Dari
Peluncuran Buku Siti Manggopoh Perempuan Minang Itu Layak Diberi Gelar
Pahlawan… KETIKA perempuan-perempuan Minangkabau modern yang
berpendidikan tinggi sedang mengibarkan bendera perjuangan gender, di
mana taraf dan nilai kaum perempuan dengan laki-laki harus diperjuang-
kan sama, pada saat itu pulalah muncul buku Siti Manggopoh.
DITULIS Abel Tasman, Nita Indrawati, dan Sastri Yunizarti Bakry dengan editor ahli Dr Mestika Zed MA, buku yang diterbitkan Yayasan Citra Budaya Indonesia, Padang, dan diluncurkan tanggal 20 Mei 2007 lalu itu menurut Raudha Thaib, pembedah buku yang dalam karya sastra namanya dikenal sebagai Upita Agustine, Siti Mangopoh adalah perempuan pejuang dari desa kecil terpencil di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. “Perempuan pejuang yang berjuang bersama laki-laki tanpa mengenal perjuangan gender.
Seorang tokoh perempuan yang tidak berkaok-kaok terhadap persamaan hak antara laki-laki dan perem- puan. Perempuan pejuang yang tidak mau melawan kodrat dan fitrahnya sendiri, tetapi sanggup menjadi pemimpin dari sekian laki-laki pejuang lainnya dan sebagai api dalam menggelorakan semangat antipenjajahan,” kata dia. Dalam konteks ini, lanjut Raudha Thaib, buku Siti Manggopoh sangatlah berharga. Apalagi ketika orang Minangkabau tengah mencari sosok perempuan Minang, buku ini menjadi terasa semakin penting. Senada dengan itu, sosiolog dari Universitas Andalas Padang, Dr Damsar, mengatakan, Siti Manggopoh merupakan gong perjuangan kebangkitan kaum perempuan dalam kancah politik. “Siti Manggopoh berjasa dalam menegakkan marwah rakyat tertindas. Pantas gelar pahlawan diberikan kepada dia. Gelar tersebut telah diberikan masyarakat Minangkabau, namun belum diberikan oleh Pemerintah Indonesia,” katanya.
Menurut Damsar, kalau dibandingkan dengan Raden Ajeng Kartini, perjuangan Siti Manggopoh tidak kalah besar sumbangsihnya kepada masyarakatnya. KENAPA Siti Manggopoh layak digelari pahlawan nasional? Selama ini Siti Manggopoh hampir tak pernah disebut dalam buku sejarah nasional. Kalaupun disebut, paling 1-2 alinea. Sama halnya dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang hanya disinggung sedikit dan dianggap tak penting. Namun, bagi peneliti dan sejarawan Dr Mestika Zed MA, keberadaan PDRI yang berpusat di Bukittinggi itu bisa menjadi satu buku tebal dan mendapat banyak pujian dari kalangan sejarawan dalam dan luar negeri. Sampai-sampai buku tentang PDRI itu pernah mendapat penghargaan sebagai buku ilmu-ilmu sosial terbaik tiga tahun lalu. Dan cerita soal Siti Manggopoh bisa menjadi buku setebal 98 + xiii halaman.
Menurut Raudha Thaib, buku Siti Manggopoh penuh dengan makna tertulis dan tersirat. Dilahirkan bulan Mei 1880, Siti Manggopoh pada tahun 1908 melakukan perlawanan terhadap kebijakan ekonomi Belanda melalui pajak uang (belasting). Gerakan rakyat untuk menolak kebijakan belasting di Manggopoh disebut dengan Perang Belasting. Dalam perspektif rakyat, menurut Dr M Nur MS, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sumatera Barat, belasting merupakan tindakan pemerintah yang menginjak harga diri karena mereka merasa terhina mematuhi peraturan untuk membayar pajak tanah yang dimiliki secara turun temurun. Apalagi peraturan belasting dianggap bertentangan dengan adat Minangkabau. Tanah adalah kepunyaan komunal atau kaum di Minangkabau. “Gerakan ini dipimpin seorang perempuan yang sangat berani dan gigih menentang koloni asing, yaitu Siti Manggopoh. Perlawanannya berbentuk reaksi hebat terhadap penetrasi Pemerintah Hindia Belanda,” kata dia.
Peristiwa yang tidak bisa dilupakan Belanda adalah gerakan yang dilakukan Siti Manggopoh pada tanggal 16 Juni 1908. Belanda sangat kewalahan menghadapi tokoh perempuan Minangkabau ini sehingga meminta bantuan kepada tentara Belanda yang berada di luar nagari Manggopoh. Dalam buku Siti Manggopoh disebutkan, dengan siasat yang diatur sedemikian rupa oleh Siti, dia dan pasukannya berhasil menewaskan 53 orang serdadu penjaga benteng. Menurut Hayati Nizar, juga pembedah buku, sebagai perempuan Siti Manggopoh cukup mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Ia memanfaatkan naluri keperempuanannya secara cerdas untuk mencari informasi tentang kekuatan Belanda tanpa hanyut dibuai rayuan mereka. “Ia pernah mengalami konflik batin ketika akan mengadakan penyerbuan ke benteng Belanda. Konflik batin tersebut adalah antara rasa keibuan yang dalam terhadap anaknya yang erat menyusu di satu pihak dan panggilan jiwa untuk melepaskan rakyat dari kezaliman Belanda di pihak lain, namun ia segera keluar dari sana dengan memenangkan panggilan jiwanya untuk membantu rakyat,” ujar dia. Tanggung jawabnya sebagai ibu dilaksanakan kembali setelah melakukan penyerangan. Bahkan anaknya, Dalima, dia bawa melarikan diri ke hutan selama 17 hari dan selanjutnya dibawa serta ketika ia ditangkap dan dipenjara 14 bulan di Lubukbasung, 16 bulan di Pariaman, dan 12 bulan di Padang. Mungkin karena anaknya masih kecil atau karena alasan lainnya, akhirnya Siti Manggopoh dibebaskan. Namun, suaminya dibuang ke Manado.
Sejarawan Dr M Nur MS berpendapat, Siti Manggopoh adalah satu-satunya perempuan Minangkabau yang berani melancarkan gerakan sosial untuk mempertahankan nagarinya terhadap pengaruh asing. Bahkan tidak jarang gerakan yang dilancarkannya secara fisik. “Antara Siti Manggopoh di Minangkabau dan Cut Nyak Dien di Aceh mungkin dapat ditarik suatu garis lurus dalam persamaan atau mungkin perbedaannya. Akan tetapi, yang jelas, kedua perempuan ini tidak kenal lelah dan berani memimpin di tengah kaum laki-laki. Peristiwa itu dapat dijadikan pedoman dan bukti bahwa kaum perempuan Minangkabau tidak berbeda kemampuan dan haknya dari kaum laki-laki,” jelasnya. (YURNALDI sumber KOMPAS)
Ditulis oleh Yurnaldi
Sumber : www.kompas.com
Mandeh Sitti ( 1881-1965 ), Singa Betina dari Manggopoh
Mandeh Sitti Manggopoh( 1881-1965 ), pahlawan daerah sumbar, pejuang wanita dari sumbar,Sejak tahun 1908 api perlawanan terhadap Belanda berkobar di Manggopoh. Aksi penjajah Belanda yang menyengsarakan rakyat memicu pemberontakan di berbagai tempat, termasuk di Manggopoh. Sitti – dikenal dengan sebutan Mandeh Sitti Manggopoh , seorang wanita pejuang dalam perang Manggopoh bersama suami dan kelompoknya Mandeh Sitti yang dikenal sangat cantik, luwes namun lihai beladiri silek, dikenal pembenci penjajah.
Hal itu dibuktikan Mandeh Sitti bersama pasukannya berhasil menghabisi serdadu Belanda di markasnya sendiri, 55 orang serdadu Belanda tewas. Penyerbuan itu nestapa luar biasa bagi Belanda. Sitti lahir 15 Juni 1881 di Manggopoh, Lubukbasung, Agam. Orangtuanya petani biasa. Sitti tak pernah menduduki bangku sekolah , karena waktu itu belum ada sekolah rendah sekalipun. Untuk pendidikannya Sitti hanya belajar mengaji di surau, menimba ilmu sekaligus mempelajari adat istiadat Minangkabau.
Usia 15 tahun, Sitti dikawinkan orangtuanya dengan Rasyid, yang dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik. Walau sudah berkeluarga dan mengurus anak, kebencian Sitti terhadap penjajah Belanda justru kian menumpuk, apalagi akhir 1907 pemerintah Belanda bersiap mengembangkan sayap jajahannya.
Apalagi penindasan kian menyakitkan, Belanda menerapkan kewajiban belasting (pajak) pada rakyat , tak peduli kehidupan masyarakat yang susah. Rakyat Minangkabau, termasuk di Manggopoh tidak menerima aturan itu di berbagai tempat muncul protes sehingga memicu pemberontakan.
Diawali Perang Kamang yang berlanjut di Manggopoh, Lintau, Solok Rao dan berbagai daerah lain. Perang Manggopoh meletus akibat rasa benci pada Belanda yang semena-mena warga disiksa, disuruh kerja paksa, wanita-wanita diperkosa serta berbagai tindakan biadab lain yang membuat hati warga mendidih.
Akibatnya di Manggopoh terbentuk badan perjuangan yang terdiri dari 14 orang pemuda militan masing-masing Rasyid alias Hasyik, Sitti ( isteri Rasyid ), Majo Ali, St . Marajo Dullah, Tabat, Dukap Marah Sulaiman, Sidi Marah Kalik, Dullah Pakih Sulai, Muhammad, Unik , Tabuh St. Mangkuto, Sain St.Malik, Rahman Sidi Rajo dan Kana.
Adalah Majo Ali yang dianggap paling radikal dan diayomi oleh rakyat karena dikenal ahli beladiri juga berpengalaman dalam perang Kamang sehingga dia menguasai teknik gerilya, persenjataan dan mengetahui kelemahan Belanda. Di suatu malam di asrama tentara Belanda terdengar gelak tawa penjajah akibat minuman keras, tentara Belanda tengah asyik berjudi. Dalam suasana gelap itulah seorang wanita cantik masuk ke asrama itu. Kedatangan wanita cantik itu tidak mengundang curiga, padahal yang muncul adalah Sitti buruan pemberontak yang paling dicari tentera Belanda. Siti yang sudah mempersiapkan rencana bersama kelompoknya membaur dengan tentera Belanda yang mabuk.
Karena kelelahan dan teler karena minuman keras, akhirnya puluhan tentara Belanda sudah terkapar di lantai tak sadarkan diri. Melihat peluang itu, Sitti segera memadamkan lampu dan memberi tanda pada para pejuang yang sudah siaga di luar markas Belanda itu.
Para pejuang menyerbu markas Belanda, terjadilah aksi pembantaian. Siti dengan garangnya menghabisi puluhan tentara Belanda yang panik karena ada serangan tiba-tiba. Para pejuang betul-betul beringas melampiaskan dendam rakyat Manggopoh yang ditindas dan disengsarakan Belanda.
Dalam aksi pembantaian di markas tentera Belanda itu tercatat 55 orang nyawa tentara marsose melayang, hanya dua orang yang berhasil kabur ke Lubukbasung walau dengan luka-luka serius di sekujur tubuhnya. Akibat pembantaian itu Belanda murka – namun delapan pedati harus dikerapkan untuk membawa mayat serdadu Belanda yang dibantai pejuang. Bahkan Belanda sengaja mendatangkan bantuan tentara dari Bukittinggi untuk membumihanguskan Manggopoh. Banyak warga tak bersalah jadi korban akibat tembakan membabi buta tentara Belanda yang murka .Bahkan patroli Belanda intensif ke perkampungan penduduk
Dampak aksi pejuang Manggopoh mendapat perhatian dari seorang ulama yakni Tuanku Padang yang langsung berangkat ke Manggopoh. Diam-diam diadakannya rapat lima orang pejuang Manggopoh, yakni, Tabat, Sidi Marah Khalik, Muhammad dan Kana. Mereka memutuskan mengadakan penyerbuan yang kedua. Kedua ke markas Belanda itu dilakukan sore hari pukul 5.30, para pejuang hanya menggunakan senjata tajam. Namun aksi penyerangan itu berakhir naas, lima pejuang berani itu tewas ditembak senjata otomatis milik Beland.
Besoknya Belanda makin garang melakukan patroli, tentara penjajah berhasil menembak Majo Ali dan St. Marajo. Sudah 7 nyawa pejuang dari kelompk 14 yang melayang . Adapun Sitti dan Rasyid bersembunyi di Tarok Bajolang. Pelarian Sitti dan suaminya berlanjut bersama kawannya Tabuh, menuju ke Batu Rubiah, tapi suami isteri pejuang itu berhasil ditangkap tentara Belanda di Bawan.
Keduanya menjalani hukuman, Rasyid dibuang ke Menado sedang Sitti dibuang ke Pariaman. Keduanya hidup dalam rajaman penderitaan. Kedua pejuang kemerdekaan ini tak pernah bertemu lagi sampai akhir hayatnya. Mandeh Sitti Manggopoh, hingga kini belum ditetapkan sebagai pahlawan nasional, namun pemerintah sudah mengakui jasanya, dengan menetapkan mandeh Sitti sebagai Perintis Kemerdekaan, sesuai surat keputusan Menteri Sosial tanggal 17 januari 1964, nomor Pol: 1379/64/P.K. Lembaran Negara nomor 19/1964.
Mandeh Sitti Manggopoh wafat tanggal 20 Agustus 1965 jam 15.30 WIB di Gasan Gadang, Padang Pariaman dalam usia 84 tahun dimakamkan dengan upacara kenegaraan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Lolong, Padang. Namun, hingga kini di saat seabad peringatan perang Manggopoh, semangat juang Mandeh Sitti Singa Betina yang ditakuti penjajah Belanda akan tetap hidup. (men/berbagai sumber ) Sumber: Padang Ekspres
DITULIS Abel Tasman, Nita Indrawati, dan Sastri Yunizarti Bakry dengan editor ahli Dr Mestika Zed MA, buku yang diterbitkan Yayasan Citra Budaya Indonesia, Padang, dan diluncurkan tanggal 20 Mei 2007 lalu itu menurut Raudha Thaib, pembedah buku yang dalam karya sastra namanya dikenal sebagai Upita Agustine, Siti Mangopoh adalah perempuan pejuang dari desa kecil terpencil di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. “Perempuan pejuang yang berjuang bersama laki-laki tanpa mengenal perjuangan gender.
Seorang tokoh perempuan yang tidak berkaok-kaok terhadap persamaan hak antara laki-laki dan perem- puan. Perempuan pejuang yang tidak mau melawan kodrat dan fitrahnya sendiri, tetapi sanggup menjadi pemimpin dari sekian laki-laki pejuang lainnya dan sebagai api dalam menggelorakan semangat antipenjajahan,” kata dia. Dalam konteks ini, lanjut Raudha Thaib, buku Siti Manggopoh sangatlah berharga. Apalagi ketika orang Minangkabau tengah mencari sosok perempuan Minang, buku ini menjadi terasa semakin penting. Senada dengan itu, sosiolog dari Universitas Andalas Padang, Dr Damsar, mengatakan, Siti Manggopoh merupakan gong perjuangan kebangkitan kaum perempuan dalam kancah politik. “Siti Manggopoh berjasa dalam menegakkan marwah rakyat tertindas. Pantas gelar pahlawan diberikan kepada dia. Gelar tersebut telah diberikan masyarakat Minangkabau, namun belum diberikan oleh Pemerintah Indonesia,” katanya.
Menurut Damsar, kalau dibandingkan dengan Raden Ajeng Kartini, perjuangan Siti Manggopoh tidak kalah besar sumbangsihnya kepada masyarakatnya. KENAPA Siti Manggopoh layak digelari pahlawan nasional? Selama ini Siti Manggopoh hampir tak pernah disebut dalam buku sejarah nasional. Kalaupun disebut, paling 1-2 alinea. Sama halnya dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang hanya disinggung sedikit dan dianggap tak penting. Namun, bagi peneliti dan sejarawan Dr Mestika Zed MA, keberadaan PDRI yang berpusat di Bukittinggi itu bisa menjadi satu buku tebal dan mendapat banyak pujian dari kalangan sejarawan dalam dan luar negeri. Sampai-sampai buku tentang PDRI itu pernah mendapat penghargaan sebagai buku ilmu-ilmu sosial terbaik tiga tahun lalu. Dan cerita soal Siti Manggopoh bisa menjadi buku setebal 98 + xiii halaman.
Menurut Raudha Thaib, buku Siti Manggopoh penuh dengan makna tertulis dan tersirat. Dilahirkan bulan Mei 1880, Siti Manggopoh pada tahun 1908 melakukan perlawanan terhadap kebijakan ekonomi Belanda melalui pajak uang (belasting). Gerakan rakyat untuk menolak kebijakan belasting di Manggopoh disebut dengan Perang Belasting. Dalam perspektif rakyat, menurut Dr M Nur MS, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sumatera Barat, belasting merupakan tindakan pemerintah yang menginjak harga diri karena mereka merasa terhina mematuhi peraturan untuk membayar pajak tanah yang dimiliki secara turun temurun. Apalagi peraturan belasting dianggap bertentangan dengan adat Minangkabau. Tanah adalah kepunyaan komunal atau kaum di Minangkabau. “Gerakan ini dipimpin seorang perempuan yang sangat berani dan gigih menentang koloni asing, yaitu Siti Manggopoh. Perlawanannya berbentuk reaksi hebat terhadap penetrasi Pemerintah Hindia Belanda,” kata dia.
Peristiwa yang tidak bisa dilupakan Belanda adalah gerakan yang dilakukan Siti Manggopoh pada tanggal 16 Juni 1908. Belanda sangat kewalahan menghadapi tokoh perempuan Minangkabau ini sehingga meminta bantuan kepada tentara Belanda yang berada di luar nagari Manggopoh. Dalam buku Siti Manggopoh disebutkan, dengan siasat yang diatur sedemikian rupa oleh Siti, dia dan pasukannya berhasil menewaskan 53 orang serdadu penjaga benteng. Menurut Hayati Nizar, juga pembedah buku, sebagai perempuan Siti Manggopoh cukup mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Ia memanfaatkan naluri keperempuanannya secara cerdas untuk mencari informasi tentang kekuatan Belanda tanpa hanyut dibuai rayuan mereka. “Ia pernah mengalami konflik batin ketika akan mengadakan penyerbuan ke benteng Belanda. Konflik batin tersebut adalah antara rasa keibuan yang dalam terhadap anaknya yang erat menyusu di satu pihak dan panggilan jiwa untuk melepaskan rakyat dari kezaliman Belanda di pihak lain, namun ia segera keluar dari sana dengan memenangkan panggilan jiwanya untuk membantu rakyat,” ujar dia. Tanggung jawabnya sebagai ibu dilaksanakan kembali setelah melakukan penyerangan. Bahkan anaknya, Dalima, dia bawa melarikan diri ke hutan selama 17 hari dan selanjutnya dibawa serta ketika ia ditangkap dan dipenjara 14 bulan di Lubukbasung, 16 bulan di Pariaman, dan 12 bulan di Padang. Mungkin karena anaknya masih kecil atau karena alasan lainnya, akhirnya Siti Manggopoh dibebaskan. Namun, suaminya dibuang ke Manado.
Sejarawan Dr M Nur MS berpendapat, Siti Manggopoh adalah satu-satunya perempuan Minangkabau yang berani melancarkan gerakan sosial untuk mempertahankan nagarinya terhadap pengaruh asing. Bahkan tidak jarang gerakan yang dilancarkannya secara fisik. “Antara Siti Manggopoh di Minangkabau dan Cut Nyak Dien di Aceh mungkin dapat ditarik suatu garis lurus dalam persamaan atau mungkin perbedaannya. Akan tetapi, yang jelas, kedua perempuan ini tidak kenal lelah dan berani memimpin di tengah kaum laki-laki. Peristiwa itu dapat dijadikan pedoman dan bukti bahwa kaum perempuan Minangkabau tidak berbeda kemampuan dan haknya dari kaum laki-laki,” jelasnya. (YURNALDI sumber KOMPAS)
Ditulis oleh Yurnaldi
Sumber : www.kompas.com
Mandeh Sitti ( 1881-1965 ), Singa Betina dari Manggopoh
Mandeh Sitti Manggopoh( 1881-1965 ), pahlawan daerah sumbar, pejuang wanita dari sumbar,Sejak tahun 1908 api perlawanan terhadap Belanda berkobar di Manggopoh. Aksi penjajah Belanda yang menyengsarakan rakyat memicu pemberontakan di berbagai tempat, termasuk di Manggopoh. Sitti – dikenal dengan sebutan Mandeh Sitti Manggopoh , seorang wanita pejuang dalam perang Manggopoh bersama suami dan kelompoknya Mandeh Sitti yang dikenal sangat cantik, luwes namun lihai beladiri silek, dikenal pembenci penjajah.
Hal itu dibuktikan Mandeh Sitti bersama pasukannya berhasil menghabisi serdadu Belanda di markasnya sendiri, 55 orang serdadu Belanda tewas. Penyerbuan itu nestapa luar biasa bagi Belanda. Sitti lahir 15 Juni 1881 di Manggopoh, Lubukbasung, Agam. Orangtuanya petani biasa. Sitti tak pernah menduduki bangku sekolah , karena waktu itu belum ada sekolah rendah sekalipun. Untuk pendidikannya Sitti hanya belajar mengaji di surau, menimba ilmu sekaligus mempelajari adat istiadat Minangkabau.
Usia 15 tahun, Sitti dikawinkan orangtuanya dengan Rasyid, yang dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik. Walau sudah berkeluarga dan mengurus anak, kebencian Sitti terhadap penjajah Belanda justru kian menumpuk, apalagi akhir 1907 pemerintah Belanda bersiap mengembangkan sayap jajahannya.
Apalagi penindasan kian menyakitkan, Belanda menerapkan kewajiban belasting (pajak) pada rakyat , tak peduli kehidupan masyarakat yang susah. Rakyat Minangkabau, termasuk di Manggopoh tidak menerima aturan itu di berbagai tempat muncul protes sehingga memicu pemberontakan.
Diawali Perang Kamang yang berlanjut di Manggopoh, Lintau, Solok Rao dan berbagai daerah lain. Perang Manggopoh meletus akibat rasa benci pada Belanda yang semena-mena warga disiksa, disuruh kerja paksa, wanita-wanita diperkosa serta berbagai tindakan biadab lain yang membuat hati warga mendidih.
Akibatnya di Manggopoh terbentuk badan perjuangan yang terdiri dari 14 orang pemuda militan masing-masing Rasyid alias Hasyik, Sitti ( isteri Rasyid ), Majo Ali, St . Marajo Dullah, Tabat, Dukap Marah Sulaiman, Sidi Marah Kalik, Dullah Pakih Sulai, Muhammad, Unik , Tabuh St. Mangkuto, Sain St.Malik, Rahman Sidi Rajo dan Kana.
Adalah Majo Ali yang dianggap paling radikal dan diayomi oleh rakyat karena dikenal ahli beladiri juga berpengalaman dalam perang Kamang sehingga dia menguasai teknik gerilya, persenjataan dan mengetahui kelemahan Belanda. Di suatu malam di asrama tentara Belanda terdengar gelak tawa penjajah akibat minuman keras, tentara Belanda tengah asyik berjudi. Dalam suasana gelap itulah seorang wanita cantik masuk ke asrama itu. Kedatangan wanita cantik itu tidak mengundang curiga, padahal yang muncul adalah Sitti buruan pemberontak yang paling dicari tentera Belanda. Siti yang sudah mempersiapkan rencana bersama kelompoknya membaur dengan tentera Belanda yang mabuk.
Karena kelelahan dan teler karena minuman keras, akhirnya puluhan tentara Belanda sudah terkapar di lantai tak sadarkan diri. Melihat peluang itu, Sitti segera memadamkan lampu dan memberi tanda pada para pejuang yang sudah siaga di luar markas Belanda itu.
Para pejuang menyerbu markas Belanda, terjadilah aksi pembantaian. Siti dengan garangnya menghabisi puluhan tentara Belanda yang panik karena ada serangan tiba-tiba. Para pejuang betul-betul beringas melampiaskan dendam rakyat Manggopoh yang ditindas dan disengsarakan Belanda.
Dalam aksi pembantaian di markas tentera Belanda itu tercatat 55 orang nyawa tentara marsose melayang, hanya dua orang yang berhasil kabur ke Lubukbasung walau dengan luka-luka serius di sekujur tubuhnya. Akibat pembantaian itu Belanda murka – namun delapan pedati harus dikerapkan untuk membawa mayat serdadu Belanda yang dibantai pejuang. Bahkan Belanda sengaja mendatangkan bantuan tentara dari Bukittinggi untuk membumihanguskan Manggopoh. Banyak warga tak bersalah jadi korban akibat tembakan membabi buta tentara Belanda yang murka .Bahkan patroli Belanda intensif ke perkampungan penduduk
Dampak aksi pejuang Manggopoh mendapat perhatian dari seorang ulama yakni Tuanku Padang yang langsung berangkat ke Manggopoh. Diam-diam diadakannya rapat lima orang pejuang Manggopoh, yakni, Tabat, Sidi Marah Khalik, Muhammad dan Kana. Mereka memutuskan mengadakan penyerbuan yang kedua. Kedua ke markas Belanda itu dilakukan sore hari pukul 5.30, para pejuang hanya menggunakan senjata tajam. Namun aksi penyerangan itu berakhir naas, lima pejuang berani itu tewas ditembak senjata otomatis milik Beland.
Besoknya Belanda makin garang melakukan patroli, tentara penjajah berhasil menembak Majo Ali dan St. Marajo. Sudah 7 nyawa pejuang dari kelompk 14 yang melayang . Adapun Sitti dan Rasyid bersembunyi di Tarok Bajolang. Pelarian Sitti dan suaminya berlanjut bersama kawannya Tabuh, menuju ke Batu Rubiah, tapi suami isteri pejuang itu berhasil ditangkap tentara Belanda di Bawan.
Keduanya menjalani hukuman, Rasyid dibuang ke Menado sedang Sitti dibuang ke Pariaman. Keduanya hidup dalam rajaman penderitaan. Kedua pejuang kemerdekaan ini tak pernah bertemu lagi sampai akhir hayatnya. Mandeh Sitti Manggopoh, hingga kini belum ditetapkan sebagai pahlawan nasional, namun pemerintah sudah mengakui jasanya, dengan menetapkan mandeh Sitti sebagai Perintis Kemerdekaan, sesuai surat keputusan Menteri Sosial tanggal 17 januari 1964, nomor Pol: 1379/64/P.K. Lembaran Negara nomor 19/1964.
Mandeh Sitti Manggopoh wafat tanggal 20 Agustus 1965 jam 15.30 WIB di Gasan Gadang, Padang Pariaman dalam usia 84 tahun dimakamkan dengan upacara kenegaraan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Lolong, Padang. Namun, hingga kini di saat seabad peringatan perang Manggopoh, semangat juang Mandeh Sitti Singa Betina yang ditakuti penjajah Belanda akan tetap hidup. (men/berbagai sumber ) Sumber: Padang Ekspres
Tidak ada komentar:
Posting Komentar