oleh:Rina Pili
Salam kreatif. Minggu perdana bulan kesebelas 2010 ini, kembali redaksi www.sumbarONLINE.com menurunkan tulisan Sdr. Yulfian Azrial. Kali ini Kepala Balai Kajian, Konsultansi, dan Pemberdayaan (BKKP)
Nagari Adat Alam Minangkabau ini akan membahas tentang Pengertian Koto Piliang.
Kita
berharap, pencerahan Adat Budaya Minangkabau ini akan makin menguatkan
jiwa kita terhadap kekayaaan khasanah Budaya Minangkabau di masa depan.
Selamat mengikuti dan membaca sajiannya.
KOTO
Piliang berasal dari unsur kata dalam Bahasa Sanskerta yaitu kato,
phile, dan hyang. Jadi koto maksudnya adalah kato; kata atau perkataan.
Kata
atau perkataan dalam konteks sistem kemasyarakatan maksudnya tentulah
suatu kata atau suatu perkataan yang telah dirumuskan menjadi aturan
atau semacam undang-undang.
Sedangkan
Piliang berasal dari kata phile dan hyang. Phile berarti yang dicintai
atau disukai, dan Hyang artinya Tuhan. Maka Kato Phile Hyang, artinya
aturan yang disukai Tuhan. Maka kelarasan Koto Piliang artinya aliran
atau paham yang menganut sistem kemasyarakatan yang berdasarkan aturan
yang disukai Tuhan.
Menurut
sejarahnya, sistem Kelarasan Koto Piliang dirumuskan oleh nenek moyang
kita zaman dahulu berdasarkan pandangan-pandangan dan masukan yang
mendukung gagasan Datuak Katumanggungan untuk mempertahankan sistem adat
yang telah lazim di Minangkabau. Karena itu aliran atau paham ini
sering juga disebut dengan Adat Datuak Katumanggungan.
Jadi
Adat Datuak Katumanggungan adalah aturan adat yang dirumuskan
berdasarkan pandangan-pandangan dan masukan yang mendukung paham
Datuak Katumanggungan. Aturan ini lazim juga disebut dengan aliran
adat Koto Piliang.
Datuak
Katumanggungan terkenal sangat taat menegakkan aturan-aturan yang
disenangi oleh Tuhan. Aturan yang disukai oleh sang maha pencipta,
penguasa alam semesta ini.
Karena
itu Adat Datuak Katumanggungan menjadi terkenal dengan moto adatnya
Titiak Dari Ateh ; Bajanjang Naiak, Batanggo Turun. Nan babarih nan
bapahek, nan baukua nan bakabuang (Titik Dari Atas; Bejenjang Naik,
Bertangga Turun, yang bergaris yang dipahat, yang berukur yang
dikabung)
Titiak
Dari Ateh (Titik Dari Atas), berarti bahwa segala sesuatu ketentuan
menurut adat Datuak Katumanggungan harus mengutamakan aturan dari atas
atau dari Tuhan yang menjadi pencipta dan pemilik alam ini.
Baik
penghulu atau raja di Minangkabau tidak dapat bertindak
sewenang-wenang. Karena keberadaan manusia di muka bumi hanyalah sebagai
khalifah, yaitu wakil Tuhan di muka bumi yang melaksanakan kelangsungan
hidupnya berdasarkan aturan khaliqnya.
Bertolak
dari kesadaran ini, maka segala sesuatunya dalam kehidupan ini juga
harus sesuai dengan aturan, bajanjang naiak, batanggo turun, nan
babarih nan bapaek, nan baukua nan bakabuang (berjenjang naik,
bertangga turun yang berbaris yang dipahat, yang diukur yang dikabung).
Segala
sesuatunya juga dimusyawarahkan mulai dari tingkat bawah. Namun tetap
musyawarah harus dijalankan dalam koridor hukum yang telah digariskan
Allah SWT sebagai pemilik tunggal alam ini, serta berdasarkan ijtihad
yang telah dibuat terdahulu.
Ini
sesuai dengan ketentuan kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka
panghulu, panghulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana, nan
bana tagak sandirinyo (kemenakan baraja ke mamak, mamak baraja ke
penghulu, penghulu beraja ke mufakat, mufakat beraja pada kebenaran,
kebenaran berdiri sandirinya).
Jadi,
adat Datuak Katumanggungan ini juga sangat demokratis. Hanya saja dalam
perwujudan dan cara pandangnya agak berbeda dengan demokrasi menurut
Adat Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Terutama karena Adat Datuak
Katumanggungan lebih mengutamakan aturan-aturan Ilahiah, atau
aturan-aturan Tuhan ; Al Qur'an. ***
* Yulfian Azrial Adalah Kepala Balai Kajian, Konsultansi, dan Pemberdayaan (BKKP) Nagari Adat Alam Minangkabau



Tidak ada komentar:
Posting Komentar