Faktor
kedekatan geografis dan kesamaan bahasa antara Indonesia dan Malaysia,
menjadikan keduanya dikenal dengan Negara serumpun. Di perbatasan,
teruatama wilayah Riau Kepulauan, terjadi mobilitas yang sangat tinggi
dari masing-masing. Jika dirunut jauh ke belakang, banyak kesamaan
antara kedua Negara yang sebenarnya dapat saling mengisi satu sama
lain. Tetapi seperti hubungan adik-kakak, terkadang hubungan ini
harmonis, sering juga miris.
Walaupun akhir-akhir ini sedang terjadi pergolakan politik di Malaysia, tapi aku sedang tidak membahas hal tersebut. Pada awal bulan Juli yang lalu, aku berkesempatan berkunjung ke Danau Maninjau di Sumatera Barat. Sekitar seminggu setelah kunjungan ke danau itu, terjadilah gejolak politik di Malaysia. Kemudian pada hari H (9 Juli) terjadinya demonstrasi besar itu, salah seorang keluargaku baru saja kembali dari Malaysia. Jadi, pekan pertamaku di bulan Juli ini dipenuhi dengan hal yang berbau Malaysia. Lalu apa hubungannya dengan Danau Maninjau yang indah itu? Begini ceritanya.
Sedikit bercerita, sekitar beberapa bulan yang lalu, aku mengikuti Program Pertukaran Pemuda yang membuatku bertemu dengan Bang Ahmad Fuadi, tepatnya pada penghujung bulan Desember 2010. Pertemuan itu terjadi karena beliau adalah alumni dari program yang aku ikuti saat itu, yang kemudian program tersebut menjadi inspirasi lahirnya novel berjudul “Ranah 3 Warna”. Setelah bersalaman dan sedikit bercerita dengan beliau, aku pun baru tau bahwa orang yang aku temui itu adalah pengarang Novel Negeri 5 Menara yang sangat laris tsb (promosi : menurut informasi, sekarang sedang digarap menjadi film :) ). Aku pun ingat kalau punya novel itu di rumah, tetapi baru baca bagian awalnya, cerita ketika tokoh Alif pergi meninggalkan kampungnya yang tenang di tepi Danau Maninjau, Sumatera Barat menuju PM Madani di Jawa Timur. Alif pergi jauh karena harus mengikuti keinginan Ibunya yang ingin Alif sekolah agama agar bisa menjadi seperti Buya Hamka, tokoh agama terkenal yang berasal dari kampungnya. Sedangkan Alif ingin menjadi Habibie (untuk cerita lebih lengkap, silahkan baca langsung di novelnya :D ).
Singkat cerita, berpindah kita ke awal bulan Juli 2011 yang lalu, ketika aku mengujungi Danau Maninjau yang indah itu. Bung Karno pun membuat pantun tentang danau itu.
Jika adik memakan pinang
Makanlah dengan sirih yang hijau
Jika adik pergi ke Minang
Janganlah lupa singgah ke Maninjau
Danau yang diceritakan dalam novel Ahmad Fuadi. Danau yang melahirkan seorang tokoh yang dianggap pemberontak oleh Negara ini, Buya Hamka. Sekaligus tokoh pemberani, 2 orang presiden dibantahnya, Soekarno dan Soeharto.
Perjalanan aku mulai dari Pekanbaru tempat ku tinggal, berjarak sekitar 7-8 jam jalan darat. Bisa jadi 9 jam, tergantung pada kondisi alam. Sebenarnya aku cukup sering berkunjung ke Sumatera Barat, tiap tahun minimal 1 kali. Tapi ke danau ini, baru kunjungan yang ke 3. Alasannya karena jika ingin kesana, harus melewati “pintu gerbang” yang berkelok dan terjal. Dalam bahasa lokal disebut kelok ampek puluah ampek, atau kelok 44.
Sedikit informasi tentang kelok ini. Pada pertengahan Juni yang lalu, dilaksanakan lomba balap sepeda Tour de Singkarak di Sumatera Barat. Tak ada yang berbeda dengan balap sepeda lainnya. Tetapi yang membuat lomba ini menjadi spesial karena menawarkan rute tanjakan yang sangat menantang. Disebut sebagai yang terbaik di Indonesia, mungkin salah satu terbaik di dunia. Berbelok 180 derajat dan mendaki, mendaki kemudian berbelok 180 derajat lagi, begitu seterusnya sebanyak 44 kali. Jalan ini yang jadi alasan kenapa aku jarang ke Danau ini, berat. Tapi jalur ini lah yang harus ditempuh oleh Alif (Ahmad Fuadi) hingga beliau mendapat banyak beasiswa di luar negeri. Dan jalan ini yang dilewati Buya HAMKA, keluar dari kampungnya, hingga terkenal di seluruh Indonesia, bahkan dianggap pahlawan hingga ke mancanegara.
Buya HAMKA
Sebelumnya tak banyak informasi yang aku tau tentang beliau. Yang aku tau hanyalah, nama HAMKA adalah singkatan Dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Kemudian setelah mencari, aku jadi tau. Ayahnya adalah HAKA, Haji Abdul Karim Amrullah. Salah satu pendiri Sumatera Thawalib di Bukittinggi, sekolah Islam modern yang pertama di Indonesia. Dari sekolah ini menjadi cikal bakal berdirinya Jong Sumatera Bond, salah satu organisasi pemuda yang memproklamirkan sumpah pemuda 28 Oktober 1928. Saat kecil, Buya Hamka menuntut ilmu disini, juga pernah menjadi tempat menuntut ilmu bagi Adam Malik, Wakil Presiden RI yang ketiga.
Buya Hamka adalah ulama besar, ustad, ahli tafsir, imam besar masjid, ahli sejarah, orator handal, petinggi politik. Pernah jadi ketua MUI, petinggi Muhammadiyah, hingga menjadi novelis, sastrawan, pujangga. Tidak tamat SD tapi meraih gelar 2 gelar Doktor dan Profesor, serta banyak lagi. Karena terlalu banyak keahlian beliau, mari kita sebut beliau sebagai orang yang merasa bodoh.
*kembali ke cerita danau maninjau.
Perjalananku ternyata memakan waktu lebih lama. Berangkat jam 1 siang, baru tiba jam 11 malam. Jalan yang macet karena masih libur sekolah (Ibaratnya, Puncak adalah tempat berlibur favorit warga Jakarta, sedangkan Sumbar adalah Puncak-nya orang Pekanbaru). Ditambah mobil yang aku tumpangi banyak berhenti. Dan saat tiba di ujung kelok 44, aku pun muntah. Kelok ini memang dahsyat!! Karena sudah malam, aku dengan keluarga mencari penginapan, tepat di tepi danau maninjau.
Sebenarnya kedatanganku ke danau ini karena diajak orangtua untuk menemui salah satu temannya besok pagi. Namun keesokan harinya, rencana berubah. Rencana bertemu dipindah menjadi siang hari. Ini yang mengantarkanku hingga sampai ke rumah kelahiran Buya Hamka, lokasinya tidak jauh dari penginapanku saat itu.
Jika ada yang pernah ke Danau Maninjau melewati kelok 44, di ujung jalan kelok ini terdapat pertigaan, di depan kantor camat. Jika belok kanan, akan menuju Lubuk Basung, Pariaman, kemudian akan sampai ke Kota Padang. Jika belok kiri, akan menuju ke rumah ini, sekitar 7 km dari pertigaan tersebut. Lokasinya di Nagari Sungai Batang, tidak jauh dari pinggir Danau Maninjau. Tapi jangan tertipu, di tengah jalan akan ditemui beberapa nama buya Hamka. Ada pesantren Buya Hamka, kemudian Makam Ayah Buya Hamka, Surau Buya Hamka yang masih setengah jadi, dan barulah tiba di Rumah kelahiran Buya Hamka.
Rumah ini sepertinya terlupakan. Tidak ada petunjuk jalan, tidak ada informasi, dan kurangnya penjelasan. Awalnya aku tak tau pasti dimana lokasi ini. Dengan modal kemampuan berbahasa Minang dan bertanya dengan warga sekitar, maka sampai lah aku ke rumah tersebut, MUSEUM RUMAH KELAHIRAN BUYA HAMKA, begitu namanya. Rumah kelahiran ini telah direnovasi sehingga tampak menarik dan tertata. Berada di atas bukit kecil, sekitar 5 meter di atas jalan. Setelah menaiki beberapa anak tangga dan tiba di atas, terlihatlah danau Maninjau yang indah di pagi itu. Kabut tipis pagi itu menambah indahnya suasana, ditambah dengan perbukitan hijau yang mengelilingi danau.
Karena masih terlalu pagi, museum itu masih tutup. Sembari menunggu, di depan museum ada sebuah rumah yang menjual buku-buku karangan Buya Hamka. Dijual beberapa buku yang judulnya familiar bagiku, salah satunya yang paling aku tau adalah Tenggelamnya Kapal van Der Wijck. Lama aku mencari novel ini, untuk membaca karya sastra yang sangat terkenal pada zamannya, hingga hari ini. Pernah aku cari di perpustakaan termegah se-Indonesia yang ada di Kota ku Pekanbaru, tapi tak bisa ku temukan. Kemudian dijual beberapa karya lain seperti Di bawah Lindungan Ka’bah, Merantau ke Deli, Tafsir Al-Azhar, dan buku-buku lainnya.
Sambil menunggu dan setelah membeli beberapa buku, penjaga museum pun datang. Kami disambut dengan ramah, Pak Hanif nama beliau, masih ada hubungan keluarga dengan Buya.
Rumah itu tak terlalu luas, mungkin berukuran 15×10 meter. Di depannya ada halaman kecil yang ditanami beberapa bunga yang indah. Rumput hijau di halamannya juga terawat. Masuk ke dalam, ada sebuah meja kecil berisi buku tamu. Kami tamu pertama pagi itu dan aku yakin tak banyak yang datang kesana, seperti halnya museum lain di Indonesia yang sepi kunjungan. Di sudut kiri, terdapat kursi yang pernah dipakai buya dulu. Kemudian ada koleksi tongkat, foto-foto zaman dulu bersama Soekarno, Hatta, dan tokoh lainnya. Di sebelah meja buku tamu, ada pintu yang menuju kamar kecil. Terdapat kasur tempat kelahiran Buya. Keluar dari kamar, menuju sudut kanan. Terdapat 1 set kursi dan meja, sepertinya untuk menyambut tamu. Di belakang kursi itu, ada beberapa lemari kaca yang menyimpan buku-buku karangan buya, beberapa diantaranya baru saja aku beli di bawah.
Di sekeliling dinding rumah, tergantung banyak foto, lukisan, dan hal lain yang berhubungan dengan Buya. Di salah satu sudut, terdapat foto Sri Mulyani Indrawati, mantan Menko Perekonomian yang sekarang di Amerika. Percakapanpun dimulai oleh Pak Hanif. “Sri Mulyani itu pintar. Saat kesini, ia duduk di kursi itu (dekat lemari) dan kami berdiskusi. Dari caranya berbicara, isi pembicaraannya, memang pintar. Tapi ada satu yang saya sayangkan, saat kesini, ia janji mau bantu dana untuk museum ini, tapi sudah keburu ke Amerika, ia tersisihkan karena politik”. Aku pun menjawab, tenang pak, nanti dia pulang. Dia itu disimpan dengan cara disisihkan. Mungkin disimpan untuk jadi presiden 2014.
Kemudian dengan semangat beliau menjelaskan tentang sejarah hidup Buya dan menjawab pertanyaan. Buya Hamka itu juga orang pintar seperti Sri Mulyani ini. Tidak belajar di sekolah resmi, SD ia tak tamat, tapi beliau dapat gelar Doktor dan professor. Salah satu Mahakarya buya adalah Tafsir Al-Azhar (dijual di rumah depan yang aku datangi tadi, tapi tak sempat aku beli). Karya tersebut dihargai dengan gelar Professor dari Universitas Al-Azhar di Mesir. Tafsir Al-Azhar adalah mahakarya, karena menafisrkan 30 juz isi Al-Qur’an tetapi dengan bahasa yang ringan, sehingga mudah dipahami. Perlu diingat, ini tafsir , bukan terjemahan. Ironisnya, beliau menyelesaikan karya itu di dalam penjara. Dipenjara oleh sahabatnya sendiri, Bung Karno ketika ia tidak setuju dengan pemikiran asas Nasakom Soekarno. Menurut Buya, agama tidak dapat dicampur dengan komunis. Namun ketika Bung Karno meninggal, beliau yang menjadi imam shalat jenazah alm. Kemudian ada yang bertanya, “kenapa buya mau menyolatkan orang yang sudah memenjarakan buya”? Beliau menjawab, “karena Bung Karno sahabat saya”. *saya semakin kagum dengan kebesaran hati beliau.
Setelah berakhirnya zaman orde lama, maka berganti dengan Presiden yang baru di orde yang baru, Soeharto. Pemerintah berusaha mendekat dengan Buya. Buya diberi kesempatan berceramah setiap subuh dan disiarkan langsung melalui RRI, ceramah rutin di TVRI dan beberapa kali diundang berceramah di Istana. Kemudian pemerintah membentuk lembaga Mejelis Ulama Indonesia (MUI) yang tujuannya untuk menjembatani antara pemerintah dan rakyat dalam bidang agama. Pada tahun 1975, beliau ditawarkan menjadi Ketua MUI. Banyak orang yang meragukan keputusan buya menerima jabatan itu, karena walaupun jabatan agama, sekaligus jabatan itu dekat dengan kepentingan politik. Tetapi buya dapat menjalankan ke-independen-an lembaga yang dipimpinnya. Beliau lebih memilih berkantor di Masjid Al-Azhar dari pada di Masjid Istiqlal. Beliau juga menolah menerima gaji sebagai Ketua MUI.
Ke-independen-an MUI semakin terlihat pada awal 1980-an, seiring dengan semakin seringnya buya tampil berceramah. Puncaknya saat itu MUI melawan kebijakan pemerintah, instansi dan masyarakat diajak untuk mengikuti kegiatan Natal bersama untuk mendukung semangat toleransi dan Pancasila. Karena banyak umat Islam yang kebingungan, maka MUI mengeluarkan fatwa haram mengikuti Natal bersama. Sekali lagi, beliau melawan presiden. Menurut buya, hubungan antar umat beragama adalah keharusan, tapi ada batasannya. Ketika masuk ke wilayah ibadah, satu sama lain tidak bisa digabungkan. Toleransi antar umat beragama cukup pada tahap tidak mengganggu satu sama lain saat ibadah.
Tidak lama setelah mengeluarkan fatwa itu, Buya dapat tekanan dari pemerintah. Namun Buya tak takut pada pemerintah, apalagi saat itu beliau menolak menerima gaji dari Negara sebagai Ketua MUI. Setelah peristiwa itu, buya mengundurkan diri dari jabatan Ketua MUI pada 21 Mei 1981 dan memilih fokus untuk berdakwah. Tidak lama setelah mengundurkan diri, beliau meninggal dunia pada tanggal 24 Juli 1981, tepat hari Jum’at. Seluruh umat bersedih, tokoh lintas agama, muda, tua, banyak prang merasa kehilangan, tokoh besar yang jadi panutan. Rasanya wajar jika sejarah hidup beliau di museumkan.
Setelah mendengar penjelasan Bapak Hanif, maka sampailah aku pada pertanyaan, “Kapan museum ini dibangun dan dari mana pendanaannya?”
Beliau pun menjawab.
“Diresmikan tahun 2001, pendanaannya hampir 90% dari Malaysia, dari ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia)”. Aku terdiam dan dalam hati bertanya, “KENAPA HARUS MALAYSIA”?
Beliau melanjutkan.
“Buya Hamka sangat terkenal di Malaysia. Karena dulu beliau memperjuangkan karena sesama bangsa Melayu. Selama saya disini, rasanya lebih banyak kunjungan warga Malaysia dari pada orang Indonesia. Sering datang rombongan menggunakan 2-3 bus penuh. Di Malaysia, karya tulisan beliau menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah. Wajar kalau mereka sangat mengidolakan Buya Hamka”. Aku kembali terdiam.
Kemudian aku lanjut bertanya. “Selain Tafsir Al-Azhar dan novel, ada berapa banyak karangan Buya Hamka”?
“Lebih dari 100 karangan yang sudah diterbitkan menjadi buku dan ada tulisan lain yang tersebar di media cetak, koran dan sebagainya. Jika itu dibukukan, mungkin mencapai angka 300 judul. Tetapi yang ada disini hanya sekitar puluhan, itupun kebanyakan adalah hasil cetakan, bukan tulisan tangan asli”. Kemudian beliau menunjukkan salah satu tulisan asli buya. “Aslinya tulisan buya seperti ini, dalam bahasa arab. Selebihnya, tulisan yang tidak ada disini, sisanya ada di Malaysia. Aku semakin terdiam.
Dan Pak Hanif menceritakan ada 4 pesan Buya Hamka, yaitu :
1.Orang pintar adalah orang yang merasa bodoh
2.Orang yang bisa berhubungan dengan yang Maha Suci adalah orang yang selalu mensucikan dirinya.
3.Orang yang berbahagia adalah orang yang merintis kehidupannya menuju kampung halamannya.
4.Ketika pintu rumahku diketuk oleh kemiskinan, maka aku buka jendela dan aku lompat keluar
Buya Hamka adalah orang yang selalu merasa bodoh, sehingga ia terus belajar. Kemudian saat kecil ia merasa miskin. Untuk istilah zaman sekarang, buya Hamka berasal dari keluarga broken home. Ibu bapaknya bercerai. Saat ke rumah ibu, ia bertemu dengan ayah tirinya. Saat ke rumah ayah, ia bertemu dengan ibu tirinya. Maka ia merasa diketuk oleh kemiskinan akan kasih sayang orangtua. Kemudian beliau buka jendela, dan lompat. Ia pergi dari rumah agar terhindar dari rasa miskin hati, agar tidak tersakiti hatinya karena keadaan orangtuanya itu. Kemudian saat masih kecil, Buya Hamka adalah seorang yang nakal. Tetapi kenakalan ini dikelola dengan baik, sehingga beliau berani melawan Presiden.
Karena hari pun mulai siang, aku cukupkan kunjungan hari itu. Aku lanjut bertemu teman orang tuaku yang tertunda tadi. Setelah selesai, aku pulang, kembali menaiki kelok 44, ditemani dengan pemandangan indah Danau Maninjau. Di kiri-kanan jalan terhampar sawah, bukit-bukit kecil, rumah-rumah. Kemudian terus mendaki hingga sampai di daerah Ambun pagi, Matur hingga pada suatu pertigaan patah, aku berbelok kiri. Tidak jauh dari situ, aku melewati Suaru Parabek, Sumatera Thawalib, tempat awal Buya menuntut ilmu. Terus melewati jalan kampung yang sempit hingga ke sampai di Pasa Ateh Jam gadang, Bukittinggi. Masuk dari pendakian di sebelah Pasa Banto, sampai ke Kebun Binatang, kemudian mencari parkir di dekat janjang 40. Gunung Marapi dan Gunung Singgalang masih kokoh berdiri, mengeluarkan asap dan debu tipis, yang menjadikan lembah diatara 2 gunung ini menjadi sangat subur. Kemudian sedikit turun dari jam gadang, menyusuri jalan hingga melewati, Stasiun Lama, Lapangan Kantin. Melewati pertigaan lampu merah, terus hingga tiba di Masjid Jami’ Birugo dan belok kiri di gang yang cukup sempit. Jika tidak belok, akan terus ke Padang Luar dan bisa kembali ke Danau Maninjau. Aku pun bermalam di daerah ini, Birugo Bungo namanya. Dulu Ayahku pernah tinggal disini saat kecil. Aku nikmati dinginnya udara malam Bukittinggi, hingga esok harinya bersiap pulang ke Pekanbaru dan membawa cerita ini hingga aku tuliskan disini.
Ooh Buya Hamka. Dari jauh di seberang Negeri sana, datang berbondong orang ke rumah mu di pinggir danau itu. Kalau bukan karena kecintaan mereka padamu, tak mungkin mereka mau melewati kelok 44 yang terjal itu. Mantan narapidana yang jadi Doktor dan Profesor, tapi tak tamat sekolah dasar. Kau hasilkan ratusan judul buku, tapi lebih dari setengahnya tersimpan di Malaysia dan jadi bacaan wajib disana. Pembangunan museum rumah kelahiranmu pun sebagian besar dibiayai oleh orang Malaysia. Aku sedikit khawatir, suatu saat kau akan diklaim sebagai pahlawan Nasional oleh Malaysia. Sedangkan di Indonesia, bukannya tidak ingat, mungkin lebih tepatnya kau terlupakan sehingga kontribusimu tak dihargai gelar Pahlawan Nasional oleh negeri ini.
Mungkin karena dulu kau pernah masuk penjara karena melawan pemerintah. Tapi kau bagai pahlawan bagi Malaysia. Dan aku yakin, masih banyak orang berjasa sepertimu di Negara ini, tapi belum dihargai sebagai Pahlawan Nasional. Bukankah Negara yang besar adalah Negara yang tidak lupa akan sejarahnya dan jasa para pahlawannya. Tapi kau belum dijadikan pahlawan, jadi maafkan jika kami lupa akan jasamu, jasa kalian pendahulu negeri yang sedang kacau ini.
Semoga kau dan pembesar lainnya di Negara ini dijadikan Pahlawan oleh bangsa ini. Agar kami kenal siapa kalian dan semoga tanah negeri kembali diberi berkah kemerdekaan yang sebenarnya, kemerdekaan yang dulu kalian perjuangkan…
Walaupun akhir-akhir ini sedang terjadi pergolakan politik di Malaysia, tapi aku sedang tidak membahas hal tersebut. Pada awal bulan Juli yang lalu, aku berkesempatan berkunjung ke Danau Maninjau di Sumatera Barat. Sekitar seminggu setelah kunjungan ke danau itu, terjadilah gejolak politik di Malaysia. Kemudian pada hari H (9 Juli) terjadinya demonstrasi besar itu, salah seorang keluargaku baru saja kembali dari Malaysia. Jadi, pekan pertamaku di bulan Juli ini dipenuhi dengan hal yang berbau Malaysia. Lalu apa hubungannya dengan Danau Maninjau yang indah itu? Begini ceritanya.
Sedikit bercerita, sekitar beberapa bulan yang lalu, aku mengikuti Program Pertukaran Pemuda yang membuatku bertemu dengan Bang Ahmad Fuadi, tepatnya pada penghujung bulan Desember 2010. Pertemuan itu terjadi karena beliau adalah alumni dari program yang aku ikuti saat itu, yang kemudian program tersebut menjadi inspirasi lahirnya novel berjudul “Ranah 3 Warna”. Setelah bersalaman dan sedikit bercerita dengan beliau, aku pun baru tau bahwa orang yang aku temui itu adalah pengarang Novel Negeri 5 Menara yang sangat laris tsb (promosi : menurut informasi, sekarang sedang digarap menjadi film :) ). Aku pun ingat kalau punya novel itu di rumah, tetapi baru baca bagian awalnya, cerita ketika tokoh Alif pergi meninggalkan kampungnya yang tenang di tepi Danau Maninjau, Sumatera Barat menuju PM Madani di Jawa Timur. Alif pergi jauh karena harus mengikuti keinginan Ibunya yang ingin Alif sekolah agama agar bisa menjadi seperti Buya Hamka, tokoh agama terkenal yang berasal dari kampungnya. Sedangkan Alif ingin menjadi Habibie (untuk cerita lebih lengkap, silahkan baca langsung di novelnya :D ).
Singkat cerita, berpindah kita ke awal bulan Juli 2011 yang lalu, ketika aku mengujungi Danau Maninjau yang indah itu. Bung Karno pun membuat pantun tentang danau itu.
Jika adik memakan pinang
Makanlah dengan sirih yang hijau
Jika adik pergi ke Minang
Janganlah lupa singgah ke Maninjau
Danau yang diceritakan dalam novel Ahmad Fuadi. Danau yang melahirkan seorang tokoh yang dianggap pemberontak oleh Negara ini, Buya Hamka. Sekaligus tokoh pemberani, 2 orang presiden dibantahnya, Soekarno dan Soeharto.
Perjalanan aku mulai dari Pekanbaru tempat ku tinggal, berjarak sekitar 7-8 jam jalan darat. Bisa jadi 9 jam, tergantung pada kondisi alam. Sebenarnya aku cukup sering berkunjung ke Sumatera Barat, tiap tahun minimal 1 kali. Tapi ke danau ini, baru kunjungan yang ke 3. Alasannya karena jika ingin kesana, harus melewati “pintu gerbang” yang berkelok dan terjal. Dalam bahasa lokal disebut kelok ampek puluah ampek, atau kelok 44.
Sedikit informasi tentang kelok ini. Pada pertengahan Juni yang lalu, dilaksanakan lomba balap sepeda Tour de Singkarak di Sumatera Barat. Tak ada yang berbeda dengan balap sepeda lainnya. Tetapi yang membuat lomba ini menjadi spesial karena menawarkan rute tanjakan yang sangat menantang. Disebut sebagai yang terbaik di Indonesia, mungkin salah satu terbaik di dunia. Berbelok 180 derajat dan mendaki, mendaki kemudian berbelok 180 derajat lagi, begitu seterusnya sebanyak 44 kali. Jalan ini yang jadi alasan kenapa aku jarang ke Danau ini, berat. Tapi jalur ini lah yang harus ditempuh oleh Alif (Ahmad Fuadi) hingga beliau mendapat banyak beasiswa di luar negeri. Dan jalan ini yang dilewati Buya HAMKA, keluar dari kampungnya, hingga terkenal di seluruh Indonesia, bahkan dianggap pahlawan hingga ke mancanegara.
Buya HAMKA
Sebelumnya tak banyak informasi yang aku tau tentang beliau. Yang aku tau hanyalah, nama HAMKA adalah singkatan Dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Kemudian setelah mencari, aku jadi tau. Ayahnya adalah HAKA, Haji Abdul Karim Amrullah. Salah satu pendiri Sumatera Thawalib di Bukittinggi, sekolah Islam modern yang pertama di Indonesia. Dari sekolah ini menjadi cikal bakal berdirinya Jong Sumatera Bond, salah satu organisasi pemuda yang memproklamirkan sumpah pemuda 28 Oktober 1928. Saat kecil, Buya Hamka menuntut ilmu disini, juga pernah menjadi tempat menuntut ilmu bagi Adam Malik, Wakil Presiden RI yang ketiga.
Buya Hamka adalah ulama besar, ustad, ahli tafsir, imam besar masjid, ahli sejarah, orator handal, petinggi politik. Pernah jadi ketua MUI, petinggi Muhammadiyah, hingga menjadi novelis, sastrawan, pujangga. Tidak tamat SD tapi meraih gelar 2 gelar Doktor dan Profesor, serta banyak lagi. Karena terlalu banyak keahlian beliau, mari kita sebut beliau sebagai orang yang merasa bodoh.
*kembali ke cerita danau maninjau.
Perjalananku ternyata memakan waktu lebih lama. Berangkat jam 1 siang, baru tiba jam 11 malam. Jalan yang macet karena masih libur sekolah (Ibaratnya, Puncak adalah tempat berlibur favorit warga Jakarta, sedangkan Sumbar adalah Puncak-nya orang Pekanbaru). Ditambah mobil yang aku tumpangi banyak berhenti. Dan saat tiba di ujung kelok 44, aku pun muntah. Kelok ini memang dahsyat!! Karena sudah malam, aku dengan keluarga mencari penginapan, tepat di tepi danau maninjau.
Sebenarnya kedatanganku ke danau ini karena diajak orangtua untuk menemui salah satu temannya besok pagi. Namun keesokan harinya, rencana berubah. Rencana bertemu dipindah menjadi siang hari. Ini yang mengantarkanku hingga sampai ke rumah kelahiran Buya Hamka, lokasinya tidak jauh dari penginapanku saat itu.
Jika ada yang pernah ke Danau Maninjau melewati kelok 44, di ujung jalan kelok ini terdapat pertigaan, di depan kantor camat. Jika belok kanan, akan menuju Lubuk Basung, Pariaman, kemudian akan sampai ke Kota Padang. Jika belok kiri, akan menuju ke rumah ini, sekitar 7 km dari pertigaan tersebut. Lokasinya di Nagari Sungai Batang, tidak jauh dari pinggir Danau Maninjau. Tapi jangan tertipu, di tengah jalan akan ditemui beberapa nama buya Hamka. Ada pesantren Buya Hamka, kemudian Makam Ayah Buya Hamka, Surau Buya Hamka yang masih setengah jadi, dan barulah tiba di Rumah kelahiran Buya Hamka.
Rumah ini sepertinya terlupakan. Tidak ada petunjuk jalan, tidak ada informasi, dan kurangnya penjelasan. Awalnya aku tak tau pasti dimana lokasi ini. Dengan modal kemampuan berbahasa Minang dan bertanya dengan warga sekitar, maka sampai lah aku ke rumah tersebut, MUSEUM RUMAH KELAHIRAN BUYA HAMKA, begitu namanya. Rumah kelahiran ini telah direnovasi sehingga tampak menarik dan tertata. Berada di atas bukit kecil, sekitar 5 meter di atas jalan. Setelah menaiki beberapa anak tangga dan tiba di atas, terlihatlah danau Maninjau yang indah di pagi itu. Kabut tipis pagi itu menambah indahnya suasana, ditambah dengan perbukitan hijau yang mengelilingi danau.
Karena masih terlalu pagi, museum itu masih tutup. Sembari menunggu, di depan museum ada sebuah rumah yang menjual buku-buku karangan Buya Hamka. Dijual beberapa buku yang judulnya familiar bagiku, salah satunya yang paling aku tau adalah Tenggelamnya Kapal van Der Wijck. Lama aku mencari novel ini, untuk membaca karya sastra yang sangat terkenal pada zamannya, hingga hari ini. Pernah aku cari di perpustakaan termegah se-Indonesia yang ada di Kota ku Pekanbaru, tapi tak bisa ku temukan. Kemudian dijual beberapa karya lain seperti Di bawah Lindungan Ka’bah, Merantau ke Deli, Tafsir Al-Azhar, dan buku-buku lainnya.
Sambil menunggu dan setelah membeli beberapa buku, penjaga museum pun datang. Kami disambut dengan ramah, Pak Hanif nama beliau, masih ada hubungan keluarga dengan Buya.
Rumah itu tak terlalu luas, mungkin berukuran 15×10 meter. Di depannya ada halaman kecil yang ditanami beberapa bunga yang indah. Rumput hijau di halamannya juga terawat. Masuk ke dalam, ada sebuah meja kecil berisi buku tamu. Kami tamu pertama pagi itu dan aku yakin tak banyak yang datang kesana, seperti halnya museum lain di Indonesia yang sepi kunjungan. Di sudut kiri, terdapat kursi yang pernah dipakai buya dulu. Kemudian ada koleksi tongkat, foto-foto zaman dulu bersama Soekarno, Hatta, dan tokoh lainnya. Di sebelah meja buku tamu, ada pintu yang menuju kamar kecil. Terdapat kasur tempat kelahiran Buya. Keluar dari kamar, menuju sudut kanan. Terdapat 1 set kursi dan meja, sepertinya untuk menyambut tamu. Di belakang kursi itu, ada beberapa lemari kaca yang menyimpan buku-buku karangan buya, beberapa diantaranya baru saja aku beli di bawah.
Di sekeliling dinding rumah, tergantung banyak foto, lukisan, dan hal lain yang berhubungan dengan Buya. Di salah satu sudut, terdapat foto Sri Mulyani Indrawati, mantan Menko Perekonomian yang sekarang di Amerika. Percakapanpun dimulai oleh Pak Hanif. “Sri Mulyani itu pintar. Saat kesini, ia duduk di kursi itu (dekat lemari) dan kami berdiskusi. Dari caranya berbicara, isi pembicaraannya, memang pintar. Tapi ada satu yang saya sayangkan, saat kesini, ia janji mau bantu dana untuk museum ini, tapi sudah keburu ke Amerika, ia tersisihkan karena politik”. Aku pun menjawab, tenang pak, nanti dia pulang. Dia itu disimpan dengan cara disisihkan. Mungkin disimpan untuk jadi presiden 2014.
Kemudian dengan semangat beliau menjelaskan tentang sejarah hidup Buya dan menjawab pertanyaan. Buya Hamka itu juga orang pintar seperti Sri Mulyani ini. Tidak belajar di sekolah resmi, SD ia tak tamat, tapi beliau dapat gelar Doktor dan professor. Salah satu Mahakarya buya adalah Tafsir Al-Azhar (dijual di rumah depan yang aku datangi tadi, tapi tak sempat aku beli). Karya tersebut dihargai dengan gelar Professor dari Universitas Al-Azhar di Mesir. Tafsir Al-Azhar adalah mahakarya, karena menafisrkan 30 juz isi Al-Qur’an tetapi dengan bahasa yang ringan, sehingga mudah dipahami. Perlu diingat, ini tafsir , bukan terjemahan. Ironisnya, beliau menyelesaikan karya itu di dalam penjara. Dipenjara oleh sahabatnya sendiri, Bung Karno ketika ia tidak setuju dengan pemikiran asas Nasakom Soekarno. Menurut Buya, agama tidak dapat dicampur dengan komunis. Namun ketika Bung Karno meninggal, beliau yang menjadi imam shalat jenazah alm. Kemudian ada yang bertanya, “kenapa buya mau menyolatkan orang yang sudah memenjarakan buya”? Beliau menjawab, “karena Bung Karno sahabat saya”. *saya semakin kagum dengan kebesaran hati beliau.
Setelah berakhirnya zaman orde lama, maka berganti dengan Presiden yang baru di orde yang baru, Soeharto. Pemerintah berusaha mendekat dengan Buya. Buya diberi kesempatan berceramah setiap subuh dan disiarkan langsung melalui RRI, ceramah rutin di TVRI dan beberapa kali diundang berceramah di Istana. Kemudian pemerintah membentuk lembaga Mejelis Ulama Indonesia (MUI) yang tujuannya untuk menjembatani antara pemerintah dan rakyat dalam bidang agama. Pada tahun 1975, beliau ditawarkan menjadi Ketua MUI. Banyak orang yang meragukan keputusan buya menerima jabatan itu, karena walaupun jabatan agama, sekaligus jabatan itu dekat dengan kepentingan politik. Tetapi buya dapat menjalankan ke-independen-an lembaga yang dipimpinnya. Beliau lebih memilih berkantor di Masjid Al-Azhar dari pada di Masjid Istiqlal. Beliau juga menolah menerima gaji sebagai Ketua MUI.
Ke-independen-an MUI semakin terlihat pada awal 1980-an, seiring dengan semakin seringnya buya tampil berceramah. Puncaknya saat itu MUI melawan kebijakan pemerintah, instansi dan masyarakat diajak untuk mengikuti kegiatan Natal bersama untuk mendukung semangat toleransi dan Pancasila. Karena banyak umat Islam yang kebingungan, maka MUI mengeluarkan fatwa haram mengikuti Natal bersama. Sekali lagi, beliau melawan presiden. Menurut buya, hubungan antar umat beragama adalah keharusan, tapi ada batasannya. Ketika masuk ke wilayah ibadah, satu sama lain tidak bisa digabungkan. Toleransi antar umat beragama cukup pada tahap tidak mengganggu satu sama lain saat ibadah.
Tidak lama setelah mengeluarkan fatwa itu, Buya dapat tekanan dari pemerintah. Namun Buya tak takut pada pemerintah, apalagi saat itu beliau menolak menerima gaji dari Negara sebagai Ketua MUI. Setelah peristiwa itu, buya mengundurkan diri dari jabatan Ketua MUI pada 21 Mei 1981 dan memilih fokus untuk berdakwah. Tidak lama setelah mengundurkan diri, beliau meninggal dunia pada tanggal 24 Juli 1981, tepat hari Jum’at. Seluruh umat bersedih, tokoh lintas agama, muda, tua, banyak prang merasa kehilangan, tokoh besar yang jadi panutan. Rasanya wajar jika sejarah hidup beliau di museumkan.
Setelah mendengar penjelasan Bapak Hanif, maka sampailah aku pada pertanyaan, “Kapan museum ini dibangun dan dari mana pendanaannya?”
Beliau pun menjawab.
“Diresmikan tahun 2001, pendanaannya hampir 90% dari Malaysia, dari ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia)”. Aku terdiam dan dalam hati bertanya, “KENAPA HARUS MALAYSIA”?
Beliau melanjutkan.
“Buya Hamka sangat terkenal di Malaysia. Karena dulu beliau memperjuangkan karena sesama bangsa Melayu. Selama saya disini, rasanya lebih banyak kunjungan warga Malaysia dari pada orang Indonesia. Sering datang rombongan menggunakan 2-3 bus penuh. Di Malaysia, karya tulisan beliau menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah. Wajar kalau mereka sangat mengidolakan Buya Hamka”. Aku kembali terdiam.
Kemudian aku lanjut bertanya. “Selain Tafsir Al-Azhar dan novel, ada berapa banyak karangan Buya Hamka”?
“Lebih dari 100 karangan yang sudah diterbitkan menjadi buku dan ada tulisan lain yang tersebar di media cetak, koran dan sebagainya. Jika itu dibukukan, mungkin mencapai angka 300 judul. Tetapi yang ada disini hanya sekitar puluhan, itupun kebanyakan adalah hasil cetakan, bukan tulisan tangan asli”. Kemudian beliau menunjukkan salah satu tulisan asli buya. “Aslinya tulisan buya seperti ini, dalam bahasa arab. Selebihnya, tulisan yang tidak ada disini, sisanya ada di Malaysia. Aku semakin terdiam.
Dan Pak Hanif menceritakan ada 4 pesan Buya Hamka, yaitu :
1.Orang pintar adalah orang yang merasa bodoh
2.Orang yang bisa berhubungan dengan yang Maha Suci adalah orang yang selalu mensucikan dirinya.
3.Orang yang berbahagia adalah orang yang merintis kehidupannya menuju kampung halamannya.
4.Ketika pintu rumahku diketuk oleh kemiskinan, maka aku buka jendela dan aku lompat keluar
Buya Hamka adalah orang yang selalu merasa bodoh, sehingga ia terus belajar. Kemudian saat kecil ia merasa miskin. Untuk istilah zaman sekarang, buya Hamka berasal dari keluarga broken home. Ibu bapaknya bercerai. Saat ke rumah ibu, ia bertemu dengan ayah tirinya. Saat ke rumah ayah, ia bertemu dengan ibu tirinya. Maka ia merasa diketuk oleh kemiskinan akan kasih sayang orangtua. Kemudian beliau buka jendela, dan lompat. Ia pergi dari rumah agar terhindar dari rasa miskin hati, agar tidak tersakiti hatinya karena keadaan orangtuanya itu. Kemudian saat masih kecil, Buya Hamka adalah seorang yang nakal. Tetapi kenakalan ini dikelola dengan baik, sehingga beliau berani melawan Presiden.
Karena hari pun mulai siang, aku cukupkan kunjungan hari itu. Aku lanjut bertemu teman orang tuaku yang tertunda tadi. Setelah selesai, aku pulang, kembali menaiki kelok 44, ditemani dengan pemandangan indah Danau Maninjau. Di kiri-kanan jalan terhampar sawah, bukit-bukit kecil, rumah-rumah. Kemudian terus mendaki hingga sampai di daerah Ambun pagi, Matur hingga pada suatu pertigaan patah, aku berbelok kiri. Tidak jauh dari situ, aku melewati Suaru Parabek, Sumatera Thawalib, tempat awal Buya menuntut ilmu. Terus melewati jalan kampung yang sempit hingga ke sampai di Pasa Ateh Jam gadang, Bukittinggi. Masuk dari pendakian di sebelah Pasa Banto, sampai ke Kebun Binatang, kemudian mencari parkir di dekat janjang 40. Gunung Marapi dan Gunung Singgalang masih kokoh berdiri, mengeluarkan asap dan debu tipis, yang menjadikan lembah diatara 2 gunung ini menjadi sangat subur. Kemudian sedikit turun dari jam gadang, menyusuri jalan hingga melewati, Stasiun Lama, Lapangan Kantin. Melewati pertigaan lampu merah, terus hingga tiba di Masjid Jami’ Birugo dan belok kiri di gang yang cukup sempit. Jika tidak belok, akan terus ke Padang Luar dan bisa kembali ke Danau Maninjau. Aku pun bermalam di daerah ini, Birugo Bungo namanya. Dulu Ayahku pernah tinggal disini saat kecil. Aku nikmati dinginnya udara malam Bukittinggi, hingga esok harinya bersiap pulang ke Pekanbaru dan membawa cerita ini hingga aku tuliskan disini.
Ooh Buya Hamka. Dari jauh di seberang Negeri sana, datang berbondong orang ke rumah mu di pinggir danau itu. Kalau bukan karena kecintaan mereka padamu, tak mungkin mereka mau melewati kelok 44 yang terjal itu. Mantan narapidana yang jadi Doktor dan Profesor, tapi tak tamat sekolah dasar. Kau hasilkan ratusan judul buku, tapi lebih dari setengahnya tersimpan di Malaysia dan jadi bacaan wajib disana. Pembangunan museum rumah kelahiranmu pun sebagian besar dibiayai oleh orang Malaysia. Aku sedikit khawatir, suatu saat kau akan diklaim sebagai pahlawan Nasional oleh Malaysia. Sedangkan di Indonesia, bukannya tidak ingat, mungkin lebih tepatnya kau terlupakan sehingga kontribusimu tak dihargai gelar Pahlawan Nasional oleh negeri ini.
Mungkin karena dulu kau pernah masuk penjara karena melawan pemerintah. Tapi kau bagai pahlawan bagi Malaysia. Dan aku yakin, masih banyak orang berjasa sepertimu di Negara ini, tapi belum dihargai sebagai Pahlawan Nasional. Bukankah Negara yang besar adalah Negara yang tidak lupa akan sejarahnya dan jasa para pahlawannya. Tapi kau belum dijadikan pahlawan, jadi maafkan jika kami lupa akan jasamu, jasa kalian pendahulu negeri yang sedang kacau ini.
Semoga kau dan pembesar lainnya di Negara ini dijadikan Pahlawan oleh bangsa ini. Agar kami kenal siapa kalian dan semoga tanah negeri kembali diberi berkah kemerdekaan yang sebenarnya, kemerdekaan yang dulu kalian perjuangkan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar