RANAH MINANG

Mounting created Bloggif Mounting created Bloggif

Kamis, 26 Januari 2012

Keutamaan Berbuat Jujur

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kalian beserta orang-orang yang jujur. ” (Q.S. At Taubah: 119)
Seorang muslim adalah seorang yang jujur. Dia mencintai kejujuran melazimkannya lahir batin di dalam hati (Shidqul qalb), ucapan (Shidqul hadits) dan perbuatan (Shidqul ‘amal), karena kejujuran merupakan kebaikan, dan  kebaikan menunjukkan kepada surga. Surga merupakan tujuan yang paling mulia bagi seorang muslim dan merupakan tujuan yang paling diidam-idamkannya. Adapun kebalikan dari  jujur adalah dusta. Sifat ini menunjukkan kepada kejahatan dan kejahatan menunjukkan kepada neraka, sedangkan neraka merupakan hal yang paling ditakuti seorang muslim.

Rasulullah SAW bersabda: “Hendaklah kamu semua bersikap jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa kepada surga. Seseorang yang selalu jujur dan mencari kejujuran akan ditulis oleh Allah sebagai orang yang jujur (shidiq). Dan jauhilah sifat bohong, karena kebohongan membawa kepada kejahatan, dan kejahatan membawa ke neraka. Orang yang selalu berbohong dan mencari-cari kebohongan,akan ditulis oleh Allah sebagai pembohong (kadzdzab).”
Sesungguhnya orang yang telah mengenal kejujuran dan menetapkan janji, orang-orang akan cinta kepadanya; dan mereka mencintai perilakunya. Apabila ia seorang yang alim, mereka akan mengambil manfaat ilmunya dan merekapun akan menghormatinya. Andaikata ia seorang pedagang, mereka akan mempercayai usahanya. Sesungguhnya hanya terletak pada kejujuranlah seorang pengusaha akan sukses; seorang pekerja akan meraih keberhasilan, seorang pedangang mampu maraih keuntungan.
Sesungguhnya kejujuran adalah budi pekerti yang sangat kuat kaitannya dengan kemaslahatan perorangan atau jama’ah dan merupakan sisi yang paling kuat untuk membenahi dan membina masyarakat dan menerapkan serta menegakkan aturan-aturannya. Menghias diri dengan kejujuran adalah keutamaan, dan melepas diri daripadanya adalah kehinaan. Kejujuran adalah tanda keimanan dan kesucian jiwa serta suatu tanda dari keselamatan kita. Kejujuran yang menunjukkan keindahan sifat dan ketinggian moral seseorang. Kejujuran juga membentuk pelakunya menjadi cinta kepada allah SWT dan cinta kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin.
Seorang muslim tidak hanya melihat kejujuran sebagai akhlak mulia saja melainkan memandangnya lebih dari pada itu. Seorang muslim memandang kejujuran sebagai penyempurna iman dan keislaman.
Sesungguhnya Al Qur’an menegaskan bahwa Allah SWT akan melaknat orang yang pendusta. Apakah kita rela menjadi seorang yang dilaknat Allah SWT, padahal kita mempelajari dienul Islam.
Wahai orang-orang yang beriman. Berusahalah menjadi orang yang selalu bersifat jujur dalam segala perbuatan dan pembicaraan sebab sesungguhnya dusta itu adalah perbuatan yang buruk dan tercela. Janganlah berdusta untuk memperoleh nama baik di mata manusia, karena apabila mereka mengetahuinya niscaya mereka tidak akan mempercayaimu, mungkin untuk selamanya. Sekalipun apa yang engkau sampaikan itu benar. Pribahasa mengatakan “sekali lancung keujian seumur hidup orang tak kan percaya”. Kalau sudah demikian, sulit untuk mengembalikan kepercayaan orang lain.
Sesungguhnya orang yang berkata benar dan jujur dalam segala hal akan disayang Allah dan dipercaya oleh masyarakat atau orang lain. Karena itu berusahalah untuk selalu memelihara kejujuran. Hindari perbuatan dusta, sekalipun perbuatan itu dapat menyelamatkan dirimu.
Berikut ini adalah tanda-tanda kejujuran:
Jujur dalam setiap ucapan.      Seorang muslim hendak-nya tidak berbicara kecuali dengan perkataan yang benar dan jujur. Apabila kita memberitahukan sesuatu hendaknya kita memberitakan kejadian yang sebenarnya, karena berdusta dalam berbicara termasuk tanda-tanda kemunafikan.
  Jujur dalam berkehendak.      Seorang muslim hendak-lah tidak ragu dalam melakukan sesuatu. Hendaknya kita melakukan pekerjaan tanpa menoleh kepada sesuatu perbuatan yang lain, atau tergoda oleh pekerjaan yang lain sehingga pekerjaan pertama tidak sempurna.
  Jujur terhadap janji. Apabila seorang muslim berjanji dengan orang lain, hendaklah memenuhi apa yang telah kita janjikan. Perlu diingat bahwa mengingkari janji termasuk tanda kemunafikan
  Jujur dalam berbagai hal. Seorang muslim tidak boleh menunjukkan sesuatu yang tidak ada padanya. Kita tidak boleh bertindak yang tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam batin kita. Juga tidak memakai tipu daya serta tidak menbebani diri dengan sesuatu yang tidak mampu untuk dilakukan.
Berikut ini adalah buah kejujuran yang dirasakan oleh orang-orang yang melakukannya:             Bergembira dan mempu-nyai jiwa yang tenang, hal  ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW “Kejujuran adalah ketenangan.” (HR. Tirmidzi). Membawa berkah dalam mencari rezki. Akan mencapai derajat para syuhada, dan  selamat dari kebencian
Kejujuran dapat membentuk manusia saling percaya mempercayai dan saling berkasih sayang diantara mereka. Akan tetapi manakala kejujuran telah lenyap dalam diri seseorang, maka akan datanglah kedustaan merasuk ke dalam jiwanya. Lalu timbullah dari padanya sifat kemunafikan, penipuan, pengkhianatan, riya’an kemudian menyalahi janji. Sesungguhnya Allah SWT sudah memperingatkan akan kesudahan atau akibat dari kedustaan.
Ingatlah, sesesungguhnya orang yang selalu berbuat jujur, setiap perkataan dan perbuatannya akan selalu dibuat dalil, sekalipun tanpa mengetahui dalil yang sebenarnya (Al Qur’an dan Hadits). Dia akan selalu diajak bermusyawarah dan dimintai pendapatnya dalam menyelesaikan suatu masalah. Jika ingin mendapatkan kepercayaan itu, maka selalulah berlaku jujur dalam segala hal.
Oleh karena itu marilah kita selalu bertaqwa kepada Allah SWT dan senantiasa berlaku jujur. Karena kejujuran adalah kunci segala kebaikan dan jalan menuju keridhaan Allah SWT serta jalan menuju sorga. Dan marilah kita selalu menjauhkan diri dari kedustaan karena kedustaanlah kunci segala kejahatan dan jalan menuju kemurkaan Allah SWT dan membawa pelakunya ke arah neraka. Allahu A’lam Bissawab

 Kejujuran : Moral Utama dalam Membina Ummat

عَليَْكم بالصِّدْقِ فَإنَّ الصِّدْقَ يَهْدى إِلى البِرِّ، وَ البِرُّ يَهْدى إلى الجَنَّةِ، وما يَزَال الرَّجُلُ يَصْدِقُ و يَسْحَرَّى الصِّدْقَ حَتى يُكْتَبُ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا. و إِيَّاكُمْ و الكَذِبَ فإنَّ الكَذِبَ يَهْدِى إلى الفُجُوْرِ و إنَّ الفُجُوْر يَهْدِى إلى النَّارِ وَمَا يَزَالُ العَبْدُ يَكْذِبُ وَ يَسْحَرُّ الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ الكَذَّابًا.
“ Hendaklah kamu semua bersikap jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke sorga. Seorang yang selalu jujur dan mencari kejujuran akan ditulis oleh Allah sebagai orang yang jujur (shidiq). Dan jauhilah sifat bohong, karena kebohongan membawa kepada kejahatan, dan kejahan membawa ke neraka. Orang yang selalu berbohong dan mencari-cari kebohongan, akan ditulis oleh Allah sebagai pembohong (kadzdzab). (H.R. Bukhari)
Salah satu dari sekian sifat dan moral utama seorang manusia adalah kejujuran. Karena kejujuran merupakan dasar fundamental dalam pembinaan umat dan kebahagiaan masyarakat. Karena kejujuran menyangkut segala urusan kehidupan dan kepentingan orang banyak. Kepada manusia Allah SWT memerintahkan agar mempunyai perilaku dan sifat ini. Rasulullah SAW adalah merupakan contoh terbaik dan seorang yang memiliki pribadi utama dalam hal kejujuran.
Kejujuran memang akhlak utama para nabi dan rasul. Dan demikian pula akhlak para generasi pertama dan utama umat ini, mereka senantiasa berpegang teguh kepada kebenaran dan kejujuran dalam segala aspek kehidupan. Bukan saja dalam urusan kemasyarakatan, namun juga dalam kehidupan keluarga dan rumah tangga termasuk pergaulan dengan anak-anak mereka.
Abu Hurairah r.a meriwayatkan sebuah hadits Rasulullah SAW. Beliau bersabda: “Barangsiapa yang berkata kepada seorang anak, “Mari nak, ambillah kurma ini”, lalu dia tidak memberikannya, maka ia telah mendustainya.” (HR. Ahmad)
Dengan tuntunan seperti itu, Rasulullah SAW hendak memberi pelajaran kepada para orang tua dan para pendidik, supaya mereka menanamkan sifat utama ini kepada anak-anaknya semenjak kecil. Sehingga ketika mereka menjadi dewasa mereka tetap memiliki watak dan kebiasaan ini.
Melalui cara ini diharapkan kelak akan lahir generasi Islam yang utama, yang akan memberikan kebahagiaan hidup dan membangkitkan kesadaran bangsa.
Islam menaruh perhatian serius terhadap moral terpuji ini. Islam selalu mengajak dan mendorong manusia agar memilikiwatak ini, sebaliknya Islam tidak menyukai dan bahkan memperingatkan manusia agar menjauhi  dusta dan ketidak jujuran. Karena dusta adalah merupakan salah satu perangai yang bernilai rendah dan tercela. Karena dusta, hukum-hukum menjadi rusak, kehormatan terinjak-injak dan berbagai kejahatan merajalela. Berita bohong seringkali mengakibatkan  terputusnya hubungan persaudaraan dan menimbulkan konflik yang tak berhujung sesama manusia. Isu bohong tidak sedikit membuat seseorang kehilangan harga dirinya.
Salah satu bukti bahwa betapa Islam sangat mencela dusta adalah bahwa Islam sangat mencela saksi palsu yang dapat mengakibatkan hukum dapat diperjual belikan. Dan menurut Islam, saksi palsu adalah salah satu dari bagian kesalahan yang sangat fatal dan dosa besar.
Kesaksian dusta kadang-kadang dilakukan orang karena beberapa sebab. Antara lain karena hubungan yang tidak baik, karena kasihan kepada kawan, karena terlalu benci kepada lawan, karena takut kepada atasan atau karena ada udang di balik batu.
Demi menegakkan kebenaran dan kedamaian di muka bumi ini, Tuhan memerintahkan kepada kita menjadi saksi yang jujur dan adil, dan mengutamakan penegakan kebenaran.
Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapakmu dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran, dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segal apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. An Nisaa’: 135)
Memang sangat disadari bahwa menjadi orang yang jujur merupakan pilihan  yang sungguh berat sekali di tengah arus budaya yang penuh dengan kepalsuan, kedustaan, kemunafikan dan ketidak-jujuran, dimana orang sangat sulit sekali dipegang kata dan janjinya. Padahal kejujuran tidak hanya mencerminkan integritas kepribadian seseorang, tetapi juga menjadi pesona bagi sesama dan mengundang datangnya ketenangangan bagi pelakunya.
Dalam siratan hadits-hadits Rasulullah SAW akan kita dapatkan petuah tentang betapa berartinya makna sebuah kejujuran. Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk meninggalkan apa yang kita ragukan  dan mengerjakan apa yang kita yakini. Dan bahwasanya kejujuran itu akan menimbulkan ketenangan juwa sedangkan dusta selalu saja membuat jiwa pelakunya bimbang dan goncang.
Maka tidak aneh bila kita sering menjumpai orang yang memiliki harta benda; kekayaan yang melimpah namun sangat disayang  ia tidak pernah menemui kebahagiaan dan ketenangan jiwa. Hal ini boleh jadi dikarenakan harta benda yang melimpah ruah itu  dihasilkan dari jalan yang tidak benar atau dari hasil ketidak-jujuranya.
Sedemikian berbahayanya sikap dusta dan ketidak-jujuran, maka Allah dan Rasul-Nya Muhammad SAW mengingatkan kepada kita para hamba dan umatnya untuk senantiasa memelihara dan menjaga sifat yang mulia ini, yakni kejujuran.
Apalah arti kehidupan ini jika tidak dihiasi dengan kejujuran. Apalah arti limpahan harta yang banyak jika semua itu bukanlah hasil tetesan keringat kejujuran. Maka tanamkanlah kejujuran dalam dirikita, karena kejujuran adalah salah satu pondasi utama dalam membangun bangsa. Karena, betapapun besarnya sebuah bangsa, tetapi jika kejujuran telah sirna, maka hancurlah bangsa itu.

 Shalat membentuk Sumber Daya yang Utama

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah selesai shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi dan carilah karunia Allah, sebutlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kalian memperoleh keberuntungan.” (Q.S. Al Jumu’ah: 10)
Allah SWT memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk senantiasa memacu diri dalam meraih karunia yang telah Allah limpahkan kepada mereka. Diantara cara yang mudah itu dilakukan oleh manusia dalam mencari rezki yang Allah tebarkan di muka bumi ini adalah dengan cara bekerja dan berusaha.
Bekerja merupakan sebuah keniscayaan, tidak mungkin kita menjalani hidup tanpa bekerja dan berusaha. Namun demikian, bekerja dan berusaha yang nantinya akan menghasilkan sesuatu, diantaranya bersifat materi (uang) haruslah dilakukan dengan cara yang benar, agar hasil yang diperoleh mendapat berkah dan diridhai oleh Allah SWT. Karena itu dalam Islam dikenal istilah “halal-haram” yang akan menilai kerja atau usaha apa yang dihasilkan darinya.
Al Qur’an telah menetapkan konsep dasar halal dan haram yang berkenaan dengan transaksi dalam hal yang berhubungan dengan akuisisi (perolehan/pemerolehan), disposisi (penempatan) dan semacamnya. Semua yang menyangkut dan berhubungan dengan harta dan benda hendaknya dilihat dan dihukumi dengan dua kriteria; halal dan haram.
Allah SWT memerintahkan agar manusia mencari rezki dengan cara yang dihalalkan oleh Allah dan memerintahkan manusia agar tidak memakan sesuatu kecuali yang dihalalkan oleh-Nya dan harus yang bersumber dari sesuatu yang halal. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bgimu, dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (Q.S. Al Maidah: 87-88)
Salah satu prinsip yang telah diakui oleh Islam, ialah apabila Islam telah mengharamkan sesuatu, maka wasilah dan cara apapun yang dapat membawa kepada perbuatan haram, hukumnya adalah haram. Dari sinilah maka para ulama fiqih membuat suatu qaidah: “ Apasaja yang membawa kepada perbuatan haram, maka itu adalah haram. ”
Qaidah ini senada dengan apa yang diakui oleh Islam, yaitu bahwa dosa perbuatan haram tidak terbats pada pribadi pelakunya itu sendiri secara langsung, tetapi meliputi daerah yang sangat luas sekali, termasuk semua orang yang bersekutu dengannya, baik melalui harta maupun sikap. Masing-masing mendapat dosa sesuai dengan keterlibatannya. Misalnya tentang arak (minuman atau sesuatu yang memabukkan). Rasulullah SAW melaknat sepuluh orang yang terlibat dalam hal pengadaan dan peredaran arak. Sebagaimana hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan Ibnu Majah: “Rasulullah SAW melaknat tentang arak sepuluh golongan: (1) Yang memerasnya, (2) Yang minta diperaskan, (3) Yang meminumnya, (4) Yang membawanya, (5) Yang meminta dihantarkan, (6) Yang menuangkannya, (7) Yang menjualnya, (8) Yang memakan hasil penjualannya, (9) Yang membelinya, (10) Yang minta dibelikan.”
Kemudian dalam dunia kerja dan usaha, Islam pada prinsipnya tidak melarang suatu pekerjaan atau usaha, kecuali ada unsur-unsur kezhaliman, penipuan, penindasan dan mengarah kepada sesuatu yang dilarang oleh Islam. Misalnya, Allah SWT mengharamkan perjudian dan meramal atau mengundi nasib, sebagaimana firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatn syethan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Al Maidah: 90)
Bahaya yang akan muncul akibat perjudian dapat disebutkan antara lain: Menimbulkan permusuhan dan pertengkaran sesama pemain judi. Menghalangi dari zikir dan shalat. Meresahkan dan merusak masyarakat. (Dengan munculnya tindak kriminal seperti perampokan, pencurian dan sebangsanya, untuk mencari modal yang akan dipertaruhkannya di meja judi). Menimbulkan kelemahan mental, hilangnya semangat bekerja (pemalas) dan Meningkatkan jumlah pengangguran. Meruntuhkan rumah tangga. Menghabiskan harta benda dengan cara sia-sia. Menimbulkan beban hutang. (Penjudi yang kalah tertuntut untuk membalas kekalahannya. Sehingga ia tak segan-segan berhutang mencari modal untuk kembali berjudi). Dan masih banyak lagi.

Ada pula manusia yang takut miskin dan ingin kaya dengan dara pintas, sehingga ia melakukan pencurian (maling) dengan cara sembunyi-sembunyi. Cara ini mungkin dikatakan dengan cara korupsi.
DR. Amien Rais dalam bukunya Suksesi & Keajaiban Kekuasaan mengatakan, “Orang sering mengatakan bahwa korupsi terdiri dari tiga jenis, yakni korupsi ekstraktif, korupsi manifulatif, dan korupsi nepotistik. Yang pertama merupakan pemaksaan terhadap seseorang untuk membayar suap (sogok) agar semua urusan lancar (KUHP: Kasih Uang Habis Perkara Atau UUD: Ujung-ujungnya Duit); Yang kedua setiap usaha kotor untuk mempengaruhi pengambilan keputusan penting, dan yang terakhir berhubungan dengan penyalahgunaan kekeluargaan dalam berbagai eselon kehidupan nasional. Di Indonesia ketiga jenis korupsi ini sangat subur.
Dalam bekerja dan berusaha, niat pertama selain mencari rezki adalah ibadah dalam rangka menggapai ridha Allah. Sehingga apa yang dihasilkan dari kerja dan usahanya itu mendapat berkah dari Allaj SWT. Yang jelas prilaku yang diridhai Allah akan selalu mendapatkan berkah-Nya, sebaliknya setiap perilaku, kerja dan usaha yang tidak diberkahi akan menuai malapetaka. Semoga Allah SWT menjauhkan kita dari pekerjaan dan memakan apa yang telah diharamkan Allah SWT. Amin
“Daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram tidak akan bertambah kecuali neraka yang pantas baginya.”(HR. Tirmidzi)

Tidak ada komentar: