Kisah Pariangan juga dijual ke wisatawan dan dicatat di buku-buku. Sebagai tanda pemerintah provinsi peduli, seharusnya bangun jugalah agak sedikit. Gerbang pun jadi. Jangan lantas ditolak begitu saja. Saya dapat informasi, dana untuk itu dicoret oleh Kemendagri. Mudah-mudahan informasi itu salah.
Orang pariwisata menuliskan nagari-nagari di Tanah Datar sebagai desa sejarah dan budaya, mengajak para turis ke sana, tapi tidak memedulikannya. Mambali nak ibu, mamakan nak lamang. Ini gaya lama.
Pemkab Tanah Datar sendiri, seharusnya juga memberikan perhatian agak berlebih kepada Pariangan, seperti juga Pagaruyuang. Ini penting, untuk menunjukkan, “kita punya sesuatu”.
APBD Sumbar telah kehilangan rasa, yang seharusnya tidak demikian. Atau pengelola pemerintahan yang sudah tidak peduli? APBD 2012 setahu saya memuat anggaran untuk ABS-SBK. Sepanjang tidak ada Tambo Minangkabau baru, maka Pariangan menjadi sentral, seperti juga sejumlah nagari lain di Tanah Datar.
ABS-SBK bisa dipakai untuk menolong Pariangan, seperti yang diperjuangkan sejumlah anggota DPRD Sumbar selama ini. Dan, gagal!
Bagi saya penolakan atas usulan anggaran yang secuil untuk Pariangan, menunjukkan hilangnya pemahaman atas simbol-simbol. Apa perlunya simbol? Sama dengan logo. Penting.
Bukankah Pariangan romantisme sejarah belaka? Kalau ia, maka hidup memerlukan romantisme, hidup tidak lurus saja. Ada cengkoknya seperti lagu dangdut. Lagu tanpa cengkok, cobalah nyanyikan, lain pula dengungnya.
Ah, sejarah Minangkabau 83 persen dongeng dan sisanya baru fakta. Ini sudah sejak dulu disebut-sebut, tapi bukan berarti harus membenci suku bangsa sendiri. Kita hanya punya sejarah moderen, sejarah masa lalu, tidak seberapa. Jangan bersikap seperti itu. Merasa hebat sendiri. Suku bangsa kita dihargai orang, harus didahului oleh kita sendiri.
Tapi tanpa sentuhan pemerintah pun, Pariangan akan terus ada. Sejarah telah memakukan nagari itu di kaki Gunung Marapi, yang dicaci-maki pula dengan pantun “sagadang talua itiak.” Dijadikan lawak-lawakan. Jangankan gunung, isi Tambo saja dilecehkan. Bundo Kanduang dan orang-orang hebat dari Kerajaan Pagaruyuang pun tak luput.
Cobalah kita hidup di zaman kerajaan, apa bisa jadi raja? Kita belum ada apa-apanya. Coba tulis Tambo agak satu, kalau bisa.
Dan soal Pariangan? Banyak yang menyangsikan kebenarannya, karena tidak ada catatan sejarahnya. Jangankan Pariangan, tanggal lahir saja banyak yang tak mencatat. Selain itu, tahukah Anda siapa kakek dari kakek kita? Tahukah batas-batas nagari sendiri?
Nah lupakan? Jadi mentang-mentang tak ada catatan sejarahnya, lantas dianggap dongeng. Kita belum ada apa-apanya
oleh rina pili
Tidak ada komentar:
Posting Komentar