RANAH MINANG

Mounting created Bloggif Mounting created Bloggif

Jumat, 20 April 2012

Bangkitnya Spiritualitas Keberagamaan

DEMAM TASAWUF
Kekuatan tasawuf mampume­m­­­­­ bang­­kitkan ke­sa­daran dan nuansa pem­be­basan masya­rakat Muslim. Kecen­derungan demam tasa­wuf di perkotaan kian me­nunjukkan pening­katan. Kur­sus-kursus tasawuf yang diselenggarakan oleh lembaga semacam LSAF, Paramadina, Sehati, Tazkiya, dan lain-lain menarik minat yang cukup tinggi, terutama di kalangan kaum kota yang terdidik secara modern.
Mubaligh-mubaligh dalam sosok sufi pun makin dirin­dukan umat. Aa’ Gym, Arifin Ilham, atau Ihsan Tanjung, yang terkenal dengan program Alquran Seluler, mewakili dai-dai sufi yang bertumpu pada kekuatan akhlak dan aura spiritualnya. Buku-buku ta­sawuf, mulai dari sufi klasik; Ibn Arabi, al-Hallaj, al-Atht­har, al-Qawariri, atau al-Kharraj hingga pemikir sufi kontemporer; Inayat Khan, Idris Shah, Kabir Helminski, Hakim Moinuddin Christhi, Seyyed Hossein Nasr, dll makin digemari dan mem­banjiri pasaran.
Kebangunan tasawuf ini dapat ditengarai sebagai antitesis fiqh-oriented yang telah lama menghinggapi pola hidup masyarakat Muslim. Bukan berarti fiqh tidak penting. Secara fungsional-historis, fiqh telah berdiri memberi arah kejelasan aja­ran-ajaran Islam, tapi “penga­nakemasan” berlebihan pada fiqh hanya menggiring esktre­misme yang tidak bisa dito­lerir. Wacana keberagamaan yang cenderung fiqh bukan saja memancangkan reduk­sionisme pola pikir yang dualistis, tapi juga mengin­trodusir tafsir keagamaan “bawah-atas” yang sangat terikat dengan ruang dan waktu, karenanya tidak ber­laku universal. Fiqhisme memang berhasil menjelaskan tata cara hidup, namun gagal mengajarkan bagaimana me­nikmati hidup.
Dalam konteks ini, tasawuf hadir menginjeksi fungsi pen­dalaman, sesuatu yang bersifat esoteris. Namun, tasawuf bukanlah esoterisme. Karena esoterisme adalah pengem­baraan aspek-aspek “dalam” yang sepenuhnya terlepas dari sandaran juri­sprudensi formal agama, seperti syariat. Tasawuf ber­pijak pada syariat untuk menjalani tarekat guna men­capai hakikat. Inilah neo-sufisme yang dimunculkan Fazlur Rahman (1979) dengan menitikberatkan pada rekons­truksi sosio-moral masyarakat Muslim. Dengan pendalaman, tasawuf diharapkan mem­berikan tempat buat bangkit­nya kesadaran dan nuansa pembebasan bagi masyarakat Muslim.
Demam tasawuf yang kian lama kian meluas ini tidak dapat disederhanakan me­wakili bangkitnya spiritualitas ke­beragamaan. Di tengah ke­berhasilannya melakukan institusionalisasi level pere­bu­tan sumber daya kecen­derungan tasawuf dewasa kini, se­bagai representasi mainline spiri­tualitas Islam, tengah me­nga­lami sejumlah kelimbungan.
Pertama, tasawuf hanya mengorbit pada lingkaran diskursif-konseptual. Trans­formasi ajaran-ajaran tasawuf berjalan sebatas forum-forum kajian atau diskusi sehingga cenderung elitis dan eksklusif. Ini bertentangan dengan karak­ter neo-sufisme yang puritanis dan aktivis, sebagaimana diekspos oleh Fazlur Rahman. Kekuatan tasawuf bukan cuma selaku bengkel akhlak, tapi juga bero­rientasikan aksi-partisipatif. Tokoh-tokoh sufi besar pada saat yang sama adalah trans­formator sosial di zamannya.
Seperti, Tarekat Sanusiyah berhasil mengusir kolonialis dan menegakkan Libya. Imam Khomeini, pemimpin Revolusi Iran, dikenal sebagai sufi zaman akhir. Berkat aliran aliran sufi, berpuluh-puluh bangsa Chechen memelihara Islam dalam cengkeraman komunisme dan melawan Rusia sendirian.
Tasawuf konseptual sulit mengeksekusi mobilitas sosial karena transformasi doktrinal yang dibangun lebih mene­kankan hal-hal abstrak, se­perti moral, ibadah, dan tazkiyah. Nilai-nilai intrinsik tidak akan melekat erat pada penganut tasawuf tanpa di­barengi partisipasi empiris terhadap problem-problem umat. Bukan hanya moral-ibadah, tetapi juga ekonomi, sosial, dan politik. Islam mengajarkan penganutnya untuk melakukan kerja-kerja sosial dan aksi pembebasan.
Kedua, tasawuf gagal menunjukkan cirinya sebagai kekuatan oposisi. Orientasi ke “dalam” membuat tasawuf berupaya menjaga jarak ter­hadap konflik, bahkan pada sisi tertentu cenderung ako­modatif. Konflik dan kontra­diksi hanya merusak suasana hati, menggerogoti upaya tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa) dalam menghampiri Tuhan. Dalam menyikapi mad’u (objek dakwah), penga­nut tasawuf lebih me­menting­kan rekonsiliasi (al-hikmah al-siysiyah); menambah pe­ngikut sebanyak-banyaknya dan mengurangi lawan se­besar-besarnya.
Suatu hal yang berbeda dengan gerakan tasawuf klasik. Selain sebagai olah rohani, tasawuf pada waktu itu berperan melancarkan gerakan oposisi keagamaan (pious opposition) terhadap praktik-praktik penindasan. Oposisi yang dilokomotifi oleh Hasan al-Bashri adalah se­buah contoh gerakan tasawuf yang paling fasih menentang despotisme politik peme­rintahan Umawi di Damas­kus. Pada saat ini, ideologi oposisi justru direbut oleh gerakan-gerakan Islam, seperti al-Ikhwan al-Muslimin, Ja­miah Islam, atau Hizb al-Tahrir lewat slogan-slogan otensitas yang mereka usung. Dikhawatirkan, redanya ideo­logi oposisi berdampak me­nger­dilnya kiprah dan akti­vitas tasawuf menjadi mis­tisisme an sich.
Ketiga, tasawuf cenderung bergeser ke arah pluralisme keberagamaan. Pluralisme dalam tasawuf bisa dilacak dari model spiritual dialogue yang melibatkan agama-agama yang berbeda. Dialog spiritual ini merambat me­lalui aspek esoteris agama, seperti ditawarkan misalnya oleh Schuon (1975), Schimmel dan Falaturi (1979), dan Seyyed Hossein Nasr dalam berbagai karyanya. Keter­libatan para cendekiawan Muslim dalam pelbagai forum kajian spiritualitas lintas agama, semacam Anand Kris­hna atau Brahma Kumaris, dan organisasi-organisasi dialog antaragama, seperti Paramadina, Interfidei, dan MADIA juga mengalamatkan kecenderungan tersebut.
Persoalannya bukan ter­letak pada keabsahan atau ketidakabsahan pluralisme dalam tasawuf. Perkaranya, pluralisme berisiko ter­perang­kap pada pembonsaian pesan-pesan legal-formal Islam yang notabene dipersonifikasikan dengan syariah. Sebagai ba­gian dari disiplin ilmu Islam tradisional, tasawuf saling berimpitan (interwoven) dengan syariat. Secara teologis, tanpa syariat, yang terkadang sarat dengan simbol-simbol ke­agamaan, ajaran tasawuf berpotensi menyesatkan, seperti klaim-klaim rela­tivisme nilai dan kebenaran. Secara sosiologis, integrasi syariat ke dalam tasawuf menghindari tasawuf dari citra eskapisme yang kini banyak mewarnai gerakan-gerakan spiritualisme lainnya.
Saya sependapat dengan Budhy Munawar-Rachman bahwa demam tasawuf yang sekarang terjadi jangan di­simpul­kan berpindahnya eks­presi keberagamaan umat Islam dari satu ekstrem (fiqh) ke ekstrem yang lain (tasa­wuf). Kebangkitan tasawuf seyogianya menjadi awal dari kebangkitan minat terhadap kajian dan pendalaman ter­hadap disiplin-disiplin Islam yang lain, seperti tafsir dan falsafah. Sejumlah catatan di atas sama sekali tidak ber­maksud menafikan peran penganjur dan penganut ta­sawuf, tapi lebih sebagai introspeksi dan otokritik demi mendongkrak ikhtiar per­baikan di masa mendatang, agar umat Islam tidak ter­perangkap pada model ke­bangkitan spiritualitas semu. Di sinilah kita tegak sekarang. Mau kemana kita tentu meng­hajat­kan pemikiran kita semua.

Tidak ada komentar: