DEMAM TASAWUF
Kekuatan tasawuf mampumem bangkitkan kesadaran dan nuansa
pembebasan masyarakat Muslim. Kecenderungan demam tasawuf di
perkotaan kian menunjukkan peningkatan. Kursus-kursus tasawuf yang
diselenggarakan oleh lembaga semacam LSAF, Paramadina, Sehati, Tazkiya,
dan lain-lain menarik minat yang cukup tinggi, terutama di kalangan kaum
kota yang terdidik secara modern.
Mubaligh-mubaligh dalam sosok sufi pun makin dirindukan
umat. Aa’ Gym, Arifin Ilham, atau Ihsan Tanjung, yang terkenal dengan
program Alquran Seluler, mewakili dai-dai sufi yang bertumpu pada
kekuatan akhlak dan aura spiritualnya. Buku-buku tasawuf, mulai dari
sufi klasik; Ibn Arabi, al-Hallaj, al-Aththar, al-Qawariri, atau
al-Kharraj hingga pemikir sufi kontemporer; Inayat Khan, Idris Shah,
Kabir Helminski, Hakim Moinuddin Christhi, Seyyed Hossein Nasr, dll
makin digemari dan membanjiri pasaran.
Kebangunan tasawuf ini dapat ditengarai sebagai antitesis fiqh-oriented
yang telah lama menghinggapi pola hidup masyarakat Muslim. Bukan
berarti fiqh tidak penting. Secara fungsional-historis, fiqh telah
berdiri memberi arah kejelasan ajaran-ajaran Islam, tapi
“penganakemasan” berlebihan pada fiqh hanya menggiring esktremisme
yang tidak bisa ditolerir. Wacana keberagamaan yang cenderung fiqh
bukan saja memancangkan reduksionisme pola pikir yang dualistis, tapi
juga mengintrodusir tafsir keagamaan “bawah-atas” yang sangat terikat
dengan ruang dan waktu, karenanya tidak berlaku universal. Fiqhisme
memang berhasil menjelaskan tata cara hidup, namun gagal mengajarkan
bagaimana menikmati hidup.
Dalam konteks ini, tasawuf hadir menginjeksi fungsi
pendalaman, sesuatu yang bersifat esoteris. Namun, tasawuf bukanlah
esoterisme. Karena esoterisme adalah pengembaraan aspek-aspek “dalam”
yang sepenuhnya terlepas dari sandaran jurisprudensi formal agama,
seperti syariat. Tasawuf berpijak pada syariat untuk menjalani tarekat
guna mencapai hakikat. Inilah neo-sufisme yang dimunculkan Fazlur
Rahman (1979) dengan menitikberatkan pada rekonstruksi sosio-moral
masyarakat Muslim. Dengan pendalaman, tasawuf diharapkan memberikan
tempat buat bangkitnya kesadaran dan nuansa pembebasan bagi masyarakat
Muslim.
Demam tasawuf yang kian lama kian meluas ini tidak dapat
disederhanakan mewakili bangkitnya spiritualitas keberagamaan. Di
tengah keberhasilannya melakukan institusionalisasi level perebutan
sumber daya kecenderungan tasawuf dewasa kini, sebagai representasi mainline spiritualitas Islam, tengah mengalami sejumlah kelimbungan.
Pertama, tasawuf hanya mengorbit pada lingkaran
diskursif-konseptual. Transformasi ajaran-ajaran tasawuf berjalan
sebatas forum-forum kajian atau diskusi sehingga cenderung elitis dan
eksklusif. Ini bertentangan dengan karakter neo-sufisme yang puritanis
dan aktivis, sebagaimana diekspos oleh Fazlur Rahman. Kekuatan tasawuf
bukan cuma selaku bengkel akhlak, tapi juga berorientasikan
aksi-partisipatif. Tokoh-tokoh sufi besar pada saat yang sama adalah
transformator sosial di zamannya.
Seperti, Tarekat Sanusiyah berhasil mengusir kolonialis
dan menegakkan Libya. Imam Khomeini, pemimpin Revolusi Iran, dikenal
sebagai sufi zaman akhir. Berkat aliran aliran sufi, berpuluh-puluh
bangsa Chechen memelihara Islam dalam cengkeraman komunisme dan melawan
Rusia sendirian.
Tasawuf konseptual sulit mengeksekusi mobilitas sosial
karena transformasi doktrinal yang dibangun lebih menekankan hal-hal
abstrak, seperti moral, ibadah, dan tazkiyah. Nilai-nilai intrinsik
tidak akan melekat erat pada penganut tasawuf tanpa dibarengi
partisipasi empiris terhadap problem-problem umat. Bukan hanya
moral-ibadah, tetapi juga ekonomi, sosial, dan politik. Islam
mengajarkan penganutnya untuk melakukan kerja-kerja sosial dan aksi
pembebasan.
Kedua, tasawuf gagal menunjukkan cirinya sebagai
kekuatan oposisi. Orientasi ke “dalam” membuat tasawuf berupaya menjaga
jarak terhadap konflik, bahkan pada sisi tertentu cenderung
akomodatif. Konflik dan kontradiksi hanya merusak suasana hati,
menggerogoti upaya tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa) dalam menghampiri
Tuhan. Dalam menyikapi mad’u (objek dakwah), penganut tasawuf lebih
mementingkan rekonsiliasi (al-hikmah al-siysiyah); menambah pengikut
sebanyak-banyaknya dan mengurangi lawan sebesar-besarnya.
Suatu hal yang berbeda dengan gerakan tasawuf klasik.
Selain sebagai olah rohani, tasawuf pada waktu itu berperan melancarkan
gerakan oposisi keagamaan (pious opposition) terhadap
praktik-praktik penindasan. Oposisi yang dilokomotifi oleh Hasan
al-Bashri adalah sebuah contoh gerakan tasawuf yang paling fasih
menentang despotisme politik pemerintahan Umawi di Damaskus. Pada saat
ini, ideologi oposisi justru direbut oleh gerakan-gerakan Islam,
seperti al-Ikhwan al-Muslimin, Jamiah Islam, atau Hizb al-Tahrir lewat
slogan-slogan otensitas yang mereka usung. Dikhawatirkan, redanya
ideologi oposisi berdampak mengerdilnya kiprah dan aktivitas tasawuf
menjadi mistisisme an sich.
Ketiga, tasawuf cenderung bergeser ke arah pluralisme keberagamaan. Pluralisme dalam tasawuf bisa dilacak dari model spiritual dialogue
yang melibatkan agama-agama yang berbeda. Dialog spiritual ini merambat
melalui aspek esoteris agama, seperti ditawarkan misalnya oleh Schuon
(1975), Schimmel dan Falaturi (1979), dan Seyyed Hossein Nasr dalam
berbagai karyanya. Keterlibatan para cendekiawan Muslim dalam pelbagai
forum kajian spiritualitas lintas agama, semacam Anand Krishna atau
Brahma Kumaris, dan organisasi-organisasi dialog antaragama, seperti
Paramadina, Interfidei, dan MADIA juga mengalamatkan kecenderungan
tersebut.
Persoalannya bukan terletak pada keabsahan atau
ketidakabsahan pluralisme dalam tasawuf. Perkaranya, pluralisme berisiko
terperangkap pada pembonsaian pesan-pesan legal-formal Islam yang
notabene dipersonifikasikan dengan syariah. Sebagai bagian dari
disiplin ilmu Islam tradisional, tasawuf saling berimpitan (interwoven)
dengan syariat. Secara teologis, tanpa syariat, yang terkadang sarat
dengan simbol-simbol keagamaan, ajaran tasawuf berpotensi menyesatkan,
seperti klaim-klaim relativisme nilai dan kebenaran. Secara sosiologis,
integrasi syariat ke dalam tasawuf menghindari tasawuf dari citra
eskapisme yang kini banyak mewarnai gerakan-gerakan spiritualisme
lainnya.
Saya sependapat dengan Budhy Munawar-Rachman bahwa demam tasawuf yang
sekarang terjadi jangan disimpulkan berpindahnya ekspresi
keberagamaan umat Islam dari satu ekstrem (fiqh) ke ekstrem yang lain
(tasawuf). Kebangkitan tasawuf seyogianya menjadi awal dari kebangkitan
minat terhadap kajian dan pendalaman terhadap disiplin-disiplin Islam
yang lain, seperti tafsir dan falsafah. Sejumlah catatan di atas sama
sekali tidak bermaksud menafikan peran penganjur dan penganut tasawuf,
tapi lebih sebagai introspeksi dan otokritik demi mendongkrak ikhtiar
perbaikan di masa mendatang, agar umat Islam tidak terperangkap pada
model kebangkitan spiritualitas semu. Di sinilah kita tegak sekarang.
Mau kemana kita tentu menghajatkan pemikiran kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar