RANAH MINANG

Mounting created Bloggif Mounting created Bloggif

Rabu, 13 Maret 2013

TUANKU NAN RENCEH ( ± 1780 – 1832)

Seorang ulama yang cerdas, murid Tuanku Nan Tuo. Setelah menyelesaikan pendidikan di Koto Tuo, ia kembali ke kampung halamannya, di Bansa, Kamang. Tuanku Nan Renceh mengundangkan jihad dari Surau Bansa, Kamang.
Walau sebagai seorang petani, ia mampu memberikan pelajaran dengan semangat perjuangan di suraunya. Ia melakukan penyerangan terhadap nagari sekitarnya, seperti Kamang, Tilatang, Padang Tarok, Ujung Guguk, Candung, kemudian Matur dan Lima Puluh. Dengan tubuhnya yang kurus tinggi dan pandangan mata yang menyala ia memberi contoh bagaimana ajaran agama ditegakkan tanpa ditawar-tawar.
Masyarakat ingin ditegakkan adalah masyarakat muslim yang tidak mengenal menyabung ayam, minuman keras, menghisap candu, makan sirih dan tidak meminta doa ke kuburan dan melarang laki-laki memakai sutra dan perhiasan emas. Siapa yang tidak taat dihukumnya.. Ia ingin menegakkan agama di tengah masyarakat, dan tampak pengaruh Wahabi dalam tindakannya.
Tuanku nan Renceh dapat menundukkan seluruh daerah Kamang. Kemudian Magek,Salo, Koto Baru. Di nagari yang mengakuinya disusun pemerintahan menurut Islam dikepalai oleh seorang imam dibantu oleh seorang kadhi.
Berangsur-angsur Tuanku Nan Renceh menaklukkan nagari yang keras menantangnya. Nagari itu dibakar dan dibinasakan. Pembaruan yang dicanangkan itu akhirnya disetujui surau-surau di Agam, antaranya tuanku nan salapan.
Haji Miskin kemudian berunding dengan Tuanku Nan Renceh dari Surau Bansa (1807). Tuanku Nan Renceh bersama Haji Miskin mulai mengatur rencana pembaruan secara menyeluruh. Mereka menghapuskan kebiasaan buruk yang dilarang agama Islam.
Gagasan kedua orang pembaru ini untuk menerapkan hukum perdagangan Islam melengkapi hukum adat Minangkabau yang diterima baik oleh pedagang, baik yang tinggal di kamang, maupun yang datang ke Kamang
Musyawarah dengan tuanku nan salapan, Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Kalung, Tuanku Ladang Laweh, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambalau, dan Tuanku Lubuk Aur, menghasilkan kesepakatan menunjuk Tuanku Nan Renceh sebagai pemimpin geralan pembaruan dan mencari seorang yang berpengaruh untuk melindungi usaha pembaruan yang akan dilakukan. Pilihan jatuh kepada guru mereka, Tuanku Nan Tuo.
Perbedaan pendapat antara Tuanku nan Renceh dengan Tuanku nan Tuo, tidak dapat dielakkan. Tindakan Tuanku Nan Renceh tidak disetujui Tuanku nan Tuo Tuanku Nan Tuo melarang Tuanku Nan Renceh dengan beribu-ribu orang Kamang yang ingin menyerang Kurai.
Akhirnya Tuanku Nan Tuo memanggil Tuanku Nan Renceh musyawarah menghentikan pembakaran dan pembunuhan sesama orang Islam. Tuanku Nan Renceh mengemukakan jihad berdasarkan fikih. Orang yang tidak menjalankan perintah agama dapat dirampas harta dan jiwanya.
Tuanku Nan Tuo mendasarkan pikirannya pada tarikat, Tindakan kekerasan hanya boleh dilakukan terhadap orang yang terang terangan menentang ajaran Islam. Akhirnya perbedaan pendapat diselesaikan dengan sumpah disaksikan Quran.
Di beberapa nagari, seorang ulama ditempatkan dalam pemerintahan adat. Wadah lain hasil perjuangannya jabatan Imam, yang pada mulanya pemimpin sembahyang berjamaah, dan kemudian ikut memimpin pertahanan nagari, dan Tuan Kadi, mengatur akad nikah, talak rujuk dan pengawasan hukum dalam nagari.
Perjuangan para ulama dikoordinasi ke dalam Tuanku nan Salapan yang terdiri dari :

1. Tuanku nan Renceh dari Kamang
2. Tuanku Kubu Sanang
3. Tuanku Ladang Laweh di Banuhampu
4. Tuanku Padang Luar
5. Tuanku Galung di Sungai Puar
6. Tuanku Koto Ambalau
7. Tuanku Lubuk Aur
8. Tuanku Pamansiangan nan Mudo di Mansiangan

Munculnya kelompok militan bukan ide pembaruan yang dikembangkan. Tatkala kelompok ini ingin melaksanakan aksinya, mereka menghadap orang arif di Koto Tuo lebih dahulu. Pengaruhnya atas masyarakat luas merupakan faktor penentu. Apalagi sebagian besar para ulama itu pernah menjadi murid ulama besar ini. Pada awal gerakan pembaruan ini dibina atas hubungan pemimpin kharismatik dengan pengikutnya. Inilah yang disebut hubungan guru murid.
Usulan Tuanku Nan Renceh beserta kelompoknya untuk melaksanakan aksi gerakan dengan kekerasan tidak dapat diterima Tuanku nan Tuo. Beliau sependapat dengan gagasan untuk terus menegakkan prinsip-prinsip ajaran Islam yang murni.
Dalam segala hal, Tuanku nan Tuo menyediakan diri dan mencurahkan tenaganya guna pembaruan, seperti telah dilaksanakannya jauh sebelumnya. Tetapi ia berbeda pendapat mengenai cara mencapai tujuan.
Maka dinasehatkannya agar mereka menempuh jalan yang lebih lunak untuk menghindarkan kerugian yang tidak diperlukan. Dalam pengambilan keputusan mereka menemukan jalan bersimpang dua. Tuanku nan Tuo beserta murid-muridnya yang setia, tetap melaksanakan pembaruan dengan cara lunak.
Sedangkan Tuanku nan Renceh dengan kelompoknya mengambil jalan kekerasan. Ternyata, Tuanku nan Renceh pula yang memikul beban langkah pertama untuk melaksanakan perubahan itu. Ia memulai gerakan di kampung halamannya.
Pergolakan-pergolakan umum segera menyebar ke nagari-nagari di seluruh Minangkabau. Tuanku nan Renceh mengemukakan jihad berdasarkan fikih. Orang yang tidak menjalankan perintah agama dapat dirampas jiwa dan hartanya.
Tuanku nan Tuo mendasarkan fikirannya menurut ajaran tarikat. Tindakan kekerasan hanya boleh dilakukan terhadap orang yang terang terangan menentang ajaran Islam. Akhirnya perbedaan pendapat diselesaikan dengan sumpah disaksikan Quran. Namun demikian kelompok Tuanku nan Renceh meminta Tuanku Pamansiangan nan Mudo sebagai penasihat mereka.
Serangan Belanda, untuk menguasai perdagangan kopi dan kulit manis dari Kamang, di Koto Baru dan Kapau mendapat perlawanan yang gigih dari hulubalang Tuanku nan Renceh.
Banyak korban yang berjatuhan di pihak Belanda sehingga dipaksa mundur ke Bukittinggi. Beberapa pucuk meriam Belanda dapat direbut di Kapau. Serangan-serangan Belanda merupakan pengalaman baru rakyat Minangkabau berhadapan dengan penguasa bangsa asing. Perlawanan semesta dengan menggunakan parit dan rintangan alam seperti bukit, lembah dan gunung.
Sentot, seorang bekas pemimpin pasukan Diponegoro yang dikirim Belanda ke Minangkabau bersama 300 orang pasukannya.(1829). Pasukan Raden Noto Prawiro dan T. Prawiro Sabiro menyerang kedudukan Tuanku Nan Renceh. Dalam pertempuran itu, Tuanku nan Renceh menghembuskan nafas penghabisan (Juni 1832).
Namun Raden Noto Prawiro dan Sabiro melihat masyarakat Kamang yang Islami dan keberanian hulubalang Tuanku nan Renceh di Kamang berjuang seperti dilakukannya bersama Diponegoro dulunya.

Tidak ada komentar: