rina pili
Anak-anak Rajawali, begitulah mereka disebut. Berasal dari kalangan marginal, anak jalanan dan para pengemis, hampir setiap malam mereka ngumpul dan tidur di Blok Rajawali yang terletak di Blok Barat Pasar Raya Kota Padang. Anak-anak rajawali tak punya rumah tetap, hunian mereka hanyalah sudut sempit Blok Rajawali. Segala rona kehidupan didapatkan para
‘penghuni’ yang rata-rata berusia 8-16 tahun.
Di huniannya, anak Rajawali begitu bebas. Ada yang bercanda, tertidur pulas sambil memegangi perut, bahkan ada juga yang sedang bermesum ria dan merengek karena kelaparan. Setiap malam, Gang Rajawali selalu disingahi anak jalanan sekedar untuk melepas lelah setelah seharian mengemis, ngamen atau memalak, cara keras bertahan hidup, tapi siapa peduli? Semua terlalu asyik dengan dunia hingga lupa ada yang tercecer dimakan kerasnya jalanan.
Tradisi Rajawali sudah berjalan turun-temurun dikalangan kaum jalanan, Rajawali tempat singgah “Ini tempat yang tak pernah dijarah aparat. Di sini kami aman mau ngapain aja,” ucap Anjal yang mengaku bernama Reno kepada POSMETRO. Dia tersenyum sembar mengapit katron bekas yang mungkin akan dijadikan alas tidurnya. Reno berlalu, bau pesing tercecer dari angin tubuhnya yang kurus dengan rambut memirang karena tempaan matahari.
Warga Rajawali paling kecil bernama Anif. Umurnya baru tujuh tahun. Kesehariannya, Anif mengemis di lampu merah Ahmad Yani. Memakai baju longgar berwarna merah PDI-Perjuangan,
Anif duduk merenung di sudut kanan blok Rajawali. “Tadi hanya makan Ladu pemberian pengemudi mobil. Hanya dapat uang Rp.10 ribu tadi dan kesemuanya diambil Apak Bos,” Katanya, tanggannya penuh bintilan yang bernanah. Alif tak punya orang tua, dia hanya tahu pak bos. Seorang wanita berusia sekitar 15 tahun menghampirinya, dia memakai baju hitam, nampaknya seorang Punkers. Wanita itu memberi Anif sisa rokok yang baru separoh dihisapnya.
Mungkin anak-anak Rajawali hanyalah segelintir dari anak jalanan yang ada di Kota Padang. Awal tahun 209 saja tercatat ada sekitar 2.262 orang anak jalanan di Padang. Jumlah itu melangkaui lima kota lainnya, yakni Solok 684, Sawahlunto 370, Sijunjung 354, Padang Panjang 110 dan Padang Pariaman 100 orang. Fenomena yang sangat riskan rasanya jika dipandang dari filsofi minang sendiri.
Penyaluran dana program Health and Nutrition Sector Development Programme (HNSDP), sebagai paket bantuan dari Asean Development Bank (ADB) nampaknya belum tepat sarsaran. Bukti kecilnya, anak-anak Rajawali masih tetap ada dari waktu ke waktu. Mereka tetap mencicipi kerasnya hidup di umur yang seharusnya mendapatkan bimbingan.
Anak rajawali tetap tergelepar di jalanan kota Padang. Kasihan tak terlihat hadir untuk mereka, cacian bertubilah yang datang, adakah yang ada untuk anak rajawali? Kalau ditanya siapa yang bertangung jawab, atas kasus ini? mungkin banyak. Walau dalam Undang-undang Indonesia nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tertulis kalau anak terlantar dibiayai negara, namun di Minang sendiri nampaknya Niniak Mamak juga harus bertanggung jawab karena tak berhasil mendidik kemenakannya.
“Seharusnya, jika Niniak Mamak berperan aktif membimbing kemenanaknnya, fenomena anak jalanan tidak akan ada. Memang, dari pemerintahan kami juga bertanggung jawab. Tapi, tidakkah ada rasa malu ketika anak kemenakan kita ada di jalan dan meminta sedekah,” kata Kepala Dinas Sosial Tenaga erja (Dinsosnaker) Kota Padang Heryanto Rustam .
Namun, perdebatan panjang rupanya belum mampu menyelamatkan masa depan anak jalanan. Mereka tetap tertatih memikul beban berat. Seperti anak-anak Rajawali, hidup dari tadahan tangan, setiap hari mereka turun ke jalan untuk menyambung hidup. Mengemis dan ngamen adalah rutinitas sehari-hari. Tak dapat dipungkiri, kehadiran mereka disebabkan rasa sosial yang semakin merendah. Mereka terabaikan, terlupakan dari bangku sekolah dan pendidikan, serta terbuang hingga ke Blok Rajawali.
“Anak-anak Rajawali tetap bergeming dengan hidup. Anak rajawali tetap bertahan, bergolek di dalam lumpur hina. Anak Rajawali hilang dideru knalpot kendaraan. Anak rajawali, nasipmu sekelumit glamour yang tercecer. Anak rajawali, kapankah kalian bisa makan tiga kali sehari..??? Aku melangkah karena tak bisa memberikan sesuatu, anak Rajawali tergelapar lelah, berebutan sesobek karpet merah usang sebagai alas tidur, mereka terpelesah”(**)
Anak-anak Rajawali, begitulah mereka disebut. Berasal dari kalangan marginal, anak jalanan dan para pengemis, hampir setiap malam mereka ngumpul dan tidur di Blok Rajawali yang terletak di Blok Barat Pasar Raya Kota Padang. Anak-anak rajawali tak punya rumah tetap, hunian mereka hanyalah sudut sempit Blok Rajawali. Segala rona kehidupan didapatkan para
‘penghuni’ yang rata-rata berusia 8-16 tahun.
Di huniannya, anak Rajawali begitu bebas. Ada yang bercanda, tertidur pulas sambil memegangi perut, bahkan ada juga yang sedang bermesum ria dan merengek karena kelaparan. Setiap malam, Gang Rajawali selalu disingahi anak jalanan sekedar untuk melepas lelah setelah seharian mengemis, ngamen atau memalak, cara keras bertahan hidup, tapi siapa peduli? Semua terlalu asyik dengan dunia hingga lupa ada yang tercecer dimakan kerasnya jalanan.
Tradisi Rajawali sudah berjalan turun-temurun dikalangan kaum jalanan, Rajawali tempat singgah “Ini tempat yang tak pernah dijarah aparat. Di sini kami aman mau ngapain aja,” ucap Anjal yang mengaku bernama Reno kepada POSMETRO. Dia tersenyum sembar mengapit katron bekas yang mungkin akan dijadikan alas tidurnya. Reno berlalu, bau pesing tercecer dari angin tubuhnya yang kurus dengan rambut memirang karena tempaan matahari.
Warga Rajawali paling kecil bernama Anif. Umurnya baru tujuh tahun. Kesehariannya, Anif mengemis di lampu merah Ahmad Yani. Memakai baju longgar berwarna merah PDI-Perjuangan,
Anif duduk merenung di sudut kanan blok Rajawali. “Tadi hanya makan Ladu pemberian pengemudi mobil. Hanya dapat uang Rp.10 ribu tadi dan kesemuanya diambil Apak Bos,” Katanya, tanggannya penuh bintilan yang bernanah. Alif tak punya orang tua, dia hanya tahu pak bos. Seorang wanita berusia sekitar 15 tahun menghampirinya, dia memakai baju hitam, nampaknya seorang Punkers. Wanita itu memberi Anif sisa rokok yang baru separoh dihisapnya.
Mungkin anak-anak Rajawali hanyalah segelintir dari anak jalanan yang ada di Kota Padang. Awal tahun 209 saja tercatat ada sekitar 2.262 orang anak jalanan di Padang. Jumlah itu melangkaui lima kota lainnya, yakni Solok 684, Sawahlunto 370, Sijunjung 354, Padang Panjang 110 dan Padang Pariaman 100 orang. Fenomena yang sangat riskan rasanya jika dipandang dari filsofi minang sendiri.
Penyaluran dana program Health and Nutrition Sector Development Programme (HNSDP), sebagai paket bantuan dari Asean Development Bank (ADB) nampaknya belum tepat sarsaran. Bukti kecilnya, anak-anak Rajawali masih tetap ada dari waktu ke waktu. Mereka tetap mencicipi kerasnya hidup di umur yang seharusnya mendapatkan bimbingan.
Anak rajawali tetap tergelepar di jalanan kota Padang. Kasihan tak terlihat hadir untuk mereka, cacian bertubilah yang datang, adakah yang ada untuk anak rajawali? Kalau ditanya siapa yang bertangung jawab, atas kasus ini? mungkin banyak. Walau dalam Undang-undang Indonesia nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tertulis kalau anak terlantar dibiayai negara, namun di Minang sendiri nampaknya Niniak Mamak juga harus bertanggung jawab karena tak berhasil mendidik kemenakannya.
“Seharusnya, jika Niniak Mamak berperan aktif membimbing kemenanaknnya, fenomena anak jalanan tidak akan ada. Memang, dari pemerintahan kami juga bertanggung jawab. Tapi, tidakkah ada rasa malu ketika anak kemenakan kita ada di jalan dan meminta sedekah,” kata Kepala Dinas Sosial Tenaga erja (Dinsosnaker) Kota Padang Heryanto Rustam .
Namun, perdebatan panjang rupanya belum mampu menyelamatkan masa depan anak jalanan. Mereka tetap tertatih memikul beban berat. Seperti anak-anak Rajawali, hidup dari tadahan tangan, setiap hari mereka turun ke jalan untuk menyambung hidup. Mengemis dan ngamen adalah rutinitas sehari-hari. Tak dapat dipungkiri, kehadiran mereka disebabkan rasa sosial yang semakin merendah. Mereka terabaikan, terlupakan dari bangku sekolah dan pendidikan, serta terbuang hingga ke Blok Rajawali.
“Anak-anak Rajawali tetap bergeming dengan hidup. Anak rajawali tetap bertahan, bergolek di dalam lumpur hina. Anak Rajawali hilang dideru knalpot kendaraan. Anak rajawali, nasipmu sekelumit glamour yang tercecer. Anak rajawali, kapankah kalian bisa makan tiga kali sehari..??? Aku melangkah karena tak bisa memberikan sesuatu, anak Rajawali tergelapar lelah, berebutan sesobek karpet merah usang sebagai alas tidur, mereka terpelesah”(**)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar