RANAH MINANG

Mounting created Bloggif Mounting created Bloggif

Jumat, 06 Januari 2012

Sandal Buat Kapolri

Jika rasa keadilan massal telah terusik maka terjadilah perlawanan massal yang tak bisa terlawan oleh senjata apa pun. Sehebat-hebat Napoleon Bonaparte dengan prajuritnya, ia ternyata takut juga dengan kegiatan massal.
“Saya tak takut dengan seribu bayonet, tapi saya takut dengan sebuah pena jurnalis,” kira-kira begitu kata Napoleon suatu waktu. Pena jurnalis adalah kegiatan individu yang berakibat massal.
Kasus siswa SMK Palu yang diancam hukuman 5 tahun telah mengusik rasa keadilan massa. Mencuri harus dihukum, tapi logika hukum harus punya nurani. Tidak barang mati. Aksi main hakim sendiri juga tidak bisa diterima, apalagi oleh seorang aparat hukum.
Media massa memang tempat menjadi “sandaran” akhir keluh kesah massa. Inilah tempat yang paling nyaman menyampaikan aspirasi dan inspirasi, ketika lembaga negara tak memberi tempat alias buntu. Kasus pencurian sandal ini menyusul kasus Prita vs RS Omni. Koin Prita telah membuka mata massa, tak dapat dilawan melalui hukum, cari lain masih ada. Yang penting, lawan penindasan yang terjadi.
Sandal buat Kapolri yang dikumpulkan oleh berbagai kalangan di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah salah satu bentuk perlawanan sekaligus penghinaan ketika rasa keadilan itu telah tertindas. Ini menunjukkan, kesewenang-wenangan tidak lagi mendapat tempat di bumi pertiwi.
Sandal buat Kapolri adalah pukulan dari teriak perlawanan yang dilakukan ketika sebuah lembaga yang seharusnya mengayomi masyarakat tetapi menekan masyarakat. Kasus Bima, Kasus Siswa SMK, kasus Sawahlunto, adalah

rentetan kasus yang membuat titik cetus perlawanan massal terhadap lembaga kepolisian. Polri memang sedang merasakan betapa citra kepolisian belum mampu terangkat sebagaimana mestinya. Hal ini karena ulah segelintir dari individu lembaga tersebut.
Petinggi Polri selama ini telah mahir memainkan logika bahwa visi dan misi Polri di tengah masyarakat sudah berjalan dengan sebaiknya. Tetapi, kenyataan yang tak dapat dibantah, lewat video amatir peristiwa Bima, dan proses hukum siswa SMKA, nyata sudah, apa yang telah disosialisasikan ke masyarakat tidak sesuai dengan kenyataan. Hanya pemanis bibir.
Di era teknologi informasi saat ini, massa tidak mengadu kepada pemerintah yang nota bene tempat mengadu resmi. Kini, tempat menyalurkan seluruh persoalan itu kepada media massa dan media sosial. Sebab, itulah jalan cepat ketika lembaga pemerintahan memberi banyak prosedur yang di luar nalar sehat kita.
Lembaga pemerintah selalu lamban memahami logika demokratisasi dan kebebasan yang terbangun di tengah masyarakat hari ini. Kecenderungan memainkan peran arogansi sebagai warga kelas satu menunjukkan mental penjajah masih tersimpan rapi di hati mereka yang sedang menjabat.
Kita tak menafikan, khusus di Polri, masih ada pejabat dan aparatur yang memiliki nurani. Mencoba untuk merubah diri dan merubah lembaganya. Namun tidak mudah memang. Sulit sekali merubah yang sudah mendarah daging.
Agaknya, mesti menjadi pelajaran bahwa apapun alasan penindasan, bila sudah berlebihan akan menerima akibat yang paling berbahaya; Gerakan Massal mengutuk dan menghina sesiapa yang tidak lagi memakai logika dan jiwa dalam bertindak.
Institusi memiliki kecenderungan membuat kekeliruan dalam bertindak karena ia berhubungan langsung dengan sifat kekuasaan; cenderung disalahgunakan. Kekeliruan itu bisa dibuat oleh individu maupun oleh institusi tersebut. Kekeliruan ini terjadi ketika pemahaman terhadap keberadaan institusi tersebut sebagai “jagoan” terhadap individu. Hal demikian juga diperbuat oleh negara.
Sandal untuk Kapolri adalah bentuk perlawanan massal yang terus akan terjadi ketika sebuah lembaga tidak menyadari apa yang sedang dilakukan oleh oknum di dalamnya.
Bagi rakyat, ketika sesuatu tak bisa dilawan dengan fisik dan logika, maka lewat gerakan moral pun jadi juga. Pun kadang melalui puisi. Meminjam puisi Widji Tukul, penyair yang hilang di masa bagalau reformasi; Hanya satu kata, lawan! Puisi yang kuat untuk menyatakan perlawanan. (*)
Penulis, wartawan dan dosen

Tidak ada komentar: