RANAH MINANG

Mounting created Bloggif Mounting created Bloggif

Kamis, 10 Mei 2012

Ungku Saliah


Jika Anda berkunjung ke rumah makan Padang atau tempat-tempat tertentu yang milik hubunganya dengan Padang. Mungkin saja Anda sering melihat foto seorang kakek-kakek yang memakai kopiah haji atau peci warna hitam yang terpajang didinding. Kakek tersebut adalah Ungku Saliah sepupu dari Pakiah Saleh dimana beliau dekat sekali dengan Buya Hamka . Ungku Saliah adalah seorang yang taat beragama semasa hidupnya dan beliau bermazhab syafi’i, beliau tinggal di daerah Piaman Laweh, atau tepatnya di daerah Sungai Sariak, Pariaman.
Setelah wafat, makam dan foto beliau dikeramatkan oleh murid-murid Hamzah al-Fansuri, para pengagum dan orang-orang yang mengetahui cerita serta seluk beluk beliau. Fotonya pun sering dijadikan jimat pelaris dagangan. Termasuk di kedai-kedai nasi, rumah makan ataupun restoran Padang yang mungkin pernah Anda jumpai.
Jika ada foto kakek berkopiah itu terpajang di dinding rumah makan Padang, Anda bisa langsung menyimpulkan bahwa kedai, toko atau rumah makan Padang tersebut adalah milik orang Pariaman yaitu Ungku Saliah atau masakannya merupakan khas Pariaman. Demikian juga Pakiah Saleh sama nasibnya dengan Ungku Saliah, dimana foto dan gambarnya terpajang di Rumah Makan Padang. Ini membuat keluarga beliau berang sekali. Hal ini terjadi di Kota Pekanbaru Riau ketika keluarga beliau yang sedang makan di Rumah Makan tersebut memaksa pemilik Rumah Makan tersebut untuk menurunkan foto Pakiah Saleh. Ditambah pada tahun lalu ketika keluarga berniat membersihkan kuburan Pakiah Saleh tidak diduga ternyata Sesaji dan Cangkang Kerang besar yang di isi air hujan di letakkan di sekeliling kuburan, ternyata kuburan ini telah dikeramatkan oleh murid-murid Hamzah al-Fansuri. Maka dengan terpaksa keluarga almarhum Pakiah Saleh membersihkan sesaji dan sampah-sampah tersebut dimana mereka menilai itu adalah syirik.
Sehingga keluasan cakupan implementasi ajaran tasauf di Minangkabau sebagai dikemukakan, memang menarik untuk dikaji, karena kemampuan para tokoh tasauf dalam mentranformasikan inti ajarannya terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan, sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat termasuk kehidupan ekonomi, terutama di wilayah agraris pedalaman Minangkabau. Perkembangan Islam di sini -dalam perjalanannya memang di warnai oleh berbagai konflik keagamaan seperti yang terlihat dalam beberapa episode kesejarahan dalam abad ke 19 dan 20 dan hal ini sering dipandang sebagai suatu keniscayaan sejarah yang dapat dipahami pada akar kultural masyarakat Minangkabau sendiri. Akan tetapi, keadaan konflik ini juga, justru sekaligus memiliki potensi memunculkan berbagai praksis kultural dalam dinamika perkembangan masyarakatnya. Konflik keagamaan yang terjadi, baik antara Syathariyah dan Naqsyabandiyah, maupun antara Naqsyabandiyah dengan golongan pembaharu, telah melahirkan dinamika polemik pemikiran keagamaan yang berimplikasi terhadap intensitas kegiatan intelektual yang ditandai banyaknya dihasilkan naskah keagamaan. Naskah mana tentu tidak bisa diabaikan dalam melihat berbagai aspek kehidupan keagamaan di daerah ini.
Latar depan fenomena keagamaan abad ke 19 dan ke 20, di saat mana lahirnya gagasan-gagasan awal pembaharuan Islam di Minangkabau, tidak dapat dilepaskan dari fenomena historis yang terjadi sejak abad ke 16 atau mungkin sejak abad ke 13 seperti yang diasumsikan sebagai awal kontak budaya Islam di wilayah ini. Kontak awal Islam ini, demikian juga proses serta bentuk konversi terhadap Islam pada tahap-tahap awal itu, tentu akan menjadi salah satu determinan yang memberi warna terhadap berbagai karakteristik yang muncul dalam perkembangan historis masyarakat di wilayah ini. Akan tetapi beberapa penjelasan sejarah yang banyak ditulis, sering memandang fenomena tersebut dari perspektif sosial struktural semata, sehingga kenyataan historis Islam itu sendiri luput diperhatikan. Apalagi pula kenyataan sumber-sumber yang terbatas serta paradigma sejarah yang barat sentris, menjadikan beberapa dimensi dari pengalaman historis agama ini menjadi terabaikan.
Gerakan pembaharuan Islam di Sumatera Barat dimulai ketika Tuanku Nan Tuo bersama murid-muridnya di surau Koto Tuo mengambil peran pemasyarakatan syari’ah dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat agraris di wilayah pedalaman pada akhir abad ke-18. Gerakan yang merupakan aksi penataan kehidupan masyarakat dengan norma-norma keislaman pada fase pertama ini berjalan tanpa gesekan-gesekan. Namun pada fase kedua lebih meruncing karena menguatnya resistensi kaum adat. Kalangan adat merasa bahwa otoritas mereka terganggu oleh aksi beberapa kalangan ulama murid Tuanku Nan Tuo yang tidak sabar dalam menjalankan aksi syar’iyah yang dihadapkan pada praktek-praktek adat yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Pertikaian adat dan agama yang terjadi pada awal abad ke 19 ini, oleh beberapa penulis – terutama penulis asing–, dianggap sebagai aksi radikalisme yang dibawa dari pusat agama Islam sendiri. Berbagai interpretasi atas konflik inipun kemudian menjadi bahasan ‘menarik’ untuk memberikan gambaran “kelabu” sebagai militansi golongan Islam dalam masyarakat Minangkabau, sebagaimana kita saksikan pada akhir tahun 2007 yang lalu.
Pertikaian adat dan agama yang terjadi di wilayah pedalaman pada paruh pertama abad ke-19 menjadi “jalan masuk” bagi Belanda ke wilayah ini. Belanda, pada waktu sebelumnya hanya dapat menguasai wilayah pesisir karena kuatnya pertahanan wilayah pedalaman di bawah kaum agama, namun dengan politik “belah bambu”, Belanda mencoba memanfaatkan kedekatannya dengan kaum aristokrasi adat untuk secara berangsur-angsur menguasai wilayah-wilayah mereka sambil menekan golongan Islam. Kaum agama yang telah menguasai banyak nagari di wilayah pedalaman berusaha mempertahankan wilayah mereka dari intervensi asing. Ketika tujuan apa yang ada dibalik kerjasama Belanda dengan aristokrasi adat disadari, maka perjuangan kaum agama islam ahlussunnah wal jamaah ini beralih menjadi perlawanan terhadap penjajahan (disebut : Perang Paderi).
Selain itu, gerakan keagamaan yang telah berlangsung pada peralihan abad ke-18 dan ke-19 juga diwarnai dengan konflik keagamaan antara Syathariyah dan Naqsyabandiah. Setelah berakhirnya Perang Paderi 1837, perdebatan internal seputar paham tarikat ini ternyata tidak makin mereda, meski perhatian pada perbedaan pendapat itu teralihkan pada saat menghadapi musuh bersama. Polemik keagamaan ini kembali meruncing dan bahkan berimplikasi terhadap tumbuhnya motivasi sebagian masyarakat untuk berangkat ke Mekkah memperdalam pengetahuan agama Islam yang benar sambil menunaikan ibadah Haji, sehingga mereka sadar akan kesesatan ajaran Tarikat Syatariah dan Tarikat Naqsyabandiah. Kontak kedua kalangan ulama Minangkabau dengan Timur Tengah ini telah membawa pemikiran-pemikiran keagamaan yang sangat berpengaruh bagi perubahan-perubahan sosial di Minangkabau pada waktu-waktu berikutnya.

Tidak ada komentar: