Pada awal abad ke-20, di Sumatera Barat ditandai dengan periode yang penuh pergolakan sosial dan intelektual. Di awali dengan pulangnya tiga ulama Minangkabau selepas menuntut ilmu di Mekah, yaitu Inyik Djambek, Inyik Rasul dan Inyik Abdullah Ahmad membawa modernisasi Islam ajaran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani dari
Mesir. Gerakan ini tidak hanya dimotivasi oleh gerakan pembaharuan yang
sudah berkembang di Mesir tapi juga oleh dorongan rivalitas terhadap
golongan berpendidikan Barat yang cara material dan sosial terlihat
lebih bergengsi.
Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947), adalah adalah satu dari tiga ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat di awal abad ke-20, dilahirkan di Bukittinggi (), terkenal sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syekh Muhammad Djamil Djambek lebih dikenal dengan sebutan Inyik Syekh Muhammad Djamil Djambek atau Inyik Djambek, dilahirkan dari keluarga bangsawan. Dia juga merupakan keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda.
Masa kecilnya tidak banyak sumber yang menceritakan.
Namun, yang jelas Muhammad Djamil mendapatkan pendidikan dasarnya di
Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah
guru (Kweekschool). Sampai umur 22 tahun ia berada dalam kehidupan parewa, satu
golongan orang muda-muda yang tidak mau mengganggu kehidupan keluarga,
pergaulan luas di antara kaum parewa berlainan kampung dan saling harga
menghargai, walau ketika itu kehidupan parewa masih senang berjudi,
menyabung ayam, namun mereka ahli dalam pencak dan silat. Semenjak
berumur 22 tahun, Mohammad Djamil mulai tertarik pada pelajaran agama
dan bahasa Arab. Ia belajar pada surau di Koto Mambang, Pariaman dan di
Batipuh Baruh.
Ayahnya membawanya ke Mekah pada
tahun 1896 dan bermukim di sana selama 9 tahun lamanya mempelajari
soal-soal agama. Guru-gurunya di Mekah, antara lain,adalah Taher
Djalaluddin, Syekh Bafaddhal, Syekh Serawak dan Syekh Ahmad Khatib.
Ketika itu dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Semula
Muhammad Djamil tertarik untuk mempelajari ilmu sihir kepada seorang guru dari Maroko,
tapi dia disadarkan oleh gurunya. Selama belajar di tanah suci, banyak
ilmu agama yang dia dapatkan. Antara lain yang dipelajari secara
intensif adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal Abu Qubais. Dengan pendalaman tersebut Syekh Muhammad Djamil menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah. Di antara murid-muridnya terdapat beberapa guru tarekat. Lantaran itulah Syekh Muhammad Djamil Djambek dihormati sebagai Syekh Tarekat.
Dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak, dan
belajar dengan Syekh Taher Djalaluddin. Di akhir masa studinya di
Makkah, beliau sempat mengajarkan ilmu falak, yang menjadi bidang
spesialisasi beliau, kepada masyarakat Sumatera dan Jawi yang bermukim
di Mekah. Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di
Mekah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad
Djamil Djambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekah. Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang).
Berpuluh-puluh
buku polemik, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu mulai banyak
diterbitkan, dan berbagai majalah, surat kabar yang mewartakan hal-hal
yang berupa pergolakan pemikiran, dan aliran-aliran dalam pemahaman
mazhab dalam syari’at Islam, mulai banyak bermunculan, dan pengamalan
dalam adat sesuI panduan syarak, agama Islam sangat ramai dibicarakan.
Salah seorang pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau yang menyebarkan
pikiran-pikirannya dari Mekah pada awal abad ke-20 adalah Syekh Ahmad Khatib EL Minangkabawy (1855).
Syekh Ahmad Khatib adalah turunan dari seorang hakim gerakan Padri yang sangat anti penjajahan Belanda. Ia dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855 oleh ibu bernama Limbak Urai, yang adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang,
Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi. Baik dari pihak ibu
ataupun pihak ayahnya, Ahmad Khatib adalah anak terpandang, dari
kalangan keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang
kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku Laras dari Ampek dan
Ampek Angkek. Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu Ahmad Khatib dipertemukan
dalam pernikahan berbeda nagari ini, karena sama-sama memiliki kedudukan
yang tinggi dalam adat, dari keluarga tuanku laras, dan latar belakang
pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.
Sejak
kecilnya Ahmad Khatib mendapat pendidikan pada sekolah rendah yang
didirikan Belanda di kota kelahirannya. Ia meninggalkan kampung
halamannya pergi ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh ayahnya. Sampai
dia menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang putri
Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi, maka Syekh Ahmad
Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah tidak pernah kembali ke
daerah asalnya.
Syekh Ahmad Khatib, mencapai
derajat kedudukan yang tertinggi dalam mengajarkan agama sebagai imam
dari Mazhab Syafei di Masjidil Haram, di Mekah. Sebagai imam dari Mazhab
Syafe’i, ia tidak melarang murid-muridnya untuk mempelajari tulisan
Muhammad Abduh, seorang pembaru dalam pemikiran Islam di Mesir. Syekh
Ahmad Khatib sangat terkenal dalam menolak dua macam kebiasaan di
Minangkabau, yakni peraturan-peraturan adat tentang warisan dan tarekat
Naqsyahbandiyah yang dipraktekkan pada masa itu. Kedua masalah itu terus
menerus dibahasnya, diluruskan dan yang tidak sejalan dengan syari’at
Islam ditentangnya. Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib el
Minangkabawy ini, kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di
Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama,
penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah
seperti madrasah-madrasah Sumatera Thawalib, dan Diniyah Puteri, sampai
ke nagari-nagari di Minangkabau, sehingga menjadi pelopor pergerakan
merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam beberapa karya Ahmad
Khatib menunjukkan bahwa barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga
"kafir", adalah kafir dan akan masuk neraka. Kemudian, semua harta benda
yang diperoleh menurut hukum waris kepada kemenakan, menurut pendapat
Ahmad Khatib harus dianggap sebagai harta rampasan.
Pemikiran-pemikiran
yang disampaikan Ahmad Khatib memicu pembaruan pemikiran Islam di
Minangkabau. Di pihak lain perlawanan yang berarti terhadap pemikiran
Ahmad Khatib datang dari kalangan Islam tradisi yang adakalanya disebut kaum tua. Kecamannya mengenai tarekat, telah dijawab oleh Syekh Muhamamad Saat bin Tanta’ dari Mungkar dan Syekh Khatib Ali
di Padang jang menerbitkan beberapa tulisan tentang itu. Kecamannya
dalam harta warisan, menumbuhkan kesadaran banyak orang Minangkabau
memahami, bahwa tidak dapat disesuaikan hukum waris matrilineal dengan
hukum agama. Di antara guru agama banyak juga yang tidak dapat
menyetujui pendirian Ahmad Khatib, yang dianggap tidak kenal damai.
Walaupun pikiran-pikiran itu mendapat tantangan dari kaum adat, maupun
muridnya yang tidak menyetujui pemikiran demikian, namun perbedaan
pendapat ini telah melahirkan hasrat untuk lebih berkembang,
menghidupkan kembali kesadaran untuk pengenalan kembali diri sendiri,
yaitu kesadaran untuk meninggalkan keterbelakangan. Syekh Ahmad Khatib
al Minangkabawy menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah melalui
tulisan-tulisannya di majalah atau buku-buku agama Islam, dan melalui
murid-murid yang belajar kepadanya. Dengan cara itu, beliau memelihara
hubungan dengan daerah asalnya Minangkabau, melalui murid-muridnya yang
menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan yang belajar padanya. Mereka inilah
kemudian menjadi guru di daerah asalnya masing-masing.
Ulama
zuama bekas murid Ahmad Khatib, mulai mengetengahkan pemikiran,
manakala Islam bermaksud tetap memuaskan pengikutnya, maka harus terjadi
suatu pembaruan. Setiap periode dalam sejarah peradaban manusia,
melahirkan pembaruan pemikiran agama yang bertujuan memperbaiki pola
penghidupan umatnya. Cita-cita itu ditemukan kembali dalam agama. Cara
berpikir seorang beragama Islam bertolak dari anggapan keyakinan, bahwa
Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan. Dengan kemajuan cara
berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya dalam Islam.
Timbul pertanyaan, apakah di dalam Islam ada unsur yang menyangkut
kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat untuk maju dan
rasionalisme. Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan
pelajaran kepada muridnya, selalu menghindari sikap taqlid.
Salah seorang dari muridnya, yakni H.Abdullah Ahmad,
yang kemudian menjadi salah seorang di antara para ulama dan zuama,
pemimpin kaum pembaru di Minangkabau, pendiri Sumatera Thawalib, yang
berawal dari pengajian di Masjid Zuama, Jembatan Besi, Padangpanjang,
dan kemudian mendirikan pula Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), di Jati,
Padang, telah mengembangkan ajaran gurunya melalui pendidikan dan
pencerahan tradisi ilmu dan mendorong pula para
muridnya untuk mempergunakan akal yang sesungguhnya adalah kurnia Allah.
Jika kepercayaan hanya tumbuh semata-mata karena penerimaan atas wibawa
guru semata, maka kepercayaan itu tidak ada harganya, dan itulah yang
membuka pintu taqlid. Peperangan melawan penjajahan asing tidak
semata-mata dengan menggunakan senjata, bedil dan kelewang, tetapi
pencerdasan anak kemenakan dengan memberikan senjata tradisi ilmu.
Murid-muridnya kemudian menjadi penggerak pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau, seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947), Haji Abdul Karim Amarullah (1879-1945) , dan Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933).
Seorang pembaru lainnya adalah Syekh Taher Djalaluddin (1869-1956),
pada masa mudanya dipanggil Muhammad Taher bin Syekh Muhamad, lahir di
Ampek Angkek, Bukittinggi, tahun 1869, anak dari Syekh Cangking, cucu
dari Faqih Saghir yang bergelar Syekh Djalaluddin Ahmad Tuanku Sami’, pelopor kembali ke ajaran syariat bersama Tuanku Nan Tuo.
Syekh Taher Djalaluddin adalah saudara sepupu dari Ahmad Khatib Al
Minangkabawy, karena ibunya adik beradik. Syekh Taher Djalaluddin,
berangkat ke Mekah 1880, dan menuntut ilmu selama 15 tahun, kemudian
meneruskan ke Al Azhar, di Mesir (1895-1898), dan kembali ke Mekah
mengajar sampai tahun 1900. Beliau sangat ahli di bidang ilmu falak, dan
tempat berguru Syekh Muhammad Djamil Djambek. Mulai tahun 1900 itu,
Syekh Taher Djalaluddin menetap di Malaya, pernah diangkat menjadi Mufti
Kerajaan Perak. Eratnya hubungan Syekh Taher Djalaluddin dengan
perguruan tinggi Al-Azhar di Kairo, dia tambahkan al-Azhari di belakang
namanya.
Syekh Taher Djalaluddin merupakan
seorang tertua sebagai pelopor dari ajaran Ahmad Khatib di Minangkabau
dan tanah Melayu. Bahkan ia juga dianggap sebagai guru oleh kalangan
pembaru di Minangkabau. Pengaruh Syekh Taher Djalaluddin tersebar pada
murid-muridnya melalui majalah Al-Imam dan melalui sekolah yang didirikannya di Singapura bersama Raja Ali Haji bin Ahmad pada tahun 1908. Sekolah ini bernama Al-Iqbal al-Islamiyah, yang menjadi model Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1908. Majalah Bulanan Al-Imam
memuat artikel tentang pengetahuan popular, komentar kejadian penting
di dunia, terutama dunia Islam, dan masalah-masalah agama, bahkan
mendorong umat Islam betapa pentingnya memiliki sebuah Negara yang
merdeka dan tidak dijajah. Majalah ini mendorong agar umat Islam
mencapai kemajuan dan berkompetisi dengan dunia barat. Al-Iman sering
mengutip pendapat dari Mohammad Abduh yang dikemukakan majalah Al-Mannar
di Mesir. Majalah ini memakai bahasa Melayu dengan tulisan Arab Melayu
atau tulisan Jawi, dan disebarkan di Indonesia meliputi tanah Jawa
(Betawi, Jakarta, Cianjur, Semarang, dan Surabaya), Kalimantan (di
Pontianak dan Sambas), Sulawesi (di Makassar). Di Padang, Haji Abdullah
Ahmad mencontoh bentuk dan moto Al-Iman pada majalah yang diterbitkannya
di Padang bernama Al-Munir. Banyak masalah yang dibicarakan pada
Al-Iman mendapat tempat pada Al-Munir. Syekh
Taher baru dapat pulang ke Minangkabau pada tahun 1923 dan tahun 1927,
namun ketika itu dia ditangkap dan ditahan oleh Pemerintah Belanda
selama enam bulan, dituduh memfitnah dan menentang penjajahan melalui
artikel-artikelnya di dalam majalah Al Iman itu. Setelah bebas
Syekh Taher meninggalkan kampung halamannya dan tidak pernah kembali
lagi ke daerah asalnya. Syekh Taher Djalaluddin meninggal dunia pada
tahun 1956 di Kuala Kangsar, Perak, Malaya.
Gerakan
pembaruaan di awal abad ini dapat disebut sebagai gerakan pembaruan
para ulama zuama, yang sesungguhnya telah diwarisi sambung bersambung
dalam rantai sejarah yang berkelanjutan semenjak dari dua gerakan Paderi
sebelumnya. Dapat pula dinyatakan bahwa gerakan pembaruan ulama zuama
di awal abad 20 di Minangkabau menjadi mata rantai dari gerakan Paderi
periode ketiga. Gerakan Paderi periode pertama, di awal abad kedelapan
belas, dimulai pulangnya tiga serangkai ulama Minang (1802), terdiri
dari Haji Miskin di Pandai Sikek, Luhak Agam, Haji Abdur Rahman, di Piobang, Luhak Limopuluah, dan Haji Muhammad Arief, di Sumanik, Luhak nan Tuo, Tanah Datar, yang juga dikenal bergelar Tuanku Lintau,
berawal dengan penyadaran semangat beragama Islam di dalam kehidupan
beradat di Minangkabau. Gerakan Paderi perode kedua dilanjutkan oleh Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh, Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku di Ladang Laweh dan Tuanku Imam Bonjol yang berujung dengan perlawaanan terhadap penjajahan Belanda (1821-1837), dan lahirnya piagam Marapalam yang menyepakati adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah di ranah Minangkabau.
Gerakan
Kembali ke Syariat yang dilaksanakan di bawah bimbingan Tuanku Nan Tuo,
yang kemudian berlanjut kepada Gerakan Padri di bawah pimpinan Tuanku
Nan Renceh, yang kemudian sambung bersambung di bawah pimpinan Tuanku
Imam Bonjol, sesungguhnya tidak menentang hukum waris berdasarkan garis
ibu. Malahan, gerakan pembaharuan yang dilaksanakan oleh mereka, sejak
Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh, dan Tuanku Imam Bonjol, lebih
menguatkan harta pusaka, yang dimaksud adalah pusaka tinggi
itu, dimanfaatkan untuk kesejahteraan kaum, dan oleh karena itu, harta
pusaka dimaksud diturunkan kepada kemenakan, dan ditempatkan pada
pengawasan garis perempuan. Namun mengenai harta pencaharian,
kedua gerakan itu sependapat harus diwariskan kepada anak. Tuanku Imam
Bonjol, sadar bahwa setelah utusan anak kemenakannya mempelajari hukum
Islam ke tanah Mekah, menyatakan pembagian tugas yang nyata antara adat
dan syarak atau agama. Bahwa masalah adat dikembalikan kepada Basa dan Penghulu, sedangkan masalah agama diserahkan kepada Tuanku atau malin. Inilah doktrin ajaran adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Gerakan
pembaruan ulama zuama di awal abad ke 20 di ranah Minangkabau ini,
berawal dengan kepulangan para penuntut ilmu dari Makkah el Mukarramah,
yang umumnya adalah murid dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawiy, telah
ikut memberikan sumbangan bagi pencerahan pemahaman dan pengamalan
syari’at Islam, dan mendorong bagi munculnya perdebatan-perdebatan umum
yang diikuti para ulama, kaum terpelajar, dan ahli-ahli adat, dan ikut
pula membukakan kesempatan bagi lahirnya berbagai jenis perkumpulan yang
bertujuan memperdalam ilmu agama dan adat istiadat, serta mendorong
tumbuhnya pendidikan Islam, madrasah-madrasah samapai ke nagari-nagari,
dan berdiri pula berjenis organisasi pergerakan, seperti Tarbiyah
Islamiyah, Adabiyyah, Muhammadiyah, dan meluas sampai ke semenanjung
Malaya, dibawa oleh Syekh Taher Jalaluddin yang lebih banyak melaksanakan dakwahnya di tanah semenjanjung itu.
Tak
kurang penting timbulnya pergolakan-pergolakan kecil di beberapa
tempat, biasanya membayangkan dinamika masyarakat adat dan agama di
dalam membangun masyarakat di Minangkabau yang sedang mengalami
perubahan, menumbuhkan keinginan baru untuk melakukan proses pemeriksaan
kembali terhadap nilai-nilai kultur yang dipunyai. Ketika arah
pembangunan dan perobahan sosial sedang terjadi, menuju suasana merebut
kemerdekaan dan menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia,
setelah berakhirnya penindasan panjang 350 tahun dijajah Belanda, dan
beralihnya kekuasaan kepada Dai Nippon, maka merebut kemerdekaan menjadi
wajib. Fatwa para ulama dan zuama ikut membentuk dinamika sejarah dan
pemikiran Islam di ranah Minangkabau bergerak cepat, sejak empat puluh
tahun sebelumnya juga telah digerakkan oleh para ulama zuama dengan
basis ilmu pengetahuan agama dan adat istiadat, serta bahasan-bahasan
perkembangan politik di Mesir dan Turki masa itu, ikut mendorong kepada
pencarian model yang sesuai dengan yang haq, dan menuntut sikap beragama
yang rasional, serta menumbuh kembangkan semangat kemerdekaan dalam
berbangsa dan bernegara.
Pembaruan Islam di
Minangkabau bukan semata terbatas pada kegiatan serta pemikiran saja,
tetapi menemukan kembali ajaran atau prinsip dasar Islam yang berlaku
abadi yang dapat mengatasi ruang dan waktu. Sementara itu usaha-usaha
pembaruan yang praktis, baik dalam bentuk sekolah dan madrasah-madrasah
atau pun kerajinan desa, mulai bermunculan. Kaum pembaru pemikiran Islam
berusaha mengembalikan ajaran dasar agama Islam dengan menghilangkan
segala macam tambahan yang datang kemudian dalam din, agama, dan dengan melepaskan penganut Islam dari jumud, kebekuan dalam masalah dunia.
Mereka berusaha memecahkan tembok tambahan dan jumud
itu, agar dapat menemu kembali isi dan inti ajaran Islam yang
sesungguhnya, yang menurut keyakinannya menjadi cahaya yang dapat
menyinari alam ini. Kaum pembaru berkeyakinan bahwa bab al-ijtihad, masih tetap terbuka; mereka menolak taqlid.
Ijtihad membawa kaum pembaru untuk lebih memperhatikan pendapat.
Keinginan untuk keluar dari situasi yang dianggap tidak sesuai dengan
gagasan-gagasan yang ideal menghadapkan Minangkabau pada pilihan-pilihan
yang kadang-kadang saling bertentangan. Model barat mungkin baik,
tetapi dapat berarti ancaman pada dasar-dasar agama dan adat. Perubahan
yang sesuai dengan ajaran Islam yang ortodoks, memang merupakan
pemecahan. Tetapi bagaimana pula dengan lembaga adat yang telah mendarah
daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau? Dan, apa pula contoh
yang bisa diikuti? Tetapi parameter adat sangat terbatas dan bias
menutup jalan ke dunia maju dan mungkin pula menghadapkan diri pada
masalah dosa dan tidak berdosa, soal batil dan haq.
Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947). Pada
tahun 1903, dia kembali ke tanah air. Sekembalinya dari Mekah, Mohammad
Djamil mulai memberikan pelajaran agama secara tradisional Karena
beliau memelihara dengan rapi dan teratur jambang dan jenggotnya, maka
muridnya mulai menyebutnya dengan Syekh Muhammad Djamil Djambek, atau Inyik Djambek. Murid-muridnya kebanyakan terdiri dari para kalipah tarekat. Setelah beberapa lama, Syekh Muhammad Djambek
berpikir melakukan kegiatan alternatif. Hatinya memang lebih condong
untuk memberikan pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau
organisasi. Dia begitu tertarik pada usaha meningkatkan keimanan
seseorang. Kemudian ia meninggalkan Bukittinggi dan kembali mendatangi
teman-temannya dalam kehidupan parewa yang mulai ditinggalkannya sejak
usia 22 tahun (1888) di Kamang, sebuah nagari pusat pembaruan Islam di
bawah Tuanku nan Renceh pada abad ke-19. Hingga kemudian dia mendirikan
dua buah surau di Kamang (1905), dan Surau Tengah Sawah(1908). Keduanya dikenal sebagai Surau tempat mengaji dengan Inyik Djambek. Di Kamang pula ia mulai menyebarkan pengetahuan agama untuk meningkatkan iman.
Akhirnya,
ia sampai pada pemikiran, bahwa sebagian besar anak nagari tidak
melaksanakan ajaran agama dengan sempurna bukan karena kurang keimanan dan ketaqwaannya, tetapi karena pengetahuan mereka kurang tentang ajaran Islam itu sendiri. Ia
mengecam masyarakat yang masih gandrung pada ajaran tarekat. Ia
mendekati ninik mamak dan membicarakan berbagai masalah masyarakat.
Islam sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Islam juga berarti
kemajuan, agama Islam tidak menghambat usaha mencari ilmu pengetahuan,
perkembangan kehidupan dunia, dan menghormati kedudukan perempuan. Islam
adalah agama universal, yang dasar ajarannya telah diungkapkan oleh
para nabi, yang diutus kepada semua bangsa (QS. 10;47;2: 164; 35:24; 40:78). Tugas mereka diselesaikan oleh Nabi Muhammad saw, rasul utusan terakhir untuk seluruh umat manusia.
Cita-cita
pikiran untuk memajukan umat dengan agama Islam yang demikian, hanya
dapat dicapai melalui pengamalan syariat, yang terbagi kepada tauhid dan
ibadat. Dalam ibadah, semuanya terlarang, kecuali yang disuruh. Jadi
cara-cara beribadah telah diperintahkan. Di tradisi-tradisi baru yang
tidak ada perintahnya, maka tidak dapat diterima sebagai ibadah, dan
disebut bid’ah.
Di dalam kegiatan pemurnian
agama, kaum pembaru menentang berbagai bid’ah yang dibedakan atas dua
jenis, yaitu bid’ah menurut hukum (syar’iyah)
tidak dapat dibiarkan berlaku, karena itu perlu diteliti dalam segala
hal, apakah yang lazim dilakukan sehari-hari di bidang agama, dengan
menggunakan akal dan berpegang kepada salah satu tiang hukum (Quran, Sunnah, Ijma’, Qiyas). Di samping itu ada pula bid’ah dalam soal kepercayaan (bid’ah pada I’tikad), sebagaimana ada pula bid’ah pada amalan, seperti mengucapkan niyah.
Islam
pada masa kemajuan tidak harus berkembang sejajar dengan perkembangan
inteletual, sebab ada hal yang dilarang dan disuruh, dalam batas halal
dan haram, serta amat ma’ruf dan nahyun ‘anil munkar, sebagai sifat asli
dari agama Islam. Agama juga mengatur hal yang bersangkutan dengan
dunia. Masalah ini ada yang mengandung ciri ‘ubudiyah, dalam arti berdasarkan perintah dan bagian dari din Allah, sedangkan cara mengamalkannya bersifat duniawi.
Umpamanya perintah memelihara anak yatim, menghormati orang tua,
membersihkan gigi, yang pelaksanaannya sebagian besar terletak pada
pilihan individu, dan mengiautkan persaudaraan atau ukhuwah Islamiyah.
Sudah
mulai agak janggal pula kedengarannya bila menyebut kata-kata ini yang
sudah begitu lama kita kunyah. Tetapi, yang masih sedikit sekali
berjumpa pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kehidupan
modern dengan alat-alat penghubungnya yang serba lengkap, automobil,
kereta api, kapal terbang, telepon, pers, radio, televisi, semua itu
ternyata gagal dalam menghubungkan jiwa dan jiwa, dalam ikatan
persaudaraan yang ikhlas dan hakiki.
Rupanya,
soalnya bukan soal alat. Soalnya terletak pada jiwa yang akan
mempergunakan alat penghubung itu sendiri. Secanggih-canggih kamera atau
seaik-baik alat pemotret, niscaya tidak bisa memproduksi gambar
seseorang yang tidak ada.
Alat-alat komunikasi
yang ultra modern yang dapat menyampaikan pesan kepada satu satelit di
luar bumi dengan tekanan suatu knop saja, alat-alat semacam itu tidak
mampu menghubungkan rasa muhibbah itu sendiri yang tidak ada.
Alat-alat
komunikasi sebagai hasil dari teknik modern ini telah dapat
memperpendek jarak sampai sependek-pendeknya. Akan tetapi jarak jiwa dan
rasa manusia tidak bertambah pendek lantarannya.
Malah sebaliknya yang seringkali kita jumpai. Hidup bernafsi-nafsi, siapa lu siapa gua, semakin merajalela.
Inilah
problematika dunia umumnya sekarang ini, di tengah-tengah kemajuan
material dan teknik yang sudah dapat dicapai manusia di abad ini.
Ini juga problematika yang dihadapi manusia Umat Islam khususnya.
Persoalan
ukhuwwah Islamiyah ini wajib kita memecahkannya dengan sungguh-sungguh,
kalau benar-benar kita hendak menegakkan Islam dengan segala
kejumbangannya kembali di negara ini.
Para pembaru di Sumatera Barat, memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat Inyik Djambek contohnya, mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji dengan cara bertabligh, di Surau Tangah Sawah Bukittinggi, dan menjadi Surau Inyik Djambek, sampai sekarang. Syekh Muhammad Djamil Djambek berkesimpulan bahwa ajaran agama Islam itu sebaiknya disampaikan melalui tabligh dan ceramah-ceramah (wirid-wirid) yang dihadiri oleh masyarakat banyak.
Perhatiannya lebih banyak ditujukan untuk meningkatkan iman seseorang. Ia
mendapat simpati dari tokoh-tokoh ninik mamak dan kalangan guru
Kweekschool. Bahkan ia mengadakan dialog dengan orang non Islam dan
orang Cina. Sifatnya yang populer ialah ia bersahabat dengan orang yang
tidak menyetujui fahamnya, sehingga pada tahun 1908 ia mendirikan pusat
kegiatan keagamaan untuk mempelajari agama yang dikenal dengan nama Surau inyiak Djambek di Tengah Sawah, Bukttinggi. Suraunya merupakan tempat pertemuan bagi organisasi-organisasi Islam.
Bagi
Umat Islam soal ini hanya dapat dipecahkan oleh Umat Islam sendiri,
tidak boleh orang lain. Dan jika tidak dipecahkan, maka yang salah ialah
Umat Islam sendiri, terutama para pemimpinnya, bukan orang lain.
Para pelopor pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau berasal dari segala bidang profesi, di antaranya kalangan ulama (Haji Rasul), kalangan pedagang (H. Abdullah Ahmad),
dan pada umumnya berhasil melepas dirinya dari tradisi yang ada,
seperti Syekh Djamil Djambek, Haji Rasul, Haji Abdullah Ahmad dan
Ibrahim Musa Parabek, di masa hidupnya dipandang sebagai ulama besar,
tempat memulangkan segala persoalan agama dan kemasyarakatan pada
umumnya.
Gerakan pembaruan pemikiran di bidang agama yang paling banyak terdengar di Sumatra Barat. Adakalanya mereka dinamakan kaum modernist atau disebut juga kaum muda.
Salah
seorang di antara kaum pembaru itu adalah H.Abdullah Ahmad berkali-kali
berkata, bahwa di setiap bidang boleh mempergunakan akal,
yang sebenarnya adalah kurnia Tuhan, kecuali bidang agama. Jika
kepercayaan tetap merupakan penerimaan saja atas wibawa guru- atau
taqlid, maka kepercayaan itu tidak ada gunanya. Orang berakal harus pujaannya Allah dan untuk itu dipelajarinya akar-akar hukum (ushul
al-fiqh). Untuk mengenalkan semua inti ajaran agama Islam ini kepada
masyarakat luas diperlukan gerakan penyampaian berbentuk tabligh, guna
mengikat tali pergaulan atau ukhuwwah Islamiyah.
Menegakkan
dan menyuburkan Ukhuwwah Islamiyah tidaklah sangat bergantung kepada
alat-alat modern, tidak pula kepada harta bertimbun-timbun. Malah
dikalangan kaum yang hidup sederhana itulah kita banyak berjumpa
"suasana ukhuwwah" lebih dari kalangan yang serba cukup dan mewah.
Dan
...., sekiranya ukhuwwah itu dapat ditumbuhkan hanya dengan mendirikan
bermacam-macam organisasi, dengan anggaran dasar dan kartu anggota, dan
sekiranya, dengan semboyan-semboyan dan poster-posternya, semestinya
ukhuwwah sudah lama tegak merata diseluruh negeri ini.
Sekiranya
ukhuwwah Islamiyah dapat diciptakan dengan sekedar anjuran-anjuran
lisan dan tulisan, semestinya sudah lama ukhuwwah Islamiyah itu hidup
subur dikalangan Umat Islam, dan umat itu sudah lama kuat dan tegak.
Sebab
sudah cukup banyak anjuran lisan dan tulisan yang dituangkan kepada
masyarakat selama ini, ayat dan hadist mengenai ukhuwwah, disampaikan.
Sudah berkodi-kodi kertas, di lemparkan ke tengah masyarakat melalui
majalah-majalah, dengan buku-buku dan surat-surat kabar Serta, sudah
banyak pula yang hafal, dikunyah-kunyah dan dimamah oleh orang banyak.
Kalau
ukhuwwah Islamiyah belum kunjung tercipta juga, itu tandanya pekerjaan
kita belum selesai. Dan kalau usaha-usaha selama ini belum berhasil
dengan memuaskan, itu tandanya masih ada yang ketinggalan, belum
dikerjakan.
Rupanya soal ukhuwwah dan persaudaraan
ini soal hati, yang hanya dapat dipanggil dengan hati pula. Sedangkan
yang sudah terpanggil sampai saat sekarang barulah telinga dan dengan
kata. Oleh karena, pihak pemanggil yang bisa berbicara barulah lidah dan
penanya, belum lagi hati dan jiwanya. Karena itu, pengamalannya kurang
tampak menjadi minat orang banyak.
Rupanya dan
memang terbukti rahasianya menegakkan ukhuwwah dan pergaulan Islamiyah
terletak dalam sikap langkah dan perbuatan yang kecil-kecil dalam
pergaulan sehari-hari, seperti yang ditekankan benar oleh Rasulullah SAW
dalam membina jamaah dan umat Islam.
Secara
substansi, Rasul SAW menyerukan pelajaran dari yang kecil-kecil, karena
secara sosil filosofis masyarakat lebih bergairah menghadapi yang
besar-besar, sehingga yang kecil-kecil terabaikan. Padahal, yang
kecil-kecil itu, menjadi amalan dasar untuk memudahkan menghadapi kerja
besar.
Umpamanya, amalan kecil yang mesti
dibiasakan itu, antara lain yang pertama-tama, tegur sapa, memberi
salam, dan menjawab salam, mengunjungi orang sakit yang sedang
menderita, mengantarkan jenazah ke kubur, memperhatikan kehidupan
sejawat, membujuk hati yang masygul, membuka pintu rezeki bagi mereka
yang terpelanting.
Bahkan, membukakan pintu rumah
dan pintu hati kepada para dhu'afa, dan amal-amal kecil yang semacam
itu, kecil-kecil tapi keluar dari hati yang ikhlas dan penuh rasa
persaudaraan.
Kemudian sampai pula kepada
persoalan yang lebih sensitif- sampai dimanakah kebebasan yang dimiliki
memilih alternatif? Persoalan politik dan kemudian menyebarkan
nasionalisme anti kolonial menuju Indonesia Raya tidak terlepas dari
pergolakan intelektual ini. Tidak saja masalah fikh, tetapi juga masalah
tauhid harus dihadapi dengan pikiran yang terbuka. Perbedaan yang
fundamental antara inovasi yang menyalahi hukum hakiki, yang bersumber
Quran dan Hadits, dan pembaruan sebagai akibat dari peralihan zaman,
harus dibedakan dengan tegas.
Sedangkan selama
ini, kita lebih tertarik oleh cara-cara borongan, demonstratif, dengan
berteras keluar, asal kelihatan oleh orang banyak. Membangun kembali
ukhuwwah atau pergaulan dan persaudaraan yang Islami memerlukan
peninjauan dan penilaian kembali akan cara-cara yang sudah ditempuh
sekarang.
Memerlukan daya cipta dari pada pemimpin yang dapat berijtihad,
Memerlukan para pekerja lapangan tanpa nama, tanpa mau dikenal khalayak ramai,
Bersedia meniadakan diri. G
Para pelopor pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau berasal dari segala bidang profesi, di antaranya kalangan ulama (Haji Rasul), kalangan pedagang (H. Abdullah Ahmad),
dan pada umumnya berhasil melepas dirinya dari tradisi yang ada,
seperti Syekh Djamil Djambek, Haji Rasul, Haji Abdullah Ahmad dan
Ibrahim Musa Parabek, di masa hidupnya dipandang sebagai ulama besar,
tempat memulangkan segala persoalan agama dan kemasyarakatan pada
umumnya. Gerakan pembaruan pemikiran di bidang agama yang paling banyak
terdengar di Sumatra Barat. Adakalanya mereka dinamakan kaum modernist atau disebut juga kaum muda. Salah
seorang di antara kaum pembaru itu adalah H.Abdullah Ahmad berkali-kali
berkata, bahwa di setiap bidang boleh mempergunakan akal,
yang sebenarnya adalah kurnia Tuhan, kecuali bidang agama. Jika
kepercayaan tetap merupakan penerimaan saja atas wibawa guru- atau
taqlid, maka kepercayaan itu tidak ada gunanya. Orang berakal harus pujaannya Allah dan untuk itu dipelajarinya akar-akar hukum (ushul
al-fiqh). Untuk mengenalkan semua inti ajaran agama Islam ini kepada
masyarakat luas diperlukan gerakan penyampaian berbentuk tabligh.
Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang kegiatan keagamaan di Sumatra Barat. Mengutip Ensiklopedi Islam, Syekh Muhammad Djambek juga dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum. Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu. Demikian pula kebiasaan membaca riwayat Isra Mi'raj Nabi Muhammad dari kitab berbahasa Arab,
digantinya dengan tablig yang menceritakan peristiwa tersebut dalam
bahasa Melayu, sehingga dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat.
Termasuk juga tradisi membaca kitab, digantinya dengan membahas masalah
kehidupan sehari-hari, dalam satu tradisi ilmu. Semua
itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat
memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di
aktivitas tablig dan ceramah, yang kemudian diikuti oleh para pembaru
lainnya di ranah Minangkabau.
Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah, dan Syekh Muhammad Djambek
kini tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada awal tahun 1905, ketika
diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang
berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang,
Syekh Muhammad berada di pihak yang menentang tarekat. Dia "berhadapan"
dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat. Kemudian dia
menulis buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam buku itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India. Syekh Muhammad Djambek
menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat
yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam. Buku lain yang ditulisnya
berjudul Memahami
Tasawuf dan Tarekat
dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Akan
tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat
istiadat Minangkabau. Tahun 1929, Syekh Muhammad Djambek
mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan
tujuan untuk memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat
setempat.
Djamil Djambek tidak banyak menulis dalam majalah Al-Munir. Djamil
Djambek mempunyai pengetahuan tentang ilmu falak, yang memungkinkannya
menyusun jadwal waktu sembahyang serta untuk keperluan berpuasa di dalam
bulan Ramadhan. Jadwal ini diterbitkan tiap tahun atas namanya mulai
tahun 1911, dan karena Inyik Djambek dikenal sebagai Bapak Ilmu Falak, beliau menerbitkan Natijah Durriyyah untuk masa 100 tahun. Walaupun masalah ini sangat dipertikaikan dengan kaum tradisionalis.
Di
samping kegiatan Inyik Djambek mengajar dan menulis, beliaupun aktif
dalam kegiatan organisasi masyarakat. Pada tahun 1913, ia mendirikan
organisasi bersifat sosial di Bukittinggi yang bernama Tsamaratul Ichwan yang
menerbitkan buku-buku kecil dan brosur tentang pelajaran agama tanpa
mencari keuntungan. Beberapa tahun ia bergerak di dalam organisasi ini
sampai menjadi perusahaan yang bersifat komersial. Ketika itu, ia tidak
turut lagi dalam perusahaan itu.
Syekh Djamil
Djambek secara formal tidak mengikat dirinya pada suatu organisasi
tertentu, seperti Muhammadiyah dan Thawalib. Tetapi ia memberikan
dorongan pada pembaruan pemikiran Islam dengan membantu
organisasi-organisi tersebut.
Beliau tercatat sebagai pendiri dari Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), yang didirikan pada 1919 di Padang, Sumbar.
Di
samping juga untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar
dari bahaya yang dapat merusaknya. Selain itu, dia juga turut menghadiri
kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939. Yang tak kalah pentingnya dalam perjalanan dakwahnya, pada masa pendudukan Jepang, Syekh Muhammad Djambek mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi.
Pada 30 Desember 1947 (18 Shafar 1366 H), Inyik Djambek wafat, meninggalkan pusaka besar, wirid tsulasa (setiap hari Selasa), yang tetap hidup sampai sekarang. Beliau di makamkan di samping Surau Inyik Djambek di Tengah Sawah Bukittinggi, dalam usia 87 tahun.
Beberapa
bulan setelah itu, 26 Januari 1948 (14 Rabi’ul awal 1366 H), teman
akrab Inyik Djambek dalam berdakwah, yakni Inyik Syekh Daud Rasyidy
(terkenal dengan sebutan Inyik Daud, ayah Buya Datuk Palimo Kayo),
meninggal dunia pula di Surau Inyik Djambek di Tangah Sawah ini, ketika
mengimami shalat maghrib, dan besoknya dikuburkan di samping makamnya
Inyik Djambek. Itulah sebabnya sampai sekarang ini, kita dapati makam
kembar di samping surau Inyik Djambek ini.
1.Syekh
Djamil Djambek dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860. Terdapat
perbedaan pencatatan dalam Syekh Ahmad Khatib, ditulis Drs.Akhira
Nazwar, Pustaka Panjimas, Jakarta, Cet.I, Juli 1983, hal.53 disebut
tahun 1983. Tetapi dalam Riwayat Hidup dan Perjuangan Dua Puluh Ulama Besar Sumatera Barat, Padang,
Islamic Center Suimatera Barat, 1981,hal.55, dicatata tanggal dan tahun
kelahiran Inyik Djambek 13 Sya’ban 1279 H./1862 M Sebenarnya yang tepat
adalah 4 Januari 1863 M, tulis DrsEdwar dkk. Mengutip Ensiklopedi Islam
Indonesia (EII), Jakarta Djambatan, 2002, Cet.2 ed. Revisi,
hal.520-521,Syekh Djamil Djambek lahir 1860, dan meninggal 30 Desember
1947/18 Sfafar 1366 H, di Bukittinggi, dalam usia 87 tahun.
2.Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Jakarta, LP3ES, 1980, hal.38
3.Syekh
Djamil Djambek dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860 , anak dari
Muhammad Saleh Datuk Maleka, Kepala Nagari Kurai. Ibunya berasal dari
Betawi. Syekh Djamil Djambek meninggal tahun 1947 di Bukittinggi.
4.Haji Rasul lahir di Sungai Batang, Maninjau, tahun 1879, anak seorang ulama Syekh Muhammad Amarullah gelar Tuanku Kisai. Pada 1894, pergi ke Mekah, belajar selama 7 tahun. Sekembali dari Mekah, diberi gelar Tuanku Syekh Nan Mudo.
Kemudian kembali bermukim di Mekah sampai tahun 1906, memberi pelajaran
di Mekah, di antara murid-muridnya termasuk Ibrahim Musa dari Parabek,
yang menjadi seorang pendukung terpenting dari pembaruan pemikiran Islam
di Minangkabau. Haji Rasul meninggal di jakarta 2 Juni 1945
5.Haji
Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878, anak dari Haji
Ahmad, seorang ulama dan pedagang. Ibunya berasal dari Bengkulu, masih
trah dari pengikut pejuang Sentot Ali Basyah.