Enam vaksinator itu Anthony, Eka Rina Yuliana, Surya Ade Saputra, Rahmi
Darwati, Gusman Efendi, dan Susi Suheni. Meski terjadi perbedaan
pendapat hakim, vonis ini merupakan vonis bebas pertama di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi Padang.
“Keenam terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan ikut melakukan tindak pidana korupsi pengadaan vaksin flu burung seperti yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum. Oleh karena itu majelis hakim berpendapat bahwa keenam terdakwa harus dibebaskan dan dipulihkan kembali nama dan martabatnya, serta biaya perkara ditanggung negara,” jelas Imam Syafii didampingi hakim Kamijon dan M. Takdir.
Sebelumnya lima dari enam vaksinator ini dituntut 1,5 tahun penjara, dan khusus untuk terdakwa Susi Suheni dituntut dua tahun penjara karena diduga membuat laporan palsu dari hasil kegiatan.
“Mereka telah melakukan pekerjaan sesuai tanggung jawab. Mereka juga telah mengorbankan kepentingan pribadi untuk kepentingan umum. Jika memang terbukti ada pengadaan vaksin palsu itu tidak menjadi tanggung jawab vaksinator yang bekerja di bawah tekanan atasannya (Hariyeni, terdakwa yang perkaranya sudah diputus-red),” jelas Imam Syafei.
Selain itu, proses penanggulangan flu burung juga dikerjakan dengan tuntas dan berhasil. Dalam pengerjaannya, para terdakwa juga dinilai tidak mendapatkan keuntungan. Artinya, tidak ada uang negara yang dikorupsi enam terdakwa. “Penanggulangan juga berhasil. Oleh karena itu, para terdakwa divonis bebas,” sambung hakim Kamijon.
Dalam pendapatnya yang berbeda (dissenting opinion) hakim M Takdir menyatakan bahwa terdakwa tetap bersalah mengikuti perintah atasannya. “Mestinya para terdakwa bisa menolak permintaan atasannya dan melaporkan sang atasan ke polisi,” katanya.
Disambut Haru
Putusan bebas tersebut, langsung disambut haru para terdakwa. Mereka saling berpelukan menangis dan kemudian tertawa bahagia. “Doa kami didengar Tuhan. Ini suatu keadilan. Kami tidak pernah berbuat salah. Hanya bekerja sesuai perintah atasan,” tutur Susi Suheni, satu dari enam terdakwa, yang saat divonis sedang hamil tujuh bulan.
Tidak hanya keenam terdakwa yang larut dalam kesedihan. Pengunjung sidang turut terharu. Ada yang juga menangis. Diam sembari menatap terdakwa, ada pula yang berteriak Allahuakbar. Mereka bahagia, dengan putusan yang dikeluarkan hakim.
Meski berbeda, M Takdir sebenarnya setuju, keenamnya dikeluarkan dari tahanan. “Keenamnya, sudah layak untuk tidak ditahan. Tapi, ada beberapa poin yang semestinya dipertanggungjawabkan,” ungkap M Takdir.
Mendengar putusan hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU) berpikir untuk melakukan banding. “Kami minta waktu berpikir selama 7 hari,” kata Jaksa R. Simanjuntak.
Sementara penasihat hukum para terdakwa menilai ini adalah putusan yang adil. “Dari awal saya mau mendampingi keenam terdakwa ini karena saya melihat mereka memang tidak melakukan kesalahan. Mereka hanya dipaksa untuk melakukan kegiatan tersebut dan diancam jika tidak mau akan dipindahkan,” kata Syahril.
Dari delapan terdakwa dalam kasus ini, dua di antaranya divonis bersalah. Terdakwa pertama, Hariyeni divonis dua tahun penjara dan dipidana denda sebesar Rp50 juta subsidair dua bulan kurungan penjara, serta diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp39,8 juta.
Terdakwa kedua, untuk berkas Wilson Fitriadi, direktur CV Manganti selaku rekanan untuk penyediaan barang dan jasa divonis satu tahun kurungan penjara dan denda uang sebesar Rp50 juta subsider dua bulan kurungan serta dikenakan uang pengganti sebesar Rp24,9 juta.
Para terdakwa dalam pembelaannya berjudul “Rintihan di Ujung Pengabdian’, mengaku tidak menyangka, pengabdian dalam menyelamatkan nyawa manusia berbuah penjara. Keenamnya menyebutkan kegiatan yang mereka lakukan adalah vaksinasi, rapid test, biosekuriti, pengambilan sampel, depopulasi dan monitoring.
Terkait pendistribusian vaksin avian influanzayang dilaporkan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, sehingga terjadi selisih sebanyak 71.800 dosis dengan nilai Rp18,4 juta, para terdakwa dalam keterangannya juga menyebutkan tidak mengetahui adanya biaya operasional vaksinitator dari Dinas Peternakan Provinsi Sumbar, dan hal ini juga tidak diketahui Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Payakumbuh, Gazali Madjid.
“Keenam terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan ikut melakukan tindak pidana korupsi pengadaan vaksin flu burung seperti yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum. Oleh karena itu majelis hakim berpendapat bahwa keenam terdakwa harus dibebaskan dan dipulihkan kembali nama dan martabatnya, serta biaya perkara ditanggung negara,” jelas Imam Syafii didampingi hakim Kamijon dan M. Takdir.
Sebelumnya lima dari enam vaksinator ini dituntut 1,5 tahun penjara, dan khusus untuk terdakwa Susi Suheni dituntut dua tahun penjara karena diduga membuat laporan palsu dari hasil kegiatan.
“Mereka telah melakukan pekerjaan sesuai tanggung jawab. Mereka juga telah mengorbankan kepentingan pribadi untuk kepentingan umum. Jika memang terbukti ada pengadaan vaksin palsu itu tidak menjadi tanggung jawab vaksinator yang bekerja di bawah tekanan atasannya (Hariyeni, terdakwa yang perkaranya sudah diputus-red),” jelas Imam Syafei.
Selain itu, proses penanggulangan flu burung juga dikerjakan dengan tuntas dan berhasil. Dalam pengerjaannya, para terdakwa juga dinilai tidak mendapatkan keuntungan. Artinya, tidak ada uang negara yang dikorupsi enam terdakwa. “Penanggulangan juga berhasil. Oleh karena itu, para terdakwa divonis bebas,” sambung hakim Kamijon.
Dalam pendapatnya yang berbeda (dissenting opinion) hakim M Takdir menyatakan bahwa terdakwa tetap bersalah mengikuti perintah atasannya. “Mestinya para terdakwa bisa menolak permintaan atasannya dan melaporkan sang atasan ke polisi,” katanya.
Disambut Haru
Putusan bebas tersebut, langsung disambut haru para terdakwa. Mereka saling berpelukan menangis dan kemudian tertawa bahagia. “Doa kami didengar Tuhan. Ini suatu keadilan. Kami tidak pernah berbuat salah. Hanya bekerja sesuai perintah atasan,” tutur Susi Suheni, satu dari enam terdakwa, yang saat divonis sedang hamil tujuh bulan.
Tidak hanya keenam terdakwa yang larut dalam kesedihan. Pengunjung sidang turut terharu. Ada yang juga menangis. Diam sembari menatap terdakwa, ada pula yang berteriak Allahuakbar. Mereka bahagia, dengan putusan yang dikeluarkan hakim.
Meski berbeda, M Takdir sebenarnya setuju, keenamnya dikeluarkan dari tahanan. “Keenamnya, sudah layak untuk tidak ditahan. Tapi, ada beberapa poin yang semestinya dipertanggungjawabkan,” ungkap M Takdir.
Mendengar putusan hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU) berpikir untuk melakukan banding. “Kami minta waktu berpikir selama 7 hari,” kata Jaksa R. Simanjuntak.
Sementara penasihat hukum para terdakwa menilai ini adalah putusan yang adil. “Dari awal saya mau mendampingi keenam terdakwa ini karena saya melihat mereka memang tidak melakukan kesalahan. Mereka hanya dipaksa untuk melakukan kegiatan tersebut dan diancam jika tidak mau akan dipindahkan,” kata Syahril.
Dari delapan terdakwa dalam kasus ini, dua di antaranya divonis bersalah. Terdakwa pertama, Hariyeni divonis dua tahun penjara dan dipidana denda sebesar Rp50 juta subsidair dua bulan kurungan penjara, serta diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp39,8 juta.
Terdakwa kedua, untuk berkas Wilson Fitriadi, direktur CV Manganti selaku rekanan untuk penyediaan barang dan jasa divonis satu tahun kurungan penjara dan denda uang sebesar Rp50 juta subsider dua bulan kurungan serta dikenakan uang pengganti sebesar Rp24,9 juta.
Para terdakwa dalam pembelaannya berjudul “Rintihan di Ujung Pengabdian’, mengaku tidak menyangka, pengabdian dalam menyelamatkan nyawa manusia berbuah penjara. Keenamnya menyebutkan kegiatan yang mereka lakukan adalah vaksinasi, rapid test, biosekuriti, pengambilan sampel, depopulasi dan monitoring.
Terkait pendistribusian vaksin avian influanzayang dilaporkan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, sehingga terjadi selisih sebanyak 71.800 dosis dengan nilai Rp18,4 juta, para terdakwa dalam keterangannya juga menyebutkan tidak mengetahui adanya biaya operasional vaksinitator dari Dinas Peternakan Provinsi Sumbar, dan hal ini juga tidak diketahui Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Payakumbuh, Gazali Madjid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar