RANAH MINANG

Mounting created Bloggif Mounting created Bloggif

Rabu, 13 Maret 2013

TUANKU NAN TUO1750 – l830)

Tuanku Nan Tuo adalah seorang ulama pembaru Islam di pedalaman Minangkabau yang memimpin surau di Koto Tuo*, Ampek Angkek pada pertengahan a bad ke-18.
Murid-Murid yang belajar di surau Syattariah terbuka untuk mempelajari seluruh rangkaian pengetahuan Islam. Salah satu buku yang dipelajari adalah karya Abdurrauf yang memperlihatkan penghargaan yang tertinggi terhadap “syariat”. Ajaran ini dibawa Syekh Burhanuddin Ulakan sekembalinya belajar pada Syekh Abdurrauf al Singkli di Aceh. Beberapa surau Syattariyah mempelajari cabang ilmu agama, sehingga terjadi spesialisasi pengajaran agama Islam di Minangkabau.
Masing-masing surau itu memperdalam salah satu cabang ilmu agama, seperti: Surau Kamang dalam ilmu alat (nahu sharaf dan tata bahasa Arab), Koto Gadang dalam mantik ma’ani, Koto Tuo dalam ilmu tafsir Quran, tarbiyah dan hadith), Surau Sumanik dalam ilmu faraidh (pewarisan) hadis; Surau di Talang dalam badi’, maani dan bayan (tata bahasa Arab ), Tuanku di Sumanik dalam ilmu hadis, tafsir dan faraidh, Tuanku di Talang dalam ilmu sharaf, sedangkan Tuanku di Salayo dalam ilmu nahu nan tiga (badi’, maani dan bayan. Kedua ulama terakhir mencapai derajat yang tinggi sebagai ulamiyah.
Dalam hal ini Tuanku Nan Tuo mempelajari ilmu-ilmu itu dari tuanku-tuanku itu, akhirnya lebih dikenal sebagai ulama yang kisyaf yang mempunyai pengetahuan yang luas dalam mantik, maani, hadis, tafsir, tarbiyah, danu agama lainnya.
Pada akhir abad ke-18, surau Koto Tuo memperkenalkan pembaruan berdasarkan hukum Islam kepada masyarakat luas. Murid surau Koto Tuo kira-kira seribu orang berasal dari pelosok Minangkabau dan daerah rantau.
Ajaran Syattariah yang diperkenalkan mengenai ilmu hakekat, ilmu pengetahuan tentang tauhid dalam ‘mencari Tuhan’. Murid dan guru melibatkan diri dalam perdagangan yang berasal dari langganan luar negeri, seperti Amerika, Inggeris, Tamil dan Gujarat.
Tuanku Nan Tuo berfatwa tentang perlindungan terhadap pedagang dan menguraikan syariat Islam yang berhubungan dengan keamanan pedagang. Fatwa ini dikenal dengan nama gerakan kembali ke syariat. Ia mengajarkan murid-muridnya cara menggalang persatuan bagi masyarakat Minangkabau menurut perintah Tuhan. Inti ajarannya ialah ketaatan pada ajaran-ajaran Al Quran dalam mengatur harta warisan, penceraian dan jual beli barang. Semenjak itu Tuanku Nan Tuo terkenal sebagai pelindung pedagang.
Tuanku Nan Tuo bersama Haji Miskin, sebelum menunaikan ibadah haji ke Mekah, mencari jawaban tentang pembagian harta warisan menurut fikih.
Menurut Tuanku Nan Tuo harta dibagi atas harta pusaka dan harta pencaharian. Harta pusaka diwariskan menurut hukum adat Minangkabau. Harta pencaharian jatuh ke tangan anak, dengan perbandingan antara anak laki dengan anak perempuan 2: 1.
Tuanku Nan Tuo melihat banyak hal yang sesuai antara adat dengan syariat menurut mazhab Syafei, terutama yang berhubungan dengan harta pusaka.
Semenjak tahun 1784, hukum Islam menjadi kajian yang penting dari surau Koto Tuo. Murid-murid Tuanku Nan Tuo yang terbaik ditugaskan melaksanakan dakwah ke luar Ampek Angkek, terutama desa yang menghalangi usaha perdagangan. Semenjak itu Tuanku Nan Tuo dikenal sebagai pelindung pedagang di Minangkabau.
Jalaluddin gelar Fakih Saghir yang kemudian mendirikan surau di Koto Laweh, gerbang jalan ke Pariaman melalui Mudik Padang; Tuanku Bandaro dari Alahan Panjang meneruskan pembaruan di Bonjol bersama Tuanku Imam Bonjol; Pakih Muhammad bergelar Tuanku Rao di Rao Mandahiling, Saidi Muning bergelar Tuanku Pasaman kemudian bergelar Tuanku Lintau di Lintau.
Pendidikan lainnya di surau Tuanku Nan Tuo ialah ilmu bela diri, silat dan pencak sehingga setiap murid siaga serempak menjadi pemuda trampil dan mampu menggunakan senjata di medan laga.
. Menjelang tahun 1790 daerah Ampek Angkek mengalami kemajuan besar atas usaha Tuanku Nan Tuo. Pedagang lebih senang membawa barang dagangannya melalui Agam terus ke Koto Laweh, kemudian meneruskan perjalanannya melalui bukit antara Gunung Singgalang dan Gunung Tandikek menuju Mudik Padang dan terus ke Pariaman. Mereka dapat bergerak dengan leluasa, yang belum pernah dialami sebelumnya.
Pembaruan Islam dilaksanakan di surau-surau yang memajukan pendidikan surau dan memajukan perdagangan.
Pusat-pusat perdagangan di pedalaman Minangkabau dikuasai oleh surau-surau, seperti Tuanku Damansiang di Pandai Sikek, Jalaluddin di Koto Laweh, Tuanku Nan Renceh di Kamang;Tuanku Nan Tuo di Ampek Angkek, dan kemudian Tuanku Bandaro dan Tuanku Imam Bonjol di lembah Alahan Panjang Panjang, Tuanku Rao di Rao, Tuanku Barumun di Kota Pinang dan Barumun..
Telah terjadi pratagoni di daerah Islam berkembang dengan pembaruan dan perbaikan moral masyarakatnya yang memancarkan kemakmuran..
Pemerasan yang sering terjadi terhadap pedagang dan pemungutan pajak pengawasan pada jalan dagang tradisional dari Jaho Tambangan ke Bukit Punggung Jawi terus ke Kayu Tanam dan Lubuk Alung yang diawasi dubalang Tuanku Gadang dari Batipuh.
Dengan adanya perubahan itu di pedalaman Minangkabau berlaku pertanian pola rakyat, menggantikan pola raja yang dikuasai kerajaan Pagaruyung.
Belanda memasuki Minangkabau pada tahun 1821 dan ingin menguasai pusat perdagangan di pedalaman Minangkabau. Kemudian Belanda mendirikan benteng Gedung Batu di Koto Tuo. Selama enam tahun hulubalang Tuanku Mudo, pangka tuo (pemimpin ) hulubalang Tuanku Imam Bonjol tinggal di daerah Ampek Angkek.
Peperangan tak terelakkan antara pro golongan pembaruan dengan pengikut Tuanku Nan Tuo. Tuanku Nan Tuo meninggal dunia pada tahun 1830 berlumuran darah di surau yang dibangunnya dengan Qur an tetap dipegangnya.

Tidak ada komentar: