RANAH MINANG

Mounting created Bloggif Mounting created Bloggif

Jumat, 20 April 2012

Tibo di Mato Indak Bapiciangkan/di Paruik Indak Bakampihkan

Nabi Muhammad pun menganjurkan umatnya berguru sampai ke Cina. Berapa banyak kajian perang Cina klasik jadi acuan analisis perang moderen dan dituangkan dalam konsep/sistem bisnis moderen. Di antara yang paling menarik pada Huang Ti, kepemimpinannya yang kuat (strong leadership)— termasuk sangat tegas dan tegar/kejam dalam keputusan dan pelaksanaan kebijakannya.

Untuk memahami kepemimpinan Huang Ti, ada baiknya kita mengetahui lebih dulu perkembangan politik/pemerintahan di masa kelahirannya. Huang dilahirkan di ujung masa kekuasaan dinasti Chou (1.100 SM) yang kehilangan kontrol terhadap wilayah kerajaan sangat luas dan dan terdiri atas kerajaan kecil feodal yang selalu bertempur antara satu dengan lainnya. Di antara kerajaan feodal terkuat adalah Ch’in di bagian selatan daratan Cina yang menganut mazhab Kong hu-cu. Para pemimpin Ch’in menganut mazhab/filosofi legalis, dan berpendapat: rakyat tak dapat diperintah dengan cara-cara Kong Hu-cu. Mereka berpendapat, rakyat harus diawasi ketat lewat aturan-aturan keras/dipaksa tanpa pandang bulu. Hukum dan aturan digariskan penguasa yang dapat mengubah bila dipandang perlu untuk kepentingan politik masa depan negeri.

 BEGITU Cucu Magek Dirih membolak-balik kepemimpinan kuat/berdisiplin tanpa mempertentangkan filosofi/pembangunan sistem lazim di lingkungan militer dan atau masyarakat sipil—termasuk dalam pengertian filosofi Minang “Kok iyo tibo di mato, lai indak ka ba-piciangkan/kok iyo tibo di paruik, lai indak ka ba-kampihkan” tadi. Cucu mencoba membayangkan bagaimana pemimpin ini hari (presiden, gubernur, bupati/walikota — dan kepala desa/walinagari) di alam reformasi/yang didapatkan melalui pemilihan umum sebagai piranti pokok demokratrisasi. Cucu merasa heran, bagaimana pemimpin hasil pemilihan/dipilih langsung oleh rakyat tidak dapat berdisiplin dan tidak memiliki keberanian bertindak tegas/tegar—bertindak tak populer dan tak menyenangkan sebagian orang seperti dikatakan Jenderal Powel?

Adakah saat ini kita membutuhkan the strong leadership yang tetap bergerak di batas koridor peraturan perundangan—legalis? Adakah kita dapat bersepaham tentang the strong leadership tidak analog dengan kepemimpinan otoriter, tapi, yang mampu melakukan otorisasi, sampai situasi kembali tertib: di mana semua orang — tanpa pandang bulu — patuh/taat pada hukum, dan para pemimpin memiliki keberanian cukup menegakkan hukum — juga tanpa pandang bulu!? Apa karena para pemimpin yang diperoleh melalui jalan demokratis juga sisa masa lalu yang menyembunyikan kebobrokan/kebusukannya?***

Tidak ada komentar: