Orang minang
memang sudah lama menjadi pedagang. Tapi sistem berdagang mereka masih
bersifat tradisional: mereka menyimpan uang dan emas dalam peti atau
karung yang disembunyikan di tempat yang aman di kedai atau di rumah.
Mereka amat jarang berurusan dengan bank dan asuransi. Akibatnya, jika
terjadi kebakaran, misalnya, uang dan harta benda mereka habis tandas
dilalap “sigulambai”, seperti dicatat dalamKitab Sjair Pasar Kampoeng Djawa Padang terbakar pada 5 Juli 1904 oleh Mohamad Thahar galar Radja Mangkoeta (Padang: De Volharding, 1906): Habis segala barang dagangan /oeang dan emas beriboe etongan / Tidak berapa dapat pertoeloengan / menjadi<h>aboe sampai bilangan (hal.2).
Sampai kemudian di tahun 1930-an muncul gagasan dari seorang putra
Minang untuk mendirikan bank guna memajukan usaha perdagangan dan
perekonomian urang awak. Dialah Anwar St. Saidi.
Lahir di Sungai Puar tanggal 19 April 1910, pendidikan formal Anwar St. Saidi tidaklah tinggi benar: setelah tamat sekolah dasar 5 tahun (Goevernement 2de klas)
di Payakumbuh, Anwar, sebagaimana biasanya pemuda-pemuda Sungai Puar,
terjun ke dalam usaha dagang dan kerajinan. Ia berdagang kain di kota
Bukittinggi.
Usaha
dagang Anwar beroleh kemajuan. Pada tahun 1920-an ia ulang-alik ke Jawa
mengurus bisnisnya. Angin nasionalisme yang sedang berhembus kencang
pada waktu itu juga membakar jiwa pemuda Anwar. Pada masa itu semangat
nasionalisme bisa menghinggapi jiwa kaum muda yang berpikiran maju, baik
mereka yang berpendidikan akademis maupun yang bergerak di jalur
swasta, misalnya perdagangan, seperti yang ditunjukkan oleh pemuda Awar.
Sambil mengurus bisnisnya ke Jawa, Anwar berhubungan dengan Dr. Soetomo yang
pada tahun 1929 mendirikan Maskapai Dagang Indonesia dan Bank Nasional
Indonesia di Surabaya. Tujuannya untuk memajukan perekonomian rakyat
yang tertindas di bawah penjajahan Belanda. Pemuda Anwar belajar kepada
Dr. Soetomo mengenai seluk-beluk dunia perbankan, dan ia ingin
mengaplikasikannya di kampung halamannya sendiri di Sumatra Barat. Untuk
mewujudkan cita-citanya itu, anwar lalu menghubungi para saudagar
anggota H.S.I. (Himpunan Saudagar Indonesia) di Bukittinggi. Kepada
mereka Anwar mengutarakan maksudnya untuk mendirikan bank, mengikut
model yang dibuat oleh Dr. Soetomo di Jawa.
H.S.I. menyetujui ide Anwar itu. Lalu dibentuklah Panitia Sementara (Voorlopig Committee) yang terdiri dari 10 orang, yaitu H. Mohd. Jatim, M. Dt. Mangulak Basa,
H. Sjamsuddin, H. Mohd. Thaher, H.M.S. Sulaiman, Djamin Tk. Mudo, H.
Sjarkawi Chalidi, Rasjid St. Tumanggung, Malin Sulaiman, dan Anwar
sendiri yang berusia paling muda. Tugas panitia itu mempersiapkan dan
membentuk bank yang dicita-citakan itu.
Anwar mengusulkan agar semua anggota Voorlopig Committee langsung menjadi pendiri (oprichter) bank itu, dengan menyetor modal masing-masing sebanyak Rp.5000,- sehingga terkumpul modal sebanyak Rp. 50.000,- uang masa itu.
Rupanya
anggota Panitia yang lain tidak menyanggupi. Namun, Anwar tetap pada
pendiriannya: sebanyak itulah minimal modal awal untuk mendirikan sebuah
bank. Jumlah itu pun sebenarnya masih kecil, jauh lebih kecil dari
jumlah modal milik bank-bank bangsa asing ketika itu yang punya modal
ratusan ribu dan jutaan rupiah. Dalam salah satu rapat Panitia malah
terlihat kecurigaan generasi tua terhadap generasi muda.
Akhirnya dicapai suatu konsensus: diusulkan buat sementara mendirikanAbuan Saudagar,
menjelang didapat modal sebanyak yang dibutuhkan. Anwar setuju, paling
tidak sebagai langkah awal menuju pendirian bank yang dicita-citakannya.
Abuan Saudagar segera terbentuk, sekalian dengan pengurusnya: 5 orang
dari kalangan Panitia 10, termasuk Anwar yang menjadi sekretaris,
sedangkan seorang komisaris bukan berasal dari pendiri, yaitu Buyung St.
Burhaman.
Bank yang dicita-citakan Anwar akhirnya terbentuk juga, yang diberi namaBank Nasional, seperti nama bank yang dibentuk Dr. Soetomo di Jawa. Bank Nasional milik urang awak itu resmi berdiri tanggal 27 Desember 1930 diBukittinggi,
yang direstui oleh Dr. Soetomo dan juga oleh Bung Hatta. Ketika beliau
kembali dari pembuangan di Bandaneira, Bung Hatta bersedia mendidik tiga
kader Bank Nasional, yaitu Munir, Bachtul Nazar, dan Damanoeri.
Tahun
1930-an Anwar berkali-kali diangkat menjadi direktur Bank Nasional yang
dirintisnya itu. Tahun 1938 ia memprakarsai berdirinya empat perusahaan
yaitu, P.T. Inkorba, P.T. Bumi Putera, P.T. Andalas, dan P.T. Fort de
Kock. Dalam usaha memajukan perekonomian nasional, Anwar didampingi oleh
Chatib Sulaiman, Mr. Nasrun, dll.
Anwar juga mendirikan sekolah Taman Siswa di Bukittinggi. Gedungnya diberi nama Balairung Nasional (letaknya di komplek S.a.A. dulu), yang diresmikan oleh pantolan gerakan nasional, M. Yamin.
Bank
Nasional dan bisnis Anwar beroleh kemajuan. Tetapi pilitik mengalami
instabilitas lagi menyusul meletusnya Perang Dunia ke-2. Jepang menyerbu
Indonesia, termasuk Bukittinggi. Mereka menangkapi para pemimpin
pergerakan nasional, termasuk Anwar St. Saidi. Namun kemudian Anwar
dibebaskan atas bantuan Bung Karno yang kebetulan waktu itu berada di
Sumatra Barat.
Di
zaman perang itu kegiatan Bank Nasional terus berlanjut. Karena ancaman
inflasi di zaman Jepang, modal Bank Nasional coba diselamatkan dengan
menjadikannya emas dan benda tetap (bangunan, tanah, dll). Pilihan itu
ternyata tepat; inflasi melambung dan banyak bank swasta gulung tikar.
Anwar bersikap anti Jepang. Ketika teman-temannya, seperti M. Sjafei dan Khatib Sulaiman, mendirikan Gyugun (Laskar Rakyat) yang membantu Jepang, Anwar menolak untuk ikut. Tetapi setelah Gyugun diubah
menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) setelah proklamasi, Anwar dan
Bank Nasional aktif memberikan dukungan moral dan keuangan. Selepas
Jepang pergi, Anwar duduk sebagai Eksekutif Komite Nasional Indonesia
(KNI) Sumatra Barat, mendampingi Dr. Djamil dan Mr. St. Mohd. Rasjid.
Pada
masa revolusi fisik Anwar terjun ke dalam bisnis percetakan: ia
mendirikan Percetakan Nusantara. Percetakan ini antara lain menerbitkan
buku-buku Tan Malaka, bekerja sama dengan Bagian Penerangan Divisi
Banteng.
Anwar
juga pernah diculik oleh sekelompok Pembanteras Anti Kemerdekaan
Indonesia (PAKI), tapi kemudian dibebaskan oleh TNI atas perintah
Kolonel Ismail Lengah. Penculikan itu dilakukan atas hasutan Buya Saalah
St. Mangkuto, yang kemudian diadili karena kesalahaannya itu. Waktu itu
terjadi perselisihan tajam di antara kelompok-kelompok laskar pejuang
republik di Sumatra Barat, yang puncaknya dikenal sebagai Peristiwa 3
Maret (lihat: Audrey R. Kahin, “Some Preliminary Observations on West
Sumatra during the Revolution”, Indonesia 18
[October 1974]: 77-117 [pada hal.95-8]). Namun, kemudian laskar-laskar
pejuang bersatu lagi menghadapi Agresi Militer Belanda I. Anwar dan Buya
Saalah St. Mangkuto malah bahu-membahu melawan Belanda yang hendak
menjajah Indonesia kembali.
Setelah
Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, Anwar kembali membenahi
Bank Nasional, dibantu oleh Dt. Pamuncak. Tahun 1951 bank itu sudah
berperasi kembali, dan menunjukkan perkembangan: neraca bank itu per
Desember 1957 mencatat angka sebanyak kurang lebih Rp. 66 juta.
Badan-badan usaha yang dikelola Bank Nasional juga dibenahinya: N.V.
Inkorba dijadikan perusahaan induk yang membawahi N.V. Candi Minang dan
N.V. Nusantara.
Anwar
juga membangun Hotel Minang di Bukittinggi dan di tepian Danau
Maninjau. Walaupun punya banyak uang ia tidak membeli tanah rakyat di
tepian Danau Maninjau itu, tapi tetap menyewanya, agar ekonomi rakyat
tetap hidup (Sastri Sunarti, email 10-07-2006). Kemudian ia membenahi
Percetakan Nusantara dengan menyertakan saham-saham bumiputera.
Percetakan ini kemudian menjadi yang terbesar di Sumatra Tengah.
Instabilitas
politik kembali terjadi di Sumatra Barat menyusul peristiwa PRRI, yang
berdampak kepada bisnis Anwar dan Bank Nasional. Jika instabilitas
politik terjadi, Anwar biasanya ‘meloncat’ ke bidang politik. Tahun 1960
Anwar ditunjuk menjadi angota DEPERNAS (Dewan Perancang Nasional)
sebagai tenaga ahli. Karena keahliannya di bidang ekonomi, Anwar
kemudian diangkat pula menjadi anggota MPRS. Namun, naluri bisnisnya
tetap hidup: tahun 1964 ia terjun ke bisnis tekstil, antara lain dengan
mengaktifkan kembali pabrik tenun TPA (Tenun Padang Asli) yang sudah
lama ditutup.
Pada
akhir 1990-an, di zaman Gubernur Hasan Basri Durin, aset Bank Nasional
yang dirintisnya diambil alih oleh Grup Bakri, namanya berubah menjadi
Bank Nusa Bakri Group. Di salah satu situs internet urang awak saya
baca sebuah surat pembaca: inilah salah satu ‘dosa’ Hasan Basri Durin,
yaitu merestui pengambilalihan Bank Nasional oleh Grup Bakrie.
Gelombang
ekonomi dan politik telah menarik sebagian besar hidup Anwar St. Saidi.
Sumbangsihnya terhadap Indonesia, Sumatra Barat khususnya, cukup besar,
baik di bidang ekonomi maupun politik (lihat: Audrey R. Kahin,
“Repression and Regroupment: Religious and Nationalist Organizations in
West Sumatra in the 1930s”, Indonesia 38 [October 1984]: 39-54).
Anwar
St. Saidi adalah pengusaha yang rendah hati: di ulang tahunnya ke-60
tahun 1970 di kartu undangan ditulisnya: “tak usah membawa karangan
bunga”. Beliau meninggal di Padang bulan Juni 1976. Penulisan biografi singkat beliau ini, dan juga fotonya ini, sebagian besar merujuk kepada tulisan Aziz Thaib dkk., yaitu Buku Peringatan 40 Tahun P.T. Bank Nasional(Bukittinggi:
P.T. Bank Nasional, 1970:349-51). Anwar St. Saidi dan Bank Nasional
yang dirintisnya adalah bagian dari jejak sejarah Minang yang harus
dicatat dalam Ensiklopedi Minangkabau.
Suryadi
Dosen dan peneliti pada Dept. of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania Leiden University, Belanda ( s.suryadi at let.leidenuniv.nl)
1 komentar:
spesialis yg terbaik diminang
Posting Komentar