RANAH MINANG

Mounting created Bloggif Mounting created Bloggif

Kamis, 09 Agustus 2012

Pengertian Koto Piliang

oleh:Rina Pili

Salam kreatif. Minggu perdana bulan kesebelas 2010 ini, kembali redaksi www.sumbarONLINE.com menurunkan tulisan Sdr. Yulfian Azrial. Kali ini Kepala Balai Kajian, Konsultansi, dan Pemberdayaan (BKKP)
Nagari Adat Alam Minangkabau ini akan membahas tentang Pengertian Koto Piliang.

Kita berharap, pencerahan Adat Budaya Minangkabau ini akan makin menguatkan jiwa kita terhadap kekayaaan khasanah Budaya Minangkabau di masa depan. Selamat mengikuti dan membaca sajiannya. 

KOTO Piliang berasal dari unsur kata dalam Bahasa Sanskerta yaitu kato, phile, dan hyang. Jadi koto maksudnya adalah kato; kata atau perkataan.

Kata atau perkataan dalam konteks sistem kemasyarakatan maksudnya tentulah suatu kata atau suatu perkataan yang telah dirumuskan menjadi aturan atau semacam undang-undang. 

Sedangkan Piliang berasal dari kata phile dan hyang. Phile berarti yang dicintai atau disukai, dan Hyang artinya Tuhan. Maka Kato Phile Hyang, artinya aturan yang disukai Tuhan. Maka kelarasan Koto Piliang artinya aliran atau paham yang menganut sistem kemasyarakatan yang berdasarkan aturan yang disukai Tuhan.

Menurut sejarahnya, sistem Kelarasan Koto Piliang dirumuskan oleh nenek moyang kita zaman dahulu berdasarkan  pandangan-pandangan  dan masukan yang mendukung gagasan Datuak Katumanggungan untuk mempertahankan sistem adat yang telah lazim di Minangkabau. Karena itu aliran atau paham ini sering juga disebut dengan Adat Datuak Katumanggungan. 

Jadi Adat Datuak Katumanggungan adalah aturan adat yang dirumuskan  berdasarkan pandangan-pandangan dan masukan yang mendukung paham  Datuak  Katumanggungan. Aturan ini lazim juga disebut dengan aliran adat Koto Piliang.

Datuak Katumanggungan terkenal sangat taat menegakkan aturan-aturan yang disenangi oleh Tuhan. Aturan yang disukai oleh sang maha pencipta, penguasa alam semesta ini. 

Karena itu Adat Datuak Katumanggungan menjadi terkenal dengan moto adatnya Titiak Dari Ateh ; Bajanjang Naiak, Batanggo Turun. Nan babarih nan bapahek, nan baukua nan bakabuang (Titik Dari Atas; Bejenjang Naik, Bertangga Turun, yang bergaris yang dipahat, yang berukur yang dikabung) 
Titiak Dari Ateh  (Titik Dari  Atas), berarti bahwa segala sesuatu ketentuan menurut adat Datuak Katumanggungan harus mengutamakan aturan dari atas atau dari Tuhan yang menjadi pencipta dan pemilik alam ini. 

Baik penghulu atau raja di Minangkabau tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Karena keberadaan manusia di muka bumi hanyalah sebagai khalifah, yaitu wakil Tuhan di muka bumi yang melaksanakan kelangsungan hidupnya berdasarkan aturan khaliqnya.

Bertolak dari kesadaran ini, maka segala sesuatunya dalam kehidupan ini juga harus sesuai  dengan aturan, bajanjang  naiak, batanggo  turun, nan babarih nan bapaek, nan baukua nan bakabuang (berjenjang  naik, bertangga turun yang berbaris yang dipahat, yang diukur yang dikabung).

Segala sesuatunya juga dimusyawarahkan mulai dari tingkat bawah. Namun tetap musyawarah harus dijalankan dalam koridor hukum yang telah digariskan Allah SWT sebagai pemilik tunggal alam ini, serta berdasarkan ijtihad yang telah dibuat terdahulu. 

Ini sesuai dengan ketentuan kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka panghulu, panghulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana, nan  bana tagak sandirinyo (kemenakan baraja ke mamak, mamak baraja ke  penghulu, penghulu beraja ke mufakat, mufakat beraja pada kebenaran, kebenaran  berdiri sandirinya). 

Jadi, adat Datuak Katumanggungan ini juga sangat demokratis. Hanya saja dalam perwujudan dan cara pandangnya agak berbeda dengan demokrasi menurut Adat Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Terutama karena Adat Datuak Katumanggungan lebih mengutamakan aturan-aturan Ilahiah, atau aturan-aturan Tuhan ; Al Qur'an. ***

* Yulfian Azrial Adalah Kepala Balai Kajian, Konsultansi, dan Pemberdayaan (BKKP) Nagari Adat Alam Minangkabau

Tidak ada komentar: