Jika
Anda berkunjung ke rumah makan Padang atau tempat-tempat tertentu yang
milik hubunganya dengan Padang. Mungkin saja Anda sering melihat foto
seorang kakek-kakek yang memakai kopiah haji atau peci warna hitam yang
terpajang didinding. Kakek tersebut adalah Ungku Saliah sepupu dari
Pakiah Saleh dimana beliau dekat sekali dengan Buya Hamka . Ungku Saliah
adalah seorang yang taat beragama semasa hidupnya dan beliau bermazhab
syafi’i, beliau tinggal di daerah Piaman Laweh, atau tepatnya di daerah
Sungai Sariak, Pariaman.
Setelah
wafat, makam dan foto beliau dikeramatkan oleh murid-murid Hamzah
al-Fansuri, para pengagum dan orang-orang yang mengetahui cerita serta
seluk beluk beliau. Fotonya pun sering dijadikan jimat pelaris dagangan.
Termasuk di kedai-kedai nasi, rumah makan ataupun restoran Padang yang
mungkin pernah Anda jumpai.
Jika
ada foto kakek berkopiah itu terpajang di dinding rumah makan Padang,
Anda bisa langsung menyimpulkan bahwa kedai, toko atau rumah makan
Padang tersebut adalah milik orang Pariaman yaitu Ungku Saliah atau
masakannya merupakan khas Pariaman. Demikian juga Pakiah Saleh sama
nasibnya dengan Ungku Saliah, dimana foto dan gambarnya terpajang di
Rumah Makan Padang. Ini membuat keluarga beliau berang sekali. Hal ini
terjadi di Kota Pekanbaru Riau ketika keluarga beliau yang sedang makan
di Rumah Makan tersebut memaksa pemilik Rumah Makan tersebut untuk
menurunkan foto Pakiah Saleh. Ditambah pada tahun lalu ketika keluarga
berniat membersihkan kuburan Pakiah Saleh tidak diduga ternyata Sesaji
dan Cangkang Kerang besar yang di isi air hujan di letakkan di
sekeliling kuburan, ternyata kuburan ini telah dikeramatkan oleh
murid-murid Hamzah al-Fansuri. Maka dengan terpaksa keluarga almarhum
Pakiah Saleh membersihkan sesaji dan sampah-sampah tersebut dimana
mereka menilai itu adalah syirik.
Sehingga
keluasan cakupan implementasi ajaran tasauf di Minangkabau sebagai
dikemukakan, memang menarik untuk dikaji, karena kemampuan para tokoh
tasauf dalam mentranformasikan inti ajarannya terhadap
persoalan-persoalan kemasyarakatan, sehingga keberadaannya sangat
mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat termasuk kehidupan
ekonomi, terutama di wilayah agraris pedalaman Minangkabau. Perkembangan
Islam di sini -dalam perjalanannya memang di warnai oleh berbagai
konflik keagamaan seperti yang terlihat dalam beberapa episode
kesejarahan dalam abad ke 19 dan 20 dan hal ini sering dipandang sebagai
suatu keniscayaan sejarah yang dapat dipahami pada akar kultural
masyarakat Minangkabau sendiri. Akan tetapi, keadaan konflik ini juga,
justru sekaligus memiliki potensi memunculkan berbagai praksis kultural
dalam dinamika perkembangan masyarakatnya. Konflik keagamaan yang
terjadi, baik antara Syathariyah dan Naqsyabandiyah, maupun antara
Naqsyabandiyah dengan golongan pembaharu, telah melahirkan dinamika
polemik pemikiran keagamaan yang berimplikasi terhadap intensitas
kegiatan intelektual yang ditandai banyaknya dihasilkan naskah
keagamaan. Naskah mana tentu tidak bisa diabaikan dalam melihat berbagai
aspek kehidupan keagamaan di daerah ini.
Latar
depan fenomena keagamaan abad ke 19 dan ke 20, di saat mana lahirnya
gagasan-gagasan awal pembaharuan Islam di Minangkabau, tidak dapat
dilepaskan dari fenomena historis yang terjadi sejak abad ke 16 atau
mungkin sejak abad ke 13 seperti yang diasumsikan sebagai awal kontak
budaya Islam di wilayah ini. Kontak awal Islam ini, demikian juga proses
serta bentuk konversi terhadap Islam pada tahap-tahap awal itu, tentu
akan menjadi salah satu determinan yang memberi warna terhadap berbagai
karakteristik yang muncul dalam perkembangan historis masyarakat di
wilayah ini. Akan tetapi beberapa penjelasan sejarah yang banyak
ditulis, sering memandang fenomena tersebut dari perspektif sosial
struktural semata, sehingga kenyataan historis Islam itu sendiri luput
diperhatikan. Apalagi pula kenyataan sumber-sumber yang terbatas serta
paradigma sejarah yang barat sentris, menjadikan beberapa dimensi dari
pengalaman historis agama ini menjadi terabaikan.
Gerakan
pembaharuan Islam di Sumatera Barat dimulai ketika Tuanku Nan Tuo
bersama murid-muridnya di surau Koto Tuo mengambil peran pemasyarakatan
syari’ah dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat agraris di wilayah
pedalaman pada akhir abad ke-18. Gerakan yang merupakan aksi penataan
kehidupan masyarakat dengan norma-norma keislaman pada fase pertama ini
berjalan tanpa gesekan-gesekan. Namun pada fase kedua lebih meruncing
karena menguatnya resistensi kaum adat. Kalangan adat merasa bahwa
otoritas mereka terganggu oleh aksi beberapa kalangan ulama murid Tuanku
Nan Tuo yang tidak sabar dalam menjalankan aksi syar’iyah yang
dihadapkan pada praktek-praktek adat yang tidak sesuai dengan ajaran
agama Islam. Pertikaian adat dan agama yang terjadi pada awal abad ke 19
ini, oleh beberapa penulis – terutama penulis asing–, dianggap sebagai
aksi radikalisme yang dibawa dari pusat agama Islam sendiri. Berbagai
interpretasi atas konflik inipun kemudian menjadi bahasan ‘menarik’
untuk memberikan gambaran “kelabu” sebagai militansi golongan Islam
dalam masyarakat Minangkabau, sebagaimana kita saksikan pada akhir tahun
2007 yang lalu.
Pertikaian
adat dan agama yang terjadi di wilayah pedalaman pada paruh pertama
abad ke-19 menjadi “jalan masuk” bagi Belanda ke wilayah ini. Belanda,
pada waktu sebelumnya hanya dapat menguasai wilayah pesisir karena
kuatnya pertahanan wilayah pedalaman di bawah kaum agama, namun dengan
politik “belah bambu”, Belanda mencoba memanfaatkan kedekatannya dengan
kaum aristokrasi adat untuk secara berangsur-angsur menguasai
wilayah-wilayah mereka sambil menekan golongan Islam. Kaum agama yang
telah menguasai banyak nagari di wilayah pedalaman berusaha
mempertahankan wilayah mereka dari intervensi asing. Ketika tujuan apa
yang ada dibalik kerjasama Belanda dengan aristokrasi adat disadari,
maka perjuangan kaum agama islam ahlussunnah wal jamaah ini beralih
menjadi perlawanan terhadap penjajahan (disebut : Perang Paderi).
Selain
itu, gerakan keagamaan yang telah berlangsung pada peralihan abad ke-18
dan ke-19 juga diwarnai dengan konflik keagamaan antara Syathariyah dan
Naqsyabandiah. Setelah berakhirnya Perang Paderi 1837, perdebatan
internal seputar paham tarikat ini ternyata tidak makin mereda, meski
perhatian pada perbedaan pendapat itu teralihkan pada saat menghadapi
musuh bersama. Polemik keagamaan ini kembali meruncing dan bahkan
berimplikasi terhadap tumbuhnya motivasi sebagian masyarakat untuk
berangkat ke Mekkah memperdalam pengetahuan agama Islam yang benar
sambil menunaikan ibadah Haji, sehingga mereka sadar akan kesesatan
ajaran Tarikat Syatariah dan Tarikat Naqsyabandiah. Kontak kedua
kalangan ulama Minangkabau dengan Timur Tengah ini telah membawa
pemikiran-pemikiran keagamaan yang sangat berpengaruh bagi
perubahan-perubahan sosial di Minangkabau pada waktu-waktu berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar