MESJID adalah salah satu unsur pelengkap yang menentukan eksistensi
sebuah nagari di Minangkabau. Ingatlah ungkapan Minangkabau klasik yang
menunjukkan syarat berdirinya sebuah nagari:
‘babalai bamusajik, balabuah batapian’ (mempunyai balai pertemuan
[balairuang], mesjid, lebuh raya, dan tepian tempat mandi).
Hadirnya mesjid sebagai bagian dari unsur kebudayaan Minangkabau jelas terkait dengan penetrasi agama Islam ke dalam kebudayaan Minangkabau. Revolusi agama yang terjadi pada paroh pertama abad ke-19 (Perang Paderi, 1803-1837) telah mengubah corak kebudayaan Minangkabau secara signifikan. Di benteng terbesar Padri di Bukit Tajadi, Bonjol, misalnya terdapat sebuah mesjid besar yang dapat menampung ratusan jemaah. J.C. Boelhouwer (1841) kagum sekali melihat kemegahan mesjid itu, dan oleh karena itu ia, walau berperang dengan kaum Padri, secara jujur menyatakan rasa salutnya kepada ketinggian teknologi membuat bangunan yang mereka miliki.
Mesjid merupakan unsur Islam yang lebih belakangan berintegrasi ke dalam kebudayaan Minangkabau dibanding surau yang lebih terkait dengan kaum dan suku. (Makanya dikenal istilah surau kaum). Seperti telah dikatakan di atas, mesjid kemudian menjadi salah satu identitas penting bagi sebuah nagari. Selepas perang Paderi, makin banyak mesjid didirikan di di Minangkabau. Seiring dengan perkembangan Islam, muncul pula berbagai polemik di seputar mesjid, khususnya mengenai salat Jumat. Seperti telah sama diketahui salat Jumat berjamaah hanya boleh dilakukan di mesjid, tidak boleh di surau. B.J.O. Schrieke dalam bukunya Pergolakan Agama di Sumatra Barat (1973, versi terjemahan Indonesia) mengatakan bahwa di banyak nagari di Minangkabau, khususnya di daerah Pariaman, terjadi berbagai konflik seputar mesjid. Konflik-konflik itu digerakkan oleh perbedaan-perbedaan pandangan keagamaan antara berbagai kelompok tarekat, khususnya di seputar penyelenggaraan salat Jumat berjamaah dan bahasa yang dipakai dalam khotbah. Namun, barangkali juga konflik itu terkait dengan rivalitas antara beberapa ulama untuk merebut perhatian publik.
Hadirnya mesjid sebagai bagian dari unsur kebudayaan Minangkabau jelas terkait dengan penetrasi agama Islam ke dalam kebudayaan Minangkabau. Revolusi agama yang terjadi pada paroh pertama abad ke-19 (Perang Paderi, 1803-1837) telah mengubah corak kebudayaan Minangkabau secara signifikan. Di benteng terbesar Padri di Bukit Tajadi, Bonjol, misalnya terdapat sebuah mesjid besar yang dapat menampung ratusan jemaah. J.C. Boelhouwer (1841) kagum sekali melihat kemegahan mesjid itu, dan oleh karena itu ia, walau berperang dengan kaum Padri, secara jujur menyatakan rasa salutnya kepada ketinggian teknologi membuat bangunan yang mereka miliki.
Mesjid merupakan unsur Islam yang lebih belakangan berintegrasi ke dalam kebudayaan Minangkabau dibanding surau yang lebih terkait dengan kaum dan suku. (Makanya dikenal istilah surau kaum). Seperti telah dikatakan di atas, mesjid kemudian menjadi salah satu identitas penting bagi sebuah nagari. Selepas perang Paderi, makin banyak mesjid didirikan di di Minangkabau. Seiring dengan perkembangan Islam, muncul pula berbagai polemik di seputar mesjid, khususnya mengenai salat Jumat. Seperti telah sama diketahui salat Jumat berjamaah hanya boleh dilakukan di mesjid, tidak boleh di surau. B.J.O. Schrieke dalam bukunya Pergolakan Agama di Sumatra Barat (1973, versi terjemahan Indonesia) mengatakan bahwa di banyak nagari di Minangkabau, khususnya di daerah Pariaman, terjadi berbagai konflik seputar mesjid. Konflik-konflik itu digerakkan oleh perbedaan-perbedaan pandangan keagamaan antara berbagai kelompok tarekat, khususnya di seputar penyelenggaraan salat Jumat berjamaah dan bahasa yang dipakai dalam khotbah. Namun, barangkali juga konflik itu terkait dengan rivalitas antara beberapa ulama untuk merebut perhatian publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar