RANAH MINANG

Mounting created Bloggif Mounting created Bloggif

Minggu, 29 Januari 2012

bersumpah di bawah Al-Quran,

“Mau sumpah di bawah Al Quran?” gertak yang merasa dicurangi.Jika yang dituduh berbuat curang benar-benar tidak melakukan kecurangan, maka ia akan menjawab dengan sebuah ketegasan. Mau! Ia akan menjawab tanpa  gentar sedikit pun. Lama kelamaan, ada yang berlahan mulai berani “menantang” gertakan tersebut. Berani menerima tantangan untuk bersumpah di bawah Al-Quran, sebab ia tahu kalau tantangan bersumpah itu tidak akan pernah terjadi.

Pada periode berikutnya, tantangan untuk bersumpah lebih diperkeras. Bagi mereka yang berbuat curang, ditantang untuk bersumpah menginjak Al-Quran. Hop! Ancaman itu manjur. Jangankan melakukannya, mendengar saja sudah membuat bulu tengkuk berdiri. Benar-benar menakutkan jika hal itu terjadi.

Sekali pun di masa itu saya dan kawan-kawan tergolong  banyak parangai, namun sedikit banyaknya tetap tahu kalau Al-Quran tak boleh disepelekan. Pelajaran dan pemahaman yang diberikan selama mengaji di surau, saya rasa cukup mampu untuk membentengi diri. Tidak semau-maunya terhadap Al-Quran.

Jika masih ada di antara kami yang tetap “ngotot” untuk berprilaku curang, jahat dan menang sendiri, maka biasanya kami akan memberondongnya dengan kalimat yang lebih menghunjam.
Kami akan menyebutnya sebagai orang yang tak beragama; urang indak baugamo.

Jika itu sudah ditujukan pada seorang kawan, maka ketika itu juga ia akan ditinggalkan oleh yang lain. Semua akan kembali seperti sedia kala jika ia menyadari kesalahannya dan meminta maaf kepada yang main ketika itu. Setelah itu semuanya kembali seperti semula.

Tudahan sebagai urang indak baugamo —sekali pun tuduhan sesaat dan hanya pada saat permainan yang dicurangi ketika itu saja— namun tetap saja menjadi bumerang bagi yang curang, sekaligus senjata bagi yang lain agar tak dicurangi.

Dua ancaman itu sangat kuat untuk membentengi permainan agar tak ada yang curang. Saya sempat berpikir, sampai kapan pun tak akan ada yang berani menginjak Al-Quran untuk bersumpah -—kecuali bersumpah di bawah Al-Quran— dan hidup tanpa tuntunan agama.

Kebiasaan saat di surau sangat mengagungkan Al-Quran. Dipegang dengan tangan kanan, didekapkan di dada. Usai mengaji, setelah menutup Al-Quran, juga tak lupa mencium dan kemudian meletakan sejenak di kening.

Dugaan saya meleset 30-an tahun kemudian. Kejadian di SMAN 1 Kabupaten Pasaman, dan keputusan salah seorang PNS di Dharmasraya untuk menganut paham atheis (anti tuhan), sangatlah mengejutkan. Sangat menyentak.  

Di sekolah itu, seorang guru yang merasa diolok-olok sejumlah siswa, ternyata menghukum siswanya dengan perintah bersumpah dengan cara menginjak Al-Quran. Sebuah sumpah sangat keterlaluan yang diajukan seorang pendidik.
Sekali pun semuanya takut menginjak Al-Quran, namun karena merasa tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan sang guru, mereka dipaksa untuk tetap bersumpah dengan cara menginjak Al-Quran sembari tetap memakai sepatu. Konon sejak kejadian, tunas muda bangsa itu mengalami trauma. Kejiwaan mereka terguncang.

Di tahun 1999 lalu, negeri ini juga dikejutkan kejadian buruk terkait agama. Seorang pelajar MAN di Padang dibaptis untuk  pindah agama ke Kristen.  Konon salah seorang aktor kristenisasi itu juga putra daerah. Sejak kejadian itu, di beberapa tempat di Sumbar, mencuat persoalan kristenisasi.

Pertanda apakah ini? Sebuah persoalan besar ternyata sudah menghadang di depan mata. Jika dianalogikan, ternyata api dalam sekam itu sudah membara. Berlahan sekam yang ada sudah mulai gosong.
Itu artinya, bukan tidak mungkin persoalan-persoalan lain, mungkin lebih buruk lagi, akan dan sedang berlangsung dalam kehidupan masyarakat, terutama di lapisan akar rumput. Nilai-nilai kehidupan beragama di negeri ini sudah terkikis.

Memang ilustrasi yang terjadi sepekan ini hanya dua kejadian, tetapi bukan tidak mungkin persoalan yang lebih parah akan dan sedang berlangsung. Bisa saja tidak muncul kepermukaan karena belum terungkap. Sekali terungkap membuat semua terbelalak. *

Tidak ada komentar: