Padri yang radikal, Tuanku nan Renceh yang sampai membunuh uncunya (adik perempuan ibunya) karena tidak mau mengerjakan sembahyang, tidaklah tersebut bahwa beliau menyinggung-nyinggung susunan adat itu. Kuburan Tuanku Nan Renceh di Kamang, yang pernah saya Ziarahi terdapat dalam tanah pusako tinggi, suku sakonya, suku Tanjung di Surau Koto Samik Kamang.
Tuanku nan Tuo di Cangking pun tidak hendak mengusik-usik susunan harta pusaka tinggi. Di dalam tahun 1919 terkenalah tantangan ayah saya, Dr. Syeh Abdullah karim Amarullah terhadap Adat Minangkabau dengan bukunya “Pertimbangan Adat Lembaga Alam Minangkabau” sebagai bantahan kepada buku “ Cinai Paparan Adat Limbago Alam Minangkabau” karangan Datuk Sangguno Dirajo. Yang ditentang dalam bukunitu hanyalah dongeng-dongeng dan khayal yang tidak ilmiah ynang banyak bertemu dalam tambo-tambo Minangkabau, namun beliau tidak juga mengusik harato pusako tinggi. Dan dalam karangn beliau “Syamsul Hidayah” dan “Sendi Aman Tiang Selamat” beliau cela keras menurunkan harta pencaharian kepada kemenakan, tetapi harta pusaka tua itu tidak juga beliau ganggu gugat, malahan beliau berbeda fatwa dengan gurunya sendiri Tuanku Syek Ahmad Khatib yang spesial mengarang sebuah buku menjelaskan bahwa Harta Pusaka Minangkabau itu adalah harta Shubuhat, haram dimakan hasilnya.
Menurut Ahmad Khatib seluruh orang Minangkabau memakan harta hram dan beluah konsekuen dengan pendapatnya sehingga setelah beliau tinggalkan Minangkabau dan berdiam di Mekah sampai wafatnya tahun 1916 (1334 H). Beliau tidak pernah pulang lagi ke Minangkabau.
Tetapi Dr. Syeh Abdulkarim berfatwa: bahwa harta pusaka tinggi adalah sebagai wakaf juga atau sebagai harta musabalah.

Sejarah Minangkabau

Tidak ada komentar: