Maatua atok adalah kegiatan berkarya orang Minang sejak 'saisuak', yaitu
merangkai daun-daun rumbia menjadi lembaran-lembaran atap yang nantinya
bisa dipakai sebagai atap rumah, gubuk, gazebo atau kajang dan
sebagainya.
Saisuak (dahulu), orang memanfaatkan daun rumbia sebagai bahan utama untuk atap rumah. Hal itu masih bisa kita dapatkan di beberapa rumah tua di Pesisir Selatan. Tidak banyak memang, karena saat ini orang yang memakai atap dari daun rumbia untuk rumah hanya karena alasan ekonomi, dimana kemampuan untuk membeli seng atau atap berbahan logam lainnya yang berkualitas baik serta harganya pun mahal itu tidak terjangkau.
Bukan berarti tren pemakaian atap rumbia cenderung menurun, tren itu bergeser bukan karena alasan ekonomi melainkan karena estetika dan efek nyaman yang ditimbulkan bila memakai atap berbahan alamiah.
Masih banyaknya pemakaian atap daun ini, tentunya produsen pembuatan atap daun ini masih tetap berpeluang untuk berkembang. Pertanyaannya, masih banyakkah orang yang terampil melakukan pengerjaan maatua atok tau manjaik rumbio ? Rupanya pertanyaan itu yang ingin dijawab oleh Desrian dalam sebuah hasil jepretannya, berjudul Manjaik Rumbio. Desrian membidik seorang wanita baya yang tengah bekerja membuat atap dari daun rumbia. Seakan Rian, panggilan akrab fotografer ini, mengemukakan kenyataan bahwa hanya seorang wanita tua saja yang piawai maatua atok saat ini.
Kepiawaian itu tidak lagi diteruskan oleh generasi berikutnya seiring berkembangnya kemajuan zaman, dimana generasi tidak tertarik dengan kreativitas konvensional semacam itu. Generasi lebih meikirkan hal-hal baru yang lebih inovatif dan praktis.
Maatua atok, bukanlah pekerjaan gampang karena butuh ketelatenan saat menjahit dan menyusun helai per helai daun rumbia agar dapat menghasilkan selembar atap daun yang baik. Belum lagi proses mencari bahan-bahan, dulu tukang atua atok (pengrajin atap daun) melakukan pencarian bahan sendiri, mulai mengambil daun rumbia di daerah rawa-rawa hingga mengangkut ke lokasi pembuatan dikerjakan sendiri. Belum lagi mencari bambu yang dipakai sebagai tulangnya. Biasanya mencari rotan yang dipakai untuk menjahit juga dicari sendiri hingga di tengah hutan yang jauh.
Zaman sekarang tentu tidak lagi sesulit itu karena daun rumbia bisa diambil dengan bantuan alat yang lebih canggih lalu diangkut memakai kendaraan hingga tiba di tempat produksi. Hanya saja ketersedian bahan semakin terbatas karena menyempitnya lahan rawa tempat rumbia biasanya tumbuh.
Di kota Padang memang masih terdapat penjahit atap daun rumbia, di kampung Jambak, kelurahan Batipuh Panjang, kecamatanm Koto Tangah. Di rumah M Junir, bapak berusia 68 tahun tersebut memang mempekerjakan orang untuk membuat atap daun.
Menurut M Junir dia telah bertahan hampir 35 tahun melakoni usaha menjahit atap. Semenjak dia masih bujangan hingga sepuh sekarang ini. Anak-anaknya disekolahkan dari hasil maatua atok.
“Saat ini atok salai (sehelai) dijual 3000, “kata M jUnir mengungkapkan harga jualnya.
Persis seperti dibidik Rian, tampak seorang wanita baya yang tengah maatua atok di bawah gubuk sederhana diantara tumpukan atap daun yang telah jadi. Sebenarnya pada pojok lain masih ada dua orang lagi pekerja M Junir yang tengah beraktivitas sama. Uniknya memang tidak ada pekerja yang muda di tempat M Junir ini.
"Di siko nan bakarajo urang gaek sadonyo (Di sini yang bekerja orang tua semua), anak muda tidak ada yang bisa. Apalagi anak gadis kini, gengsi inyo (gengsi dia) bakarajo iko (bekerja begini),"tutur M Junir diterjemahkan Len (30) putri ketiganya dengan istri Naryulis (58).
Ingatan saya (penulis) kembali dilontarkan ke suatu masa dan suatu tempat saat mencermati karya Rian. Suatu masa pada tahun 80-an di Tarusan, Pesisir selatan. Kala itu rumah nenek saya diperbaiki atapnya. Saat kecil itu saya melihat puluhan orang menjahit daun rumbia bersamaan pada malam hari di bawah sinar petromak. Saya tak kuat menyaksikan mereka hingga larut malam, saya tertidur di atas tumpukan atap. Ketika pagi terbangun saya kaget melihat 10 tumpuk atap yang menggunung. Oh, itu hasil semalam, desah saya tersadar.
Rian secara langsung telah mengungkit memori penikmat karyanya. Dia ungkit pula nilai budaya yang memudar di tengah masyarakat yaitu, kegotongroyongan.
Desrian, pemuda jebolan Universitas Negeri Padang itu seakan menggiring pikiran penikmat jepretannya bagi pengunjung pameran photo di Galeri Taman Budaya Sumatera Barat itu untuk sampai pada pemikiran yang jarang terlintas bagi pikiran banyak orang, yaitu membuat atap dari daun rumbia.
Pemuda kelahiran Sawahlunto tersebut menyampaikan pesan lewat karyanya bagi generasi sekarang. Lanjutkan kreatifitas orang tua tesrsebut dengan cara yang lebih maju untuk menghasilkan karya kontemporer sebagai kesinambungan budaya.
Poto karya Rian ditampilkan dalam pameran foto di Galeri Taman Budaya yang berlangsung sejak 19 April, rencananya akan berlangsung hingga akhir April 2012 ini. Pameran ini bertajuk Minangkabau Photographers presents West Sumatera: The Unknow.(Forum Penulis Seni)
Saisuak (dahulu), orang memanfaatkan daun rumbia sebagai bahan utama untuk atap rumah. Hal itu masih bisa kita dapatkan di beberapa rumah tua di Pesisir Selatan. Tidak banyak memang, karena saat ini orang yang memakai atap dari daun rumbia untuk rumah hanya karena alasan ekonomi, dimana kemampuan untuk membeli seng atau atap berbahan logam lainnya yang berkualitas baik serta harganya pun mahal itu tidak terjangkau.
Bukan berarti tren pemakaian atap rumbia cenderung menurun, tren itu bergeser bukan karena alasan ekonomi melainkan karena estetika dan efek nyaman yang ditimbulkan bila memakai atap berbahan alamiah.
Masih banyaknya pemakaian atap daun ini, tentunya produsen pembuatan atap daun ini masih tetap berpeluang untuk berkembang. Pertanyaannya, masih banyakkah orang yang terampil melakukan pengerjaan maatua atok tau manjaik rumbio ? Rupanya pertanyaan itu yang ingin dijawab oleh Desrian dalam sebuah hasil jepretannya, berjudul Manjaik Rumbio. Desrian membidik seorang wanita baya yang tengah bekerja membuat atap dari daun rumbia. Seakan Rian, panggilan akrab fotografer ini, mengemukakan kenyataan bahwa hanya seorang wanita tua saja yang piawai maatua atok saat ini.
Kepiawaian itu tidak lagi diteruskan oleh generasi berikutnya seiring berkembangnya kemajuan zaman, dimana generasi tidak tertarik dengan kreativitas konvensional semacam itu. Generasi lebih meikirkan hal-hal baru yang lebih inovatif dan praktis.
Maatua atok, bukanlah pekerjaan gampang karena butuh ketelatenan saat menjahit dan menyusun helai per helai daun rumbia agar dapat menghasilkan selembar atap daun yang baik. Belum lagi proses mencari bahan-bahan, dulu tukang atua atok (pengrajin atap daun) melakukan pencarian bahan sendiri, mulai mengambil daun rumbia di daerah rawa-rawa hingga mengangkut ke lokasi pembuatan dikerjakan sendiri. Belum lagi mencari bambu yang dipakai sebagai tulangnya. Biasanya mencari rotan yang dipakai untuk menjahit juga dicari sendiri hingga di tengah hutan yang jauh.
Zaman sekarang tentu tidak lagi sesulit itu karena daun rumbia bisa diambil dengan bantuan alat yang lebih canggih lalu diangkut memakai kendaraan hingga tiba di tempat produksi. Hanya saja ketersedian bahan semakin terbatas karena menyempitnya lahan rawa tempat rumbia biasanya tumbuh.
Di kota Padang memang masih terdapat penjahit atap daun rumbia, di kampung Jambak, kelurahan Batipuh Panjang, kecamatanm Koto Tangah. Di rumah M Junir, bapak berusia 68 tahun tersebut memang mempekerjakan orang untuk membuat atap daun.
Menurut M Junir dia telah bertahan hampir 35 tahun melakoni usaha menjahit atap. Semenjak dia masih bujangan hingga sepuh sekarang ini. Anak-anaknya disekolahkan dari hasil maatua atok.
“Saat ini atok salai (sehelai) dijual 3000, “kata M jUnir mengungkapkan harga jualnya.
Persis seperti dibidik Rian, tampak seorang wanita baya yang tengah maatua atok di bawah gubuk sederhana diantara tumpukan atap daun yang telah jadi. Sebenarnya pada pojok lain masih ada dua orang lagi pekerja M Junir yang tengah beraktivitas sama. Uniknya memang tidak ada pekerja yang muda di tempat M Junir ini.
"Di siko nan bakarajo urang gaek sadonyo (Di sini yang bekerja orang tua semua), anak muda tidak ada yang bisa. Apalagi anak gadis kini, gengsi inyo (gengsi dia) bakarajo iko (bekerja begini),"tutur M Junir diterjemahkan Len (30) putri ketiganya dengan istri Naryulis (58).
Ingatan saya (penulis) kembali dilontarkan ke suatu masa dan suatu tempat saat mencermati karya Rian. Suatu masa pada tahun 80-an di Tarusan, Pesisir selatan. Kala itu rumah nenek saya diperbaiki atapnya. Saat kecil itu saya melihat puluhan orang menjahit daun rumbia bersamaan pada malam hari di bawah sinar petromak. Saya tak kuat menyaksikan mereka hingga larut malam, saya tertidur di atas tumpukan atap. Ketika pagi terbangun saya kaget melihat 10 tumpuk atap yang menggunung. Oh, itu hasil semalam, desah saya tersadar.
Rian secara langsung telah mengungkit memori penikmat karyanya. Dia ungkit pula nilai budaya yang memudar di tengah masyarakat yaitu, kegotongroyongan.
Desrian, pemuda jebolan Universitas Negeri Padang itu seakan menggiring pikiran penikmat jepretannya bagi pengunjung pameran photo di Galeri Taman Budaya Sumatera Barat itu untuk sampai pada pemikiran yang jarang terlintas bagi pikiran banyak orang, yaitu membuat atap dari daun rumbia.
Pemuda kelahiran Sawahlunto tersebut menyampaikan pesan lewat karyanya bagi generasi sekarang. Lanjutkan kreatifitas orang tua tesrsebut dengan cara yang lebih maju untuk menghasilkan karya kontemporer sebagai kesinambungan budaya.
Poto karya Rian ditampilkan dalam pameran foto di Galeri Taman Budaya yang berlangsung sejak 19 April, rencananya akan berlangsung hingga akhir April 2012 ini. Pameran ini bertajuk Minangkabau Photographers presents West Sumatera: The Unknow.(Forum Penulis Seni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar