RANAH MINANG

Mounting created Bloggif Mounting created Bloggif

Rabu, 13 Maret 2013

Tuanku Imam Bonjol (1772 – 1854)

Seorang tokoh gerakan pembaru Islam, dan seorang pemimpin Padri yang berhasil mengembangkan perdagangan di pantai barat, pantai timur sampai ke Tapanuli Selatan. Ia juga seorang ahli benteng yang terkenal dengan nama Bonjol di Minangkabau. Nama kecilnya Muhammad Syahab. Keluarganya berasal dari batas Rimbang, Agam.
Sebagai pendatang di Tanjung Bungo, Alahan Panjang, dua orang bersaudara, Syekh Usman dan Hamatun diterima sebagai anak kemenakan dengan “mengisi adat” pada salah seorang Rajo Ampek Selo Alahan Panjang, Datuk Sati, di Ganggo Hilir.
Kaumnya diizinkan pula mengangkat Syekh Usman sebagai penghulu kaum Koto, bergelar Datuk Sajatinyo. Hamatun, adiknya dikawinkan dengan Khatib Bayanuddin, seorang guru agama berasal dari Kampung Batas Rimbang, Palupuh Kabupaten Agam. Mereka menetap di Tanjung Bungo.
Dari perkawinannya, mereka dikaruniai tiga orang putri, Sinik, Santun dan Halimatun dan seorang anak laki-laki bernama Muhammad Sahab, yang kemudian terkenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol. Muhammad Sahab dilahirkan di kampung Tanjung Bungo pada tahun 1772.
Pada usia 7 tahun, ia belajar mengaji al Quran di Kampung bakonya di Batas Rimbang, Luhak Agam. Pada tahun 1792 -1800, belajar pengetahuan agama di Surau Tuanku Bandaro di Padang Laweh. Tuanku Bandaro adalah seorang murid Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, Ampek Angkek. Semenjak tahun 1802, Muhammad Syahab menjadi guru tuo (pembantu) di surau gurunya dengan bergelar Malin Basa.
Pada tahun 1805, selama tiga bulan, Tuanku Datuk Bandaro bersama Malin Basa belajar ke Surau Bansa di Kamang. Mereka mengenal langsung pembaruan agama Islam yang dicetuskan oleh Tuanku Nan Renceh bersama Tuanku Haji Miskin.
Dari Tuanku Nan Renceh, ia mendapat pengetahuan memajukan kesejahteraan masyarakat dengan melindungi pedagang dan mempergunakan bedil yang diperdapatnya dari Tuanku Sumanik.
Dari Tuanku Haji Miskin, mereka mendapat dasar pengetahuan fikih tentang hak warisan dan hukum perdagangan.
Sebagai salah seorang murid Tuanku Nan Tuo, Datuk Bandaro bersama Malin Basa memperkenalkan pembaruan berdasarkan hukum Islam yang mengatur hak masyarakat dalam perdagangan dan warisan. Datuk Bandaro mempergunakan wibawanya mengumpulkan seluruh rakyatnya untuk melaksanakan pembaruan itu. Semenjak itu, Malin Basa bergelar Peto Syarif.
Pada tahun 1807, Peto Syarif dan pengikutnya pindah dan mendirikan Koto di bawah Bukik Tajadi yang kemudian bernama Bonjol (1807). Ia diangkat oleh Nyiak Angku menjadi Tuanku Imam. Bonjol dipimpin oleh Tuanku nan Barampek yangdipimpin oleh Tuanku Imam dan diresmikan oleh sebagai pemimpin pembaruan Islam oleh rombongan dari Kamang (1808).
Tuanku Nan Gapuk dan Tuanku Nan Hitam ditugaskan belajar silat ke Tuanku Andaleh di Palembayan. Keduanya menjadi pelatih hulubalang Bonjol. Tuanku Nan Hitam sebagai Tuanku Kadi memimpin hukum Islam. Hulubalang dipimpin pangka tuo, di bawah pimpinan Tuanku Mudo.
Tuanku Imam Bonjol berusaha mengamankan jalan perdagangan di pantai barat dan pantai timur Sumatra dengan bantuan hulubalang. Pembaruan sejalan dengan perlindungan pedagang dari Kumpulan terus ke Sasak dan Tiagan.
Peto Magek, mantu Yang Dipertuan Parik Batu, seorang pedagang kaya, memasok keperluan Bonjol dengan meriam Inggeris. Pembaruan Islam berlanjut ke Suliki, Mahek, terus ke Kuok, Bangkinang dan Salo.
Di tiap-tiap nagari-nagari ditanam imam khatib dan kadi. Tuanku Imam meresmikan Pakih Muhammad menjadi Imam Besar bergelar *Tuanku Rao berkedudukan di Padang Mattinggi, Rao.
Bersama Tuanku Mudo, Tuanku Rao mengamankan jalan dagang menuju Sosa dan Barumun di pantai timur, dan mengangkat menantu Tuanku Rao sebagai Tuanku Barumun. Tuanku Gadubang dari Huta Na Godang menyebarkan pembaruan Islam di Tapanuli Selatan.
Bonjol menjadi pusat pembaruan Islam dan perdagangan di Minangkabau. Banyak harta rampasan dibawa ke Bonjol dan perilaku hulubalang banyak yang tidak dsenangi masyarakat. Tuanku Imam Bonjol berundang dengan Tuanku Rao, Tuanku Barumum dan Tuanku Kadi untuk mencari hukum ke sumber asli, di Mekah dan di Madinah. Mereka sepakat mengirim anak kemenakan dipimpin oleh Tuanku Barumun.(1811).
Kembali dari Mekah, Tuanku Imam Bonjol mengakui kesalahan dengan menyatakan bahwa kesalahan harus diperbaiki. Penyelesaian adat dikembalikan kepada Basa dan penghulu, dan urusan agama diselesaikan oleh alim ulama. Semenjak itu berlaku adat basandi syarak (1813) dan berlaku di Minangkabau, Agam, Tanah Datar dan Negeri Danau. Segala harta rampasan (ghanimah) dikembalikan kepada pemiliknya.
Selama 25 tahun, Imam Bonjol menjadi basis gerakan pembaruan berdasarkan ajaran adat dan syarak. Selama itu pula perdagangan Minangkabau berjalan dengan baik. Amerika dan Inggeris menjadi langganan komoditi pertanian Minangkabau, seperti kopi, lada, dan kulit manis.
Pada tahun 1820, Tuanku Nan Renceh meninggal dunia dan kepemimpinan pindah kepada Tuanku Imam Bonjol.
Pengaruh kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol makin terasa di seluruh Minangkabau sampai ke Tapanuli.
Ketika Belanda memasuki pedalaman Minangkabau pada tahun 1821 berkali-kali hulubalang Bonjol dibantu hulubalang Rao-Mandahiling menyerang kedudukan Belanda di Agam dan Tanah Datar.
Pandai Sikek direbut kembali (1825) dan Tuanku Pamansiangan kembali dari Bonjol. Kurai dibakar karena Belanda mendirikan Fort de Kock.
Ampek Angkek diduduki karena Belanda mendirikan benteng di Gedung Batu, di Koto Tuo Ampek. Serangan ke Lintau dapat dipatahkan atas bantuan hulubalang Bonjol di bawah pimpinan Tuanku Mudo (16 April 1823).
Tuanku Imam Bonjol mengungsi ke Lubuk Sikaping, karena Rajo Ampek Selo, Datuk Bandaro dengan Datuk Sati tidak sependapat atas permintaan Belanda untuk menyerahkan Bonjol (1832).
Alangkah tercengangnya Tuanku Imam Bonjol, ketika Tuanku Nan Cadiak dari Nareh menjadi juru bicara perdamaian Belanda dengan Tuanku Imam Bonjol. Kepemimpinan Bonjol diserahkannya kepada Tuanku Mudo atas permintaan Elout.
Serangan serentak atas kedudukan Belanda (11 Januari 1833) di Minangkaau terjadi karena Sikap Tuanku Imam yang mencintai persatuan dan musyawarah, meyakinkan pemimpin-pemimpin Minangkabau, seperti Sultan Bagagarsyah, Sentot Prawirodirjo, Tuanku Nan Cadiak dari Naras dan masyarakat Minangkabau. Serangan balik Belanda dapat ditahan atas kepercayaan Tuanku Imam, bahwa setiap nagari mempertahankan nagarinya masing-masing.
Kepercaayaan itu masih tetap dipertahankan oleh Tuanku Imam di saat perang mati-matian di lembah Alahan Panjang (1835 -1837). Berbagai bantuan mengalir dari seluruh Minangkabau, seperti mensiu, bahan kain, dan tenaga perang. Dengan dorongan agar teruskan melawan Belanda.
Di tengah perang itulah datang surat Residen Francis agar Tuanku Imam menyerah. Surat itu dibicarakan dengan seluruh penghulu di Alahan Panjang. Semua penghulu menolak dan bertekad membantu Tuanku Imam. Tuanku Imam bersama keluarganya diantarkan penghuku ke pengungsiannya di Koto Marapak dan Bukit Gadang. Atas musyawarah penghulu, Sultan Caniago dan *Bagindo Tan Labih diutus sebagai wakil Tuanku Imam berunding dengan Residen Belanda, Arbacht, ke Bukit Tinggi. Setelah berjuang selama 15 tahun, Tuanku Imam ditangkap 28 Oktober 1837,Tuanku Imam dengan alasan diajak berunding.
Ia diasingkan semula ke Cianjur (20 Januari 1938) bersama Bagindo Tan Labih, semenda dan dubalang, Sutan Saidi anaknya dari Padang Laweh, dan si Gelek, tukang meriam Sentot yang setia padanya. Ia dipindahkan ke Manado, Koka, dan terakhir di Lota Pineleng, 9 km dari Manado.
Imam Bonjol meninggalkan dunia pada 17 November 1854 di Lotak, dan baru disiarkan 10 tahun kemudian, sehingga kematiannya tercatat pada tahun 1864. Sebelum meninggal dunia, ia membeli sebidang tanah di Koka dari seorang Bwlanda bernama Agisir.
Tanah itu diberikan untuk mahar perkawinan Bagindo Tan Labih dengan Watok Pantaow. Sampai sekarang, tanah kalekeran menjadi simbol pemersatu keluarga Baginda di Sulawesi.
Tuanku Imam Bonjol diakui sebagai pahalawan dalam perjuangan pembaruan masyarakat berdasarkan syariat Islam dan menentang kolonialisme Belanda. Namanya terkenal sebagai ahli pembangunan benteng dan strategi perang rakyat semesta. Ia diangkat sebagai pahlawan nasional dengan Surat keputusan Presiden No. 087/TK, 6 Novembember 1973.

Tidak ada komentar: