RANAH MINANG

Mounting created Bloggif Mounting created Bloggif

Selasa, 03 April 2012

Dinilai Nyaris tak Beradat

Hukum adat Minangkabau sekarang hanya tinggal retorika, dan masyarakat pun terkesan lebih suka hidup tidak beradat. Bahkan celakanya, kini juga banyak dijumpai ninik mamak dan pemangku adat itu sendiri yang tak beradat, sehingga anak kemenakan basalemak peak.

Berbagai persoalan di tingkat kaum, nagari hingga kecamatan banyak tak kunjung tuntas, meski berbagai langkah telah ditempuh untuk penyelesaiannya. Kasus sengketa tanah sekarang seolah menjadi tren di tengah kehidupan bermasyarakat, lantaran mereka yang bertikai mengedepankan rasa individu, raso jo pareso sudah hilang. Siapa yang kaya dan kuat, dia akan menang.

“Padahal di Minangkabau ini punya satu pusaka sebagai landasan hidup bermasyarakat yaitu adat. Adat itu adalah rasa malu, yang pada dasarnya semacam perasaan yang cukup peka didalam sanubari orang Minangkabau dalam setiap bertindak, dan bersikap. Makanya orang Minangkabau akan menjadi marah bila dia dikatakan tidak beradat, sebab tidak beradat itu berarti tidak punya malu,” tegas Bupati Solok Syamsu Rahim dalam paparannya pada acara Musyawarah Besar Adat Minangkabau di Gedung Kubuang Tigobaleh, Sabtu (24/3).

Acara akbar itu diprakarsai Kalangan Perantau Solok Saiyo Sakato (S3) yang tersebar di seluruh provinsi se-Indonesia, bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Solok, Kota Solok dan Solok Selatan. Dibuka secara resmi oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, menghadirkan Mantan Menteri Hukum dan Ham Patrialis Akbar selaku satu perantau sukses dan tokoh nasional, Fasli Jalal, Bulizar Buyuang, Buya Masoed Abidin, ketua S3 Marwan Paris, serta Bupati Solok Selatan Musni Zakaria, Wakil Wali Kota Solok Zul Elfian. Plus ketua LKAAM di tiga daerah (Solok Selatan, Kab Solok, Kota Solok) beserta Ketua KAN, Pemangku Adat, Bundo Kanduang, Cerdik Pandai, Alim Ulama, Tokoh Muda, Organisasi Kemasyarakatan lainnya. Acara berlangsung selama dua hari penuh, Sabtu-Minggu (24-25/3).

Menurut Syamsu Rahim, peranan Tungku Tigo Sajarangan-Tali Tigo Sapilin (TTS-TTS) di era sekarang nyaris hanya sebatas simbol, lembaga tersebut tak berfungsi sebagaimana mestinya di tengah-tengah masyarakat. Kebesaran seorang ninik mamak hanya dapat terlihat waktu-waktu ritual adat tertentu saja dengan berpakaian kebesaran adatnya, setelah itu mereka seolah seperti masyarakat badarai biasa.

“Dimana salahnya? Apakah semua itu akibat globalisasi, atau pengaruh budaya asing? Mari kembali mengintropeksi diri. Sesuai tema acara kali ini, seluruh ninik mamak beserta pemangku adat harus menerapkan sistem manajemen suku dalam kaumnya masing-masing, mari hidupkan kembali hukum adat sebagai penguatan aturan negara. Dengan demikian kita akan menjadi masyarakat yang beradat, nagari pun aman dan damai

Tidak ada komentar: